23. Maju Mundur Kena

Eriana mengerjapkan mata berulang kali. Dengan wajah kaku dan tubuh yang bergeming. Tidak bergerak sedikit pun hingga pada akhirnya bola matanya yang bergerak. Dalam lirikan ke kanan dan ke kiri berulang kali. Melihat pada Teguh dan Galih.

Eriana meneguk ludah. Kali ini matanya pindah pada layar komputer.

Astaga. Udah mau jam setengah tujuh malam. Terus ini cowok berdua kenapa belum ada yang balik?

Kembali memastikan, Eriana melirik lagi. Tapi, tidak berubah. Baik Teguh maupun Galih sama fokus pada pekerjaannya.

"Ehm!"

Eriana tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia sudah kebelet. Bukan kebelet ke kamar mandi. Tapi, kebelet pulang.

Dehaman Eriana ampuh sekali dalam menjeda keseriusan Teguh dan Galih. Kedua orang cowok itu dengan serta merta mengangkat wajah. Kompak, tatapan mereka langsung tertuju pada Eriana.

Tersenyum kaku, Eriana melihat bergantian pada Teguh dan Galih. Berusaha tetap santai dengan memainkan anak rambut di sisi wajahnya, ia bertanya.

"Kalian belum pulang? Ini udah mau jam setengah tujuh."

Teguh dan Galih bertukar pandang. Lalu adalah Galih yang menjawab.

"Belum, Bu. Masa kami pulang sementara Ibu belum pulang?"

Eriana terdiam. Tapi, jelas ia mengumpat di dalam hati.

Mampus aku. Ternyata mereka tipe junior patuh senior.

Itu memang adalah hal yang bagus. Tapi, tentu saja hal bagus itu tidak tepat pada tempatnya.

"Sudah seminggu ini kami kerja ..."

Kali ini Teguh yang bersuara.

"... dan kami perhatikan Ibu nggak pernah pulang cepat."

Galih mengangguk. Membenarkan perkataan Teguh.

"Jadi masa kami yang notabenenya baru di sini malah pulang lebih dulu?"

Memang terkesan tidak sopan. Tapi, memangnya Eriana peduli dengan kesopanan?

"Ehm."

"Maka dari itu," sambung Galih. "Mulai sekarang kami memutuskan untuk pulang setelah Ibu pulang."

Bola mata Eriana membesar. "A-apa?"

"Atau paling nggak ... pulang bareng Ibu," tambah Teguh.

Mampuslah aku.

Wajah Eriana semakin kaku. Tidak bisa berkata apa-apa untuk beberapa saat. Karena dari sudut matanya memandang, Eriana tahu apa yang dikatakan dan dilakukan Teguh dan Galih adalah hal yang sangat wajar.

Telah seminggu terlewati. Tentunya itu adalah waktu yang cukup untuk Teguh dan Galih mengamati Eriana.

Layaknya junior pada umumnya, Teguh dan Galih cenderung memerhatikan Eriana. Dari pekerjaan, pembawaan, dan kebiasaannya.

Kedua orang cowok itu diam-diam sepakat. Bahwa Eriana benar-benar mencerminkan sekretaris yang diharapkan semua bos di dunia.

Penampilan Eriana menarik. Ia ramah dan sopan. Pembawaannya tenang dan terkontrol. Bila bekerja, ia akan sangat serius. Teliti, cermat, telaten, gesit, dan terstruktur adalah lima kata yang mampu menggambarkan sosok Eriana.

Dan berkenaan dengan itu, baik Teguh maupun Galih sama menyadari bagaimana Satria yang tampaknya sangat bergantung pada Eriana. Hingga menyebabkan wanita itu selalu pulang terlambat.

"Sepertinya Pak Satria sangat mengandalkan Ibu. Sampai-sampai Ibu selalu pulang terlambat. Maka dari itu kami ingin banyak belajar dari Ibu," kata Teguh penuh tekad. "Kami ingin menjadi andalan Pak Satria pula."

Eriana megap-megap. "Ah," angguknya kaku. "Kalian ingin menjadi andalan Satria juga?"

Teguh mengepalkan kedua tangannya. Mengangguk dengan ekspresi penuh ambisi. Sementara Galih, di balik kacamatanya, juga menyorotkan hal yang serupa. Walau dengan mimik yang lebih terkendali.

"S-saya senang melihat semangat kalian," ujar Eriana terbata. "Ha ha ha ha. Pak Satria beruntung sekali."

Teguh dan Galih mengangguk. Lalu kembali melanjutkan pekerjaan mereka sementara Eriana memegang kepalanya.

Ya Tuhan. Jangan bilang kalau mereka bakal jadi bayangan aku.

Eriana memejamkan mata dengan dramatis. Kemungkinan itu membuat ia ngeri.

Bisa mampus aku.

Berusaha untuk mengenyahkan pikiran buruk itu dari benaknya, Eriana mendapati telepon di meja berdering. Tak perlu menebak, ia tahu siapa yang menghubunginya. Tentu saja adalah Satria. Dan Eriana pun segera mengangkat panggilan tersebut.

"Eri, ini udah jam berapa? Kamu nggak mau---"

"Ya, Pak?"

Eriana memotong dengan cepat. Tidak membiarkan Satria bicara lebih banyak lagi. Khawatir bila Teguh yang duduk di dekatnya bisa mendengar perkataan Satria.

"Ah. Dokumen amdal untuk pembangunan laboratorium Rofnus? Baik, Pak. Akan segera saya antarkan."

Eriana buru-buru menutup telepon itu. Tersenyum kaku pada Teguh dan Galih ketika ia sadar bahwa dua orang cowok itu terus melihatnya.

Ya ampun.

Eriana segera mengambil dokumen yang ia katakan. Dan lalu beranjak dari sana dengan langkah cepat. Layaknya seorang sekretaris yang khawatir membuat bosnya menunggu.

Ketika Eriana meninggalkan mejanya, Teguh geleng-geleng kepala. Ia berkomentar.

"Bu Eriana memang pekerja keras."

Galih mengangguk. "Sekarang aku ngerti kenapa Pak Satria yang nggak pernah punya sekretaris cewek akhirnya milih dia."

"Benar kan?" tanya Teguh tanpa menunggu jawaban Galih. "Sebenarnya waktu aku harus gagal jadi sekretaris Pak Satria gara-gara DBD, aku sempat nggak terima. Masa posisi aku justru ditempati sama cewek sementara kursi ini diprioritaskan untuk cowok."

Teguh menepuk samar kursi Eriana. Lantas ia membuang napas panjang.

"Tapi, sekarang aku justru merasa wajar. Bu Eri benar-benar pantas."

Untuk beberapa saat, Teguh dan Galih pun terlibat perbincangan dengan topik memuji kinerja Eriana. Satu hal yang jelas berbeda dengan yang terjadi di ruang kerja Satria.

Satria melihat gagang telepon. Dahinya mengerut. Ketika panggilan itu diputus sebelah pihak, ia bertanya pada dirinya sendiri.

"Siapa yang minta dokumen amdal? Ini Eri lagi kumat? Tapi, jam makan malam kan belum lewat."

Satria menaruh gagang telepon di tempatnya. Bertepatan dengan pintu ruangannya yang terbuka dan Eriana menutupnya dengan terburu-buru.

Saat itu Satria ingin langsung mempertanyakan maksud Eriana di telepon. Tapi, urung tatkala ia melihat gelagat aneh cewek itu.

Eriana berlari menghampiri dirinya. Menaruh berkas di atas meja dengan asal. Lalu ia mengadu.

"Sat, gimana ini? Aku nggak bisa balik."

Itulah persisnya yang menjadi alasan mengapa Satria menghubungi Eriana. Sudah lewat dari pukul setengah tujuh malam dan ia berencana untuk pulang.

"Maksud kamu?" tanya Satria bingung. "Nggak bisa balik?"

Eriana mengangguk seraya menahan ringisan. "Itu ..."

Satu tangan Eriana naik. Menunjuk asal ke balik tubuhnya.

"... Teguh dan Galih belum balik."

Sepertinya Satria paham. "Belum balik? Kenapa? Kamu ngasih mereka lemburan? Jangan bilang kamu nyuruh mereka ngerjain kerjaan kamu."

Eriana merengek. Seketika saja manyun menghiasi wajahnya.

"Bukan. Aku nggak pernah ya zolim ke junior," ujar Eriana membela diri. "Tapi, masalah mereka itu semacam junior yang mau belajar dari senior."

Eriana menjelaskan dengan singkat. Tentang Teguh dan Galih yang memutuskan untuk tidak pulang sebelum dirinya pulang.

"Mereka bilang mereka nggak enak kalau pulang duluan. Apalagi mereka anak baru. Mereka harusnya menunjukkan semangat kerja."

"Ya Tuhan," desis Satria. "Terus sekarang gimana?"

Eriana manyun. Dan ia menggeleng.

"Aku nggak tau. Ya kali kita nggak pulang-pulang."

Dehaman Satria terdengar. Ia tampak berpikir. Hingga satu jalan keluar pun ia dapatkan.

"Oke. Kalau gitu kita pulang sekarang. Aku tinggal bilang kalau kita ada urusan mendadak di luar."

Satria bangkit dari duduknya. Segera meraih dan mengenakan jas.

"Gimana?"

Eriana mengangguk tak yakin. Itu memang terdengar sebagai ide yang bagus. Tapi, bagaimana dengan besok? Lusa? Besok lusanya? Lusa lusanya?

"Oke."

Setuju dengan ide Satria, Eriana memutuskan untuk besok saja memikirkan hari esok. Sekarang ya memikirkan yang sekarang.

Satria segera meraih tas kerjanya. Bersama-sama dengan Eriana, ia pun keluar dari ruang kerjanya.

Mendapati kehadiran Satria, sontak membuat Teguh dan Galih sama-sama bangkit dari duduknya. Mereka menyapa dengan sopan.

"Selamat malam, Pak."

Satria mengangguk sekilas. "Selamat malam," balasnya. "Kalian belum pulang?"

Teguh dan Galih kompak mengangguk.

"Sebentar lagi, Pak."

"Kebetulan masih ada yang dikerjakan."

"Oh," lirih Satria singkat. Ia mengusap pelipisnya sejenak. "Kalau begitu saya dan Bu Eri duluan. Kebetulan ada sesuatu yang harus kami urus di luar."

Teguh dan Galih mengangguk sementara Satria beralih pada Eriana.

"Saya tunggu di bawah," ucap Satria seraya melihat jam tangannya. "Dan jangan lama."

Eriana mengangguk. "Baik, Pak."

Maka ketika Satria beranjak dari sana, Eriana dengan segera merapikan mejanya. Tak lupa memadamkan komputer dan ia berkata.

"Saya duluan. Dan kayaknya kalian bisa pulang sekarang."

Tuntas mengatakan itu, Eriana langsung beranjak dari sana. Pergi dengan terburu-buru. Tanpa tahu bahwa di belakangnya ada Teguh dan Galih yang semakin takjub dengan Eriana.

"Benar-benar wanita pekerja keras."

*

Entah pekerja keras atau tidak, nyatanya Eriana merasa lebih lelah dari biasanya karena hal tersebut. Pulang terlambat dan makan telat, setidaknya adalah dua hal yang diakibatkan oleh sikap Teguh dan Galih.

Dua cowok itu benar-benar jadi bayangan aku.

Eriana menghirup aroma kopi yang baru saja ia sedu. Di pantry, ketika tidak ada orang lain di sana, akhirnya ia bisa bernapas lega.

Gimana bisa mereka kayak gini?

Lantaran bukan hanya tragedi pulang kala itu yang menjadi satu-satunya penyebab Eriana pusing. Alih-alih yang lainnya pula.

Bisa dikatakan, Teguh dan Galih benar-benar memerhatikan gerak-geriknya. Berkat gosip yang beredar, yang mengatakan Satria anti dengan sekretaris cewek, tapi pada akhirnya tampak begitu bergantung pada Eriana, mereka pun termotivasi. Berkat satu pertanyaan.

Apa yang membuat keteguhan Satria bisa goyah?

Tak butuh waktu lama memang bagi Teguh dan Galih mendapatkan jawaban versi mereka. Dan untuk itu mereka akan mencontoh Eriana.

Tentu saja itu adalah hal yang bagus. Tapi, tidak bagus untuk Eriana dan Satria. Mereka harus memutar otak setiap kali ingin makan siang atau pulang. Hingga akhirnya Eriana merasa bahwa semua alasan di dunia ini sudah mereka gunakan.

Makan siang bersama dengan klien, janji temu dengan klien, dan mungkin akhirnya akan ada alasan pamungkas lainnya. Kami pulang bareng karena mau nyari alien.

Eriana terduduk lemas. Membuang napas sekilas, ia menyesap kopi. Rasa pahit dan manis membuat saraf-sarafnya terbangun. Perlahan berusaha untuk menggugah kembali energi positif yang meminta untuk diistirahatkan.

"Bu Eri?"

Energi positif Eriana mendadak pingsan kembali. Tepat ketika Galih masuk dan menyapanya.

"Ya?"

Eriana memaksa diri untuk tersenyum. Menaruh cangkir kopi di tatakan, ia bersikap ramah sebagaimana layaknya.

"Mau buat minum?"

Galih mengangguk. Tapi, ia tidak langsung beranjak. Alih-alih menghampiri Eriana dan duduk bersamanya.

"Ngomong-ngomong ..."

Eriana mengumpat di dalam hati. Ia bisa menebak. Apa pun yang akan dikatakan oleh Galih, pastilah hal yang akan membuat tenaganya kembali terkuras.

"... Pak Satria memang keras ya, Bu?"

Tunggu. Sepertinya kali ini dugaan Eriana keliru.

"Keras?" tanya Eriana dengan mata mengerjap. "Kok kamu tau kalau Pak Satria keras?"

Galih mendeham sekilas. "Saya dan Teguh sering dengar Pak Satria digosipin di kafetaria. Katanya beliau itu keras."

"Ehm."

Bibir Eriana tampak maju. Wajahnya menyiratkan kebingungan.

"Aneh? Kok orang-orang kantor bisa tau kalau Pak Satria keras?" tanya Eriana seolah pada dirinya sendiri. Mengusap dagu, ia jelas tengah berpikir. "Pak Satria emang keras sih. Dan yang pastinya tahan lama."

Galih mengerjap. "Eh?"

"Tapi, Pak Satria itu pengertian. Jadi walau keras, dia nggak ada niat buat nyakitin."

"Eh?"

"Ya walau akhirnya kerasa sakit juga, tapi yang pasti---"

Eriana tersentak. Dengan bola mata membesar dan ia melihat horor pada Galih.

Ya Tuhan. Aku ngomong apa?

Sialan! Tapi, Eriana dibuat tak berkutik ketika melihat ekspresi Galih. Cowok itu melongo. Jelas bingung.

"P-Pak Satria memang b-bos yang keras. Nggak cuma watak atau karakternya, tapi kemauannya juga keras banget. Tidak mentolerir kesalahan dan setiap tugas yang beliau berikan harus dilakukan dengan sempurna. Must be a perfecto numero uno."

Untuk beberapa saat, Galih bergeming. Layaknya komputer yang butuh waktu untuk membaca data. Hingga kemudian barulah ia melirih.

"Oh, begitu?"

"Begitu," ujar Eriana seraya mengangguk dan tersenyum kaku. Ia buru-buru meraih cangkir kopinya lagi. Berusaha menutupi gugup ketika sadar bahwa lidahnya bekerja sebelum mendapat perintah dari otak.

Astaga! Aku ngomong apa sih? Semoga aja Galih nggak curiga.

Rasa pahit kopi berhasil menyentak akal sehat Eriana. Menjernihkan pikirannya yang sempat kabur karena lelah.

"Ya ... kadang-kadang saking kerasnya beliau," lanjut Eriana demi memberikan klarifikasi terakhir. "Nggak jarang akhirnya aku jatuh sakit. Encok, patah pinggang, atau kurang tidur."

Eriana tidak berbohong sama sekali. Tapi, tentunya Galih melihat dengan sudut yang berbeda.

"Ibu harus banyak-banyak istirahat dan jangan lupa minum vitamin."

Eriana mengangguk. "Tentu saja."

Demi tidak ingin mengambil resiko, sejurus kemudian Eriana pun bangkit dari duduknya. Mengucapkan permisi seadanya, ia segera kembali ke meja sekretarisnya. Dan untuk pertama kali selama ia bekerja, Eriana membayangkan semangkuk soto ayam.

Eriana meneguk ludah. Tinggal sepuluh menit lagi dan waktu istirahat akan datang. Sekarang ia hanya perlu memutar otak.

Alasan apa lagi ya?

"Apa siang ini Ibu akan menemani Pak Satria keluar lagi?"

Pertanyaan Teguh membuat pikiran Eriana buyar. Ia memutar kursi dan mendapati cowok itu menatapnya dengan sorot sedikit iba.

"Kayaknya Ibu nggak pernah benar-benar bisa istirahat ya?"

Bola mata Eriana berputar salah tingkah. "Ehm."

"Kami berdua kagum sama Ibu, tapi kayaknya Pak Satria memang persis seperti yang digosipkan karyawan ya?"

Pertanyaan Galih membuat fokus mata Eriana berpindah. Hal itu memang tidak mengejutkannya. Toh ia pun sudah pernah berada di posisi Galih. Yang ketika makan di kafetaria dan semua gosip langsung tersaji.

"Sebenarnya Pak Satria nggak sekejam itu."

Spontan membela Satria, Eriana mendapati Teguh dan Galih menatapnya aneh. Hingga tanpa sadar membuat Eriana meraba tengkuknya.

"Pak Satria baik dan peduli dengan karyawannya."

Bukan itu yang dilihat oleh Teguh dan Galih. Eriana pun jadi serba salah. Ternyata menyembunyikan hubungan tidak pernah menjadi hal yang mudah. Apalagi bila itu berkaitan dengan pandangan orang-orang terhadap Satria.

"Baiklah kalau begitu."

Eriana bangkit dari duduknya. Ia menatap bergantian pada Teguh dan Galih. Seperti biasanya, lidah Eriana bekerja sebelum otaknya memberikan konfirmasi.

"Gimana kalau siang ini kita makan bareng di kafetaria? Biar saya jelaskan dan ceritakan semua yang saya tau tentang Pak Satria?"

Tak hanya Eriana, alih-alih Teguh dan Galih pun turut berdiri. Wajah mereka terlihat semringah.

"Serius, Bu?"

Eriana mengangguk. "Serius. Memangnya kapan saya pernah nggak serius?"

"Wah!"

"Bagus!"

"Akhirnya kita bisa makan bareng. Seperti satu tim yang sesungguhnya."

Perkataan Teguh membuat Eriana geli. Hingga tanpa sadar ia tersenyum lebar. Tepat ketika pintu Satria membuka dan cowok itu menghampiri mereka.

"Ada apa ini?"

Seruan penuh rasa senang seketika menghilang. Pun senyum lebar di wajah Eriana lenyap pula. Dan untuk Eriana sendiri, barulah ia menyadari sesuatu.

"P-Pak."

Ya Tuhan. Aku harus ngomong apa sama Satria?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top