24. Paham-Paham Yang Bisa Salah

Satria menimbang seraya melihat jam. Ia yakin Teguh dan Galih tidak akan meninggalkan meja sebelum melihat Eriana beranjak terlebih dahulu.

"Percuma nunggu," putus Satria kemudian. "Mending aku langsung ajak Eri keluar aja."

Lagipula siapa yang akan mempermasalahkan bila seorang bos terus mengajak bawahannya pergi? Pun kalau ada gosip, sepertinya itu bukan hal yang buruk. Mengingat baik Satria ataupun Eriana sama-sama lajang di mata publik.

Satria keluar. Melangkah menuju tempat di mana para sekretaris dan asisten pribadinya berada, ia tidak mengira bahwa adalah tawa yang menyambut kedatangannya. Dan di antara tawa itu, ada Eriana yang turut terlihat gembira.

"Ada apa ini?"

Pertanyaan itu spontan meluncur dari lidah Satria. Membuat keriuhan bahagia itu terhenti seketika. Pun ekspresi senang di wajah Eriana turut menghilang sudah. Tergantikan mimik ngeri.

"P-Pak."

Wajah masam Satria membuat Teguh dan Galih meneguk ludah. Mereka melirik satu sama lain. Jelas, keduanya merasa khawatir.

"Apa ada sesuatu yang saya lewatkan di sini?"

Suara Satria memang terdengar datar. Tapi, tentunya itu sudah lebih dari ampuh untuk membuat mereka meremang.

"Ehm," deham Eriana sekilas. "Nggak ada, Pak. Kami ..."

Eriana menarik napas dalam-dalam. Ia tahu akhir hari itu akan berujung apa. Maka ia pun menguatkan diri.

"... hanya sedang berencana untuk makan siang bersama di kafetaria."

Bukan sekadar masam, kali ini wajah Satria terlihat kaku. Matanya menyipit.

"Kalian mau makan siang bersama di kafetaria?"

Eriana mengingatkan diri agar tetap bernapas. Tapi, irama pertanyaan Satria membuat lututnya bergetar.

"I-iya, Pak."

Satria menahan udara di dada. Mulut mengatup dan rahangnya mengeras.

"Baiklah kalau begitu," kata Satria. "Kebetulan saya akan bertemu dengan Andika siang ini."

Eriana berusaha untuk tetap tersenyum. Ketika Satria beranjak setelah melayangkan tatapan tajam padanya, Eriana berdoa agar ia tidak mendadak buang angin.

Sumpah! Rasanya seperti ada bola udara yang memantul-mantul di dalam perut Eriana.

"Wah!"

Teguh berseru seraya mengusap dada. Tepat setelah Satria lenyap dari pandangan mata mereka bertiga.

"Kenapa aku merasa kalau Pak Satria lagi marah ya?"

Pertanyaan itu sepertinya dilontarkan Teguh untuk dirinya sendiri. Karena mungkin hanya itu satu-satunya alasan mengapa tidak ada jawaban yang ia dapatkan.

"Ehm."

Eriana mencoba untuk mencairkan suasana. Tersenyum kepada Teguh dan Galih walau terasa susah untuk ia lakukan.

"Ayo," ajak Eriana kemudian. "Kita turun sekarang."

Bersama-sama menuju kafetaria kantor, Eriana sempat bertanya pada dirinya sendiri. Kapan terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat itu? Satu hal yang sempat menjadi tempat kesukaan Eriana ketika pertama kali bekerja di sana.

Makanan yang enak tentulah menjadi daya pikat yang pertama. Pun begitu pula dengan suasananya yang rapi dan luas. Menambah alasan mengapa tidak selamanya kafetaria kantor adalah tempat makan yang buruk.

Tatkala Eriana masuk ke kafetaria, ia bisa merasakan bagaimana tatapan mata orang-orang tertuju padanya. Ehm atau lebih tepatnya lagi tertuju pada Teguh dan Galih yang kebetulan mengapit dirinya di kanan dan kiri.

Tentu saja. Cowok cakep memang bakal selalu jadi pusat perhatian.

Mengisi satu meja yang kebetulan sekali masih kosong, Eriana dan dua orang cowok itu sukses menjadi objek yang menyenangkan untuk pengunjung kafetaria. Bisa dikatakan bahwa semua orang yang berada di sana memuji mereka bertiga.

"Lihat. Kamu ngerasa nggak? Bu Eri makin lama kelihatan makin bening. Aku rasa dia pakai semua gaji dia buat ke salon."

"Kalau aku jadi dia, aku juga bakal melakukan hal yang sama. Lihat saja. Dia itu nemenin Pak Satria ke mana-mana."

"Dan sekarang? Dia malah dapat junior yang nggak kalah cakep dibandingkan dengan Pak Satria."

"Bener. Pak Satria memang pintar banget nyari orang. Semuanya cakep."

"Ya ... sayangnya cuma itu. Kita pasti nggak bisa deketin Teguh ataupun Galih."

Sekumpulan cewek-cewek itu saling memandang satu sama lain. Sorot penuh kagum di mata masing-masing langsung menghilang. Tergantikan oleh kehampaan. Layaknya seorang pejuang yang gagal duluan sebelum berperang.

"Mereka pasti udah di-taken sama Pak Satria."

Sungguh hebat dampak gosip. Hingga mau tak mau membuat Eriana mengulum senyum geli. Samar memang, tapi ia bisa mendengar semua bisik-bisik itu.

"Ehm."

Dehaman Teguh membuat senyum geli di wajah Eriana menghilang. Cewek itu mengangkat wajahnya yang sedari tadi lebih menunduk lantaran soto ayam lebih menggoda. Dan ketika ia melihat wajah Teguh, Eriana sontak mengerutkan dahi.

"Bu."

Bahkan suara Teguh terdengar aneh. Hingga membuat Eriana tak mampu menahan rasa penasarannya. Karena bila ia perhatikan, Galih pun menunjukkan gelagat yang sama.

"Kenapa kalian?" tanya Eriana seraya melihat piring mereka berdua. "Makanannya nggak enak? Ehm. Nggak ada kecoa kan?"

Eriana celingak-celinguk. Mencoba melihat piring Teguh dan Galih. Tapi, ia tidak menemukan keanehan sedikit pun. Lantaran memang bukan itu yang menjadi penyebab kejanggalan sikap Teguh dan Galih. Alih-alih hal lainnya.

"Ibu dengar kan gosip itu?"

Pertanyaan Teguh membuat proses celingak-celinguk Eriana berhenti seketika. Ia tertegun sejenak.

"G-gosip?"

Galih mengangguk. Ia meninggalkan makan siangnya. Dengan tubuh yang sedikit condong pada Eriana, ia berkata dengan suara lirih.

"Gosip tentang Pak Satria, Bu. Dari awal kami kerja, kami dengar gosip itu. Yang bilang kalau ..."

Agaknya Galih tidak memiliki kekuatan untuk melanjutkan perkataannya. Persis seperti Teguh. Yang wajahnya bahkan terlihat pucat dan ia meneguk ludah.

"A-apa kami bakal jadi ..."

Eriana menunggu seraya mengangkat sendok. Berisi suwiran ayam dan kuah yang nikmat. Ia melahapnya.

"... simpanan Pak Satria?"

"Huuuk!"

Sendok langsung lepas dari tangan Eriana. Ia terbatuk parah. Suwiran ayam tersangkut di tenggorokan. Ia megap-megap dan Galih dengan cepat bertindak.

"Bu!" seru Teguh panik.

Galih pindah ke kursi di sebelah Eriana. Menyambar gelas dan membantu Eriana untuk meminumnya. Dibutuhkan beberapa detik hingga pada akhirnya batuk Eriana berhenti dan suwiran ayam itu meluncur ke saluran pencernaannya.

Teguh menarik dua lembar tisu. Memberikannya pada Eriana.

"Ini, Bu."

Eriana melotot seraya mengelap wajahnya yang berantakan. "Kamu ini kalau ngomong itu mbokya dipikir."

Sudahlah. Tata krama dan pembawaan anggun Eriana hilang untuk sementara waktu. Sempat berpikir bahwa dirinya akan putus napas gara-gara ayam suwir, tentu saja Teguh yang akan Eriana salahkan bila ia harus merenggang nyawa.

"Maaf, Bu," ujar Teguh seraya menundukkan wajah. "Saya kan hanya bertanya."

"Coba cari pertanyaan lain yang lebih berbobot."

Teguh kicep. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat sementara Galih membantu Eriana untuk merapikan diri.

"M-maaf, Bu," ujar Galih seraya melayangkan gestur permisi. Ia mengambil sesuatu di dekat mulut Eriana. "Ada toge nyangkut."

Ya ampun. Sudahlah keselek ayam suwir. Eh, ada toge nyangkut pula. Nasib nasib. Gini amat coba mau pura-pura jadi cewek anggun.

Eriana mendeham. Mengucapkan terima kasih seadanya seraya meremas tisu di tangan. Tak ingin, tapi otak Eriana memang tidak perlu diragukan lagi kinerjanya.

Seperti yang sering dikatakan Satria, Eriana itu pintar. Jadi tidak sulit bagi Eriana untuk menarik benang merah di sini.

"Jadi ini alasan kalian?"

"Eh?"

"A-alasan?"

Teguh sontak mengangkat wajah. Galih pun memutar posisi demi bisa melihat Eriana. Cewek itu tampak bersedekap. Dengan postur yang bagus, wajahnya terangkat tanpa ada kesan arogan atau angkuh sama sekali.

"Kalian nunggu saya pulang, ngomong mau pulang bareng, berusaha cari waktu untuk bisa ngobrol sama saya, dan sampe semangat banget ngajak saya makan siang berulang kali," ujar Eriana menjabarkan kejadian akhir-akhir ini. "Bukan karena ingin belajar dari saya kan?"

O oh. Warna wajah Teguh dan Galih seketika berubah. Sesuatu yang membuat Eriana mendengkus geli. Jelas, ia tidak butuh jawaban.

"Ck. Kalian ini."

Teguh dan Galih tampak salah tingkah. Tentunya itu bukan membuat Eriana marah, malah sebaliknya. Jelas saja ia merasa lucu.

Astaga. Ini cowok berdua pada ketakutan jadi simpanan Satria? Hahahaha.

Eriana buru-buru mendeham. Kembali memasang sikap anggun.

"Maaf, Bu," ujar Teguh kemudian. "Sebenarnya kami memang mau belajar dari Ibu. Tapi ...."

"Tapi, tujuan utama kalian itu kan?"

Baik Teguh maupun Galih tidak ada menampik. Mereka kompak membenarkan. Walau hanya dengan satu anggukan samar.

"Oke."

Eriana mengangguk beberapa kali. Ia lantas mengusap kedua tangannya berulang kali.

"Kalau gitu, saya bakal jelasin sesuatu ke kalian."

Kompak, Teguh dan Galih menahan napas. Di satu sisi mereka bersyukur karena Eriana mengerti posisi mereka. Tapi, di sisi lain mereka khawatir. Apa mereka sanggup mendengar kenyataan yang sesungguhnya?

"Saya tau. Kalian pasti sering dengar gosip kalau Pak Satria itu nggak suka cewek kan?" tanya Eriana dengan nada rendah. Ia melihat Teguh dan Galih mengangguk, lantas ia melanjutkan perkataannya. "Alias dia suka sama cowok."

Mengabaikan keadaan sekitar, tanpa sadar Eriana beserta dua orang cowok itu beringsut. Layaknya ada masalah penting yang harus segera dituntaskan, mereka menampilkan gestur seolah tengah berembuk. Seperti bangungan segitiga yang berpusat pada satu titik.

"Pak Satria itu ..."

Eriana bicara dengan penuh irama. Matanya melirik pada Teguh dan Galih berulang kali. Dan wajah tegang keduanya membuat Eriana nyaris tidak bisa menahan tawa.

"... suka ..."

Teguh dan Galih semakin tegang. Bahkan mereka tampak mengepalkan tangan dengan kuat. Seorang sedang memperkuat diri dari setiap kemungkinan yang bisa terjadi.

"... cewek."

Dunia seolah berhenti berotasi. Teguh dan Galih butuh waktu. Mereka harus benar-benar mencermati kata-kata Eriana.

"S-suka cewek?" tanya Teguh dengan mata membesar. "Pak Satria suka cewek?"

Eriana menarik diri. Duduk dengan postur semula seraya mengangguk penuh irama.

"Pak Satria suka cewek. Jadi kalian nggak perlu khawatir. Kalian lihat kan surat kontrak kalian? Di sana sudah diuraikan jobdesk kalian. Dan seingat saya, nggak ada tuh poin yang nyuruh kalian buat jadi simpanan beliau."

Teguh merinding. Galih memejamkan mata dengan dramatis. Keduanya membuang napas lega seraya mengusap dada.

"Ck. Kalian ini. Harusnya nggak usah sampe ketakutan gitulah. Orang cuma gosip juga," ujar Eriana seraya kembali meraih sendoknya. Ia ingin menikmati soto ayamnya lagi.

"Gimana kami nggak ketakutan, Bu?" tanya Galih tanpa menunggu jawaban Eriana. "Soalnya tiap cewek-cewek ketemu kami, mereka tuh ngelihat kami dengan mata yang kasihan gitu."

Eriana tersedak lagi. Galih dengan sigap kembali membantu Eriana minum. Hingga pada akhirnya cewek itu bisa terkekeh.

"Jadi sekarang kalian bisa lega kan?"

Galih mengangguk. "Makasih banyak, Bu."

Seumur hidup Eriana tidak pernah berpikir bahwa akan ada masa di mana dirinya bertugas untuk menjernihkan gosip suaminya. Tapi, bukan apa-apa. Ini berkaitan dengan kinerja Teguh dan Galih. Bagaimana kalau mereka termakan gosip dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri?

Kan aku yang rugi. Nggak bisa angkat kaki dari sini secepatnya.

Maka demikianlah makan siang pertama Eriana bersama Teguh dan Galih. Di luar dugaan Eriana, ternyata ada kejadian yang membuat ia geleng-geleng kepala. Hingga wajar rasanya bila senyum geli itu tidak menghilang juga dari wajahnya. Bahkan ketika mereka kembali ke meja kerja.

"Tapi, Ibu benar-benar keren," puji Teguh seraya mengacungkan dua ibu jarinya pada Eriana. "Cekatan dan selalu tampil anggun setiap waktu. Ini serius, Bu. Saya benar-benar mau belajar seperti Ibu."

Eriana tersenyum hingga matanya menyipit. Dalam hati ia berkata.

Lulusan Mrs. Roberts nggak kaleng-kaleng ya, Bun? Hahahaha.

Pujian yang melayangkan perasaan Eriana. Fakta yang melegakan perasaan Teguh dan Galih. Semua itu benar-benar adalah siang yang sempurna.

"Lain kali kita makan bareng lagi ya, Bu?" pinta Teguh. "Ngobrol sama Ibu asyik."

"Eh?"

Eriana yang semula ingin duduk, sontak bergeming. Tentu saja ia harus menolak ajakan itu. Sebelum semua terlambat dan ada seseorang yang bisa salah paham.

"Oh. Jadi apa kalian bermaksud untuk makan malam bersama juga?"

Sial!

Eriana berpaling. Begitu pula dengan Teguh dan Galih. Mereka kompak melihat pada satu titik. Di mana ada Satria yang berdiri dengan wajah gusar.

Mata Eriana melotot. Tak mampu menahan ngeri, ia pun terkesiap horor.

"Bapak."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top