22. Dua Tiga, Tetap Pilih Yang Pertama

Eriana tersenyum pada Kenzo Benedict. Menyilakan cowok itu untuk keluar dari ruangan Satria. Tanpa lupa berkata.

"Untuk hasil wawancara akan dikabarkan melalui surel setidaknya dalam tiga hari ini."

Kenzo mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya permisi."

Eriana membalas perkataan itu dengan sama sopannya. Membiarkan Kenzo untuk benar-benar beranjak sebelum pada akhirnya Eriana melihat tabletnya sejenak. Lantas memanggil nama selanjutnya.

"Galih Dwi Basuki."

Seorang cowok langsung bangkit dari kursi tunggunya. Seraya menyahut dengan setengah berseru.

"Saya, Bu."

Pemilik nama itu melangkah. Menghampiri Eriana dengan tenang.

"Silakan masuk," ujar Eriana seraya membuka pintu. Menyilakan Galih untuk masuk ke ruangan Satria. Di mana Satria sudah menunggu kandidat asisten pribadinya yang keempat.

Eriana menutup pintu. Mengisyaratkan pada Galih untuk langsung menuju pada Satria ketika ia sendiri duduk di tempat terpisah. Tak terlalu jauh dari kursi yang ditempati oleh Satria dan Galih, Eriana menyimak wawancara itu dengan saksama. Tanpa luput untuk mencatat beberapa hal yang penting di tabletnya.

Ehm.

Eriana merasakan satu firasat. Tepatnya ketika ia memanggil nama Galih tadi. Entah mengapa, tapi Eriana merasakan kecenderungan bahwa Satria sudah menemukan asisten pribadinya.

Dan terbukti. Setelah wawancara hari itu berakhir, Eriana yang tengah merapikan meja wawancara mendengar Satria berkata.

"Sepertinya Galih cocok untuk jadi aspri aku."

Eriana mengangkap lima map dari atas meja. Mendekapnya di dada dan tersenyum seraya mengangguk.

"Ternyata benar tebakan aku."

Satria yang semula ingin kembali ke meja kerjanya, urung melangkah. "Maksudnya kamu udah nebak kalau aku bakal milih Galih?"

Eriana mengangguk dan melihat itu, Satria hanya mendeham samar.

"Oh iya. Kamu mau makan siang apa?" tanya Eriana memindahkan topik pembicaraan. "Mau makan di luar bareng Andika? Atau bareng aku?"

"Bareng kamu. Di sini. Kamu pesan aja yang kamu mau."

"Oke."

Eriana keluar dari ruangan Satria dengan membawa berkas para pelamar. Menaruhnya di meja, ia lantas segera melakukan pemesanan makan siang.

Membuang napas panjang, Eriana lantas terpikir sesuatu. Sepertinya masa-masa longgar yang ia miliki bersama Satria akan berakhir sebentar lagi. Ketika Teguh dan Galih bekerja, tentu ia dan Satria tidak akan seleluasa sekarang.

Nggak bakal ada curi-curi ciuman. Nggak bakal ada curi-curi remasan.

Eriana memejamkan mata. Menyingkirkan bayangan bila seandainya ia tidak bisa menahan diri dan akhirnya mereka terpergok. Teguh dan Galih menangkap basah dirinya yang tengah meremas bokong Satria.

Tampilan feminin dan anggun aku pasti tercoreng.

Eriana tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dan ia akan mengingatkan dirinya sebisa mungkin. Untuk selalu menjaga sikap. Menahan desakan apa pun itu kalau mendadak tangannya terasa gatal. Walau jelas itu adalah hal yang sulit.

Terbukti. Di hari pertama Teguh dan Galih datang ke kantor, Eriana sudah bisa merasakan perubahan atmosfer di lantai ia bekerja selama ini.

Ada meja baru yang disediakan. Bisa dikatakan tak berjarak dari meja milik Eriana. Dan adalah Teguh yang menempati meja tersebut.

"Ini beberapa hal yang mungkin bisa kamu baca," ujar Eriana seraya menyerahkan satu buku catatan bewarna hitam. "Peninggalan dari sekretaris Pak Satria yang terdahulu. Di sini ada banyak info yang bakal berguna buat kamu. Kesukaan Pak Satria, hal yang beliau benci, dan yang lainnya."

Teguh menyambut buku catatan tersebut. "Makasih, Bu."

"Terus ini jadwal Pak Satria selama sebulan ke depan. Juga jadwal dan kegiatan yang harus kamu lakukan. Untuk sementara waktu, semuanya bakal saya yang handle."

Kali ini adalah satu map yang Eriana berikan pada Teguh. Dan ia tak lupa berkata.

"Kalau misalnya ada yang kurang kamu mengerti, kamu bisa tanyakan ke saya."

"Baik."

Tuntas bicara pada Teguh, Eriana lantas berpindah pada Galih. Mengajaknya untuk beranjak dari sana. Menuju pada satu meja lainnya yang terpisah dari meja sekretaris.

"Ini meja kamu."

Galih melihat meja itu. Tertata rapi dan sistematik.

"Untuk jadwal kamu lebih fleksibel daripada saya dan Teguh," ujar Eriana. "Dan mungkin saja kamu nantinya nggak perlu ke kantor. Tergantung dari pekerjaan kamu."

Galih paham. "Dan untuk sekarang?"

"Pengecualian untuk sekarang. Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lakukan."

Eriana beranjak. Mengambil satu dokumen yang ada di atas meja. Ia menyerahkan benda itu pada Galih.

"Di dalam ada beberapa informasi mengenai keluarga Djokoaminoto. Juga ada proposal kegiatan yang akan dilakukan keluarga Pak Satria dalam waktu dekat. Coba kamu pelajari."

"Baik, Bu."

"Nanti kalau ada yang kurang kamu pahami," lanjut Eriana sebelum beranjak menuju ke mejanya. "Tanyakan ke saya."

Duduk kembali di balik meja sekretarisnya, diam-diam Eriana membuang napas lega. Sepertinya ia bisa dibilang sukses di hari pertama.

Menggelikan. Seharusnya Teguh dan Galih yang ketar-ketir dengan penilaian hari pertama. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.

Cukup Satria aja yang tau kalau aku agak gila. Jangan sampe dua junior ini juga tau. Bisa hancur harga diri aku.

Eriana yang semula ingin melanjutkan pekerjaannya, bergeming. Terpikirkan sesuatu hingga ia mengecek data di komputernya. Demi memastikan sesuatu.

Oke. Teguh itu setahun lebih muda dari aku. Sementara Galih itu justru lebih tua tiga bulan dari aku.

Namun, tentu saja itu tidak mengubah fakta bahwa Galih pun tercatat sebagai junior Eriana. Junior dalam pekerjaan tepatnya.

Waktu terus bergulir. Eriana yang sempat berpikir bahwa dirinya akan butuh waktu demi adaptasi bekerja dalam tim, nyatanya tidak mengalami perubahan nyata. Praktis ketika fokusnya tersita pada pekerjaan maka Teguh dan Galih seperti tak ada di dekatnya.

Hingga rasanya wajar saja bila Eriana tidak sadar bahwa kala itu Teguh dan Galih saling bertukar pandang. Tepat ketika jam menunjukkan pukul dua belas siang dan waktu istirahat telah datang.

"Bu."

Suara Teguh membuat jari-jari Eriana yang bergerak di atas papan ketik, berhenti. Ia mengerjap sekali. Berpaling.

"Ya?" tanya Eriana. "Ada yang kurang kamu mengerti?"

Teguh melirik pada Galih sejenak. "Ehm ... ini sudah jam dua belas."

Eriana melihat jam di komputernya. Tampak kaget.

"Wah! Udah waktunya untuk makan siang."

Baik Teguh maupun Galih sama-sama membuang napas lega. Terlebih lagi karena sejurus kemudian Eriana bangkit dari duduknya.

Ehm ... Satria masih kerja? Dia emang gitu. Semenjak nikah, jadwal makannya pun harus aku yang ingat.

Satria tidak menghubunginya dan Eriana bermaksud untuk mengecek ke ruang kerja sang suami. Ia bisa menebak. Bahwa persis seperti dirinya, Satria pasti tengah serius berkutat dengan pekerjaannya.

"Oh ya, Bu."

Langkah kaki Eriana terhenti seketika. Saat ia mendapati Teguh kembali bicara padanya. Berikut dengan Galih yang turut menghampiri mereka.

"Apa Ibu keberatan kalau makan siang bareng kami di kafetaria kantor?" tanya Teguh dengan sedikit ragu.

Eriana melongo. "Eh?"

"Ehm maksudnya ..."

Galih turut bicara. Membuat tatapan Eriana berpindah pada cowok berambut cokelat gelap itu.

"... karena kami masih baru dan kami butuh banyak adaptasi, jadi kami pikir kami butuh sharing sama Ibu."

Itu memang masuk akal. Tentu saja. Sebagai karyawan baru, pastinya mereka butuh seseorang untuk bertukar pikiran. Dan Eriana adalah orang yang tepat.

"Ibu kan sudah lumayan lama jadi sekretaris Pak Satria," sambung Teguh. "Jadi pasti sudah tau betul sifat beliau. Kami butuh banyak belajar."

"Ehm ... itu ...."

Eriana menahan desakan diri untuk menggaruk tengkuk. Ia ragu. Sepertinya makan bersama Teguh dan Galih bukanlah ide yang bagus. Tapi, harus dengan alasan apa Eriana menolaknya?

Maaf. Makan siang saya itu jatah pribadi milik Pak Satria.

Eriana merinding membayangkannya. Lagipula bila ia ingin berpikir secara profesional maka seharusnya Eriana merasa senang. Itu karena Teguh dan Galih ternyata adalah orang yang benar-benar berdedikasi terhadap pekerjaan.

Namun, di lain sisi Eriana tidak akan lupa 'pekerjaan' apa yang lebih penting dan harus ia dahulukan. Yang satu ini berkaitan dengan keberlangsungan dunia Eriana. Ia tidak ingin menghadapi kiamat dalam waktu dekat.

Satria bukan orang yang bisa terima bila harus disingkirkan atau dinomorduakan. Dan bila itu berbicara soal prioritas maka Satria harus selalu jadi yang utama.

Bisa dibayangkan? Seandainya Eriana berkata pada Satria bahwa ia lebih memilih makan siang bersama dengan Teguh dan Galih?

Ugh! Membayangkannya saja sudah bisa membuat Eriana merinding ketakutan. Apalagi kalau benar-benar menjadi kenyataan.

"Ehm ..."

Eriana memutar otak. Berpikir dengan cepat.

"... sepertinya saya harus menemui Pak Satria. Saya khawatir nggak bisa gabung dengan kalian."

Teguh dan Galih mengangguk. Tampak mengerti walau jelas Eriana masih bisa menangkap gurat kecewa di sana.

"Baiklah kalau gitu, Bu," ujar Teguh tersenyum. "Mungkin besok saja."

Eriana bergeming. "B-besok?"

"Kalau begitu kami duluan, Bu," kata Galih.

Dan Eriana hanya bisa terbengong melihat kepergian kedua orang cowok itu. Hingga mereka menaiki lift dan menghilang dari pandangannya, Eriana bergumam.

"Dulu seorang cowok pun nggak ada yang mau ngajak aku makan. Eh, sekarang pas aku udah nikah? Malah dua cowok sekaligus yang ngajak aku makan. Mana semuanya cakep-cakep lagi."

Eriana geleng-geleng. Berdecak dengan wajah tak berdaya.

"Memang benar kata orang," lirih Eriana kemudian. "Istri orang lebih menggoda."

Pun sejujurnya, baik Teguh maupun Galih juga memiliki godaan tersendiri. Karena kalau berbicara soal penampilan, tentu saja mereka tidak ada cela. Sesuai dengan kriteria Satria tentunya. Pintar, cakap, dan sedap dipandang.

Namun, Eriana yakin seyakinnya. Dibandingkan dengan Teguh dan Galih, ia jelas memiliki seseorang yang lebih dari sekadar pintar, cakap, dan sedap dipandang.

Eriana membuka pintu ruangan Satria. Suara samarnya cukup ampuh untuk membuat konsentrasi cowok itu buyar.

Satria mengangkat wajah. Melayangkan tatapan ke seberang sana. Di mana ada Eriana yang berdiri tepat di ambang pintu.

Dahi Satria mengerut. Satu pertanyaan melintas di benaknya.

Kenapa dia nggak masuk?

Lantaran alih-alih langsung dan menutup pintu, Eriana justru dengan amat sengaja berdiri di sana. Menahan pintu, bersandar, lalu mengedipkan satu mata.

Satria membuang napas panjang. Sekilas, ia melirik pada jam di layar monitor komputernya.

Oke. Udah jam dua belas lewat sepuluh. Makan siang dia telat. Wajar kalau mulai kumat.

Satria memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Meraih jas yang selalu ia gantung ketika bekerja dan segera mengenakannya dengan ringkas. Ia berjalan menghampiri Eriana.

"Teguh dan Galih mana?" tanya Satria basa-basi. Karena kalau melihat tingkah laku Eriana, ia pun bisa menebak. "Pergi makan siang?"

Eriana mengangguk. Tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya memberikan tatapan terpesona pada Satria.

"Oke."

Mata Eriana mengerjap dengan penuh irama. "Oke?"

"Ya ... oke. Kalau Teguh dan Galih udah pergi makan, sekarang waktunya buat kita yang pergi makan."

Satria mengangkat tangan kirinya. Memberikan satu sentakan sekilas demi melihat jam di sana.

"Aku khawatir kamu makin parah kumatnya kalau makin lama telat makan."

Ucapan Satria dengan amat telak mengusir pose sok seksi yang sedari tadi Eriana pasang. Tergantikan oleh kekehan geli yang tak mampu ia tahan. Tapi, tak urung juga di sela-sela tawa lirih itu, Eriana berkata. Seraya menjentikkan jarinya di depan wajah Satria.

"Kamu emang benar-benar tipe aku, Sat."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top