20. Sebelas Dua Belas

Kala itu malam sudah menunjukkan jam setengah sembilan. Keadaan di rumah Satria terkesan tenang dan hening. Tapi, bukan berarti aktivitas sudah berakhir. Alih-alih sebaliknya.

Di ruang terpisah, Satria dan Eriana sama berkutat dengan pekerjaannya masing-masing. Terkesan amat cinta bekerja, tapi pada kenyataannya tidak begitu. Alih-alih sebaliknya. Satria dan Eriana sepakat untuk tidak berada dalam radius yang dekat sebelum tengah malam. Lantaran pinggang Eriana yang masih terasa tak nyaman.

Tidak bermaksud berlebihan. Walau hari terus berganti sejak tragedi gombalan gagal Satria, nyatanya ada satu hal yang selalu berhasil. Yaitu, gempuran akan selalu terjadi ketika mereka berdekatan.

Eriana ingat sekali. Di hari ia makan siang bersama dengan Intan, malamnya ia menceritakan pembicaraan mereka pada Satria. Tertawa dan tanpa sadar bergelayut pada Satria. Hingga akhirnya keesokan hari pinggang Eriana makin aneh rasanya.

Baru saja ingin membaik di dua hari selanjutnya, Eriana yang mendapati Satria hanya berbalutkan handuk, menyerah kembali. Dan itu terjadi berulang kali. Hingga akhirnya Eriana menabahkan hati. Bahwa rasa tidak nyamannya setimpal dengan rasa enaknya.

Eh?

Intinya adalah Eriana membenarkan perkataan orang. Bahwa jangan macam-macam dengan pengantin baru. Selagi kaki masih bisa berdiri maka selama itu pula semua kesempatan bisa dimanfaatkan.

"Oke. Sekarang waktunya untuk kerja. Jangan mikir Satria. Dia nggak bakal ilang."

Eriana mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa bisa saja sebentar lagi pinggangnya akan benar-benar patah kalau Satria tidak dengan cepat memberikan solusi untuk mereka berdua.

"Seenggaknya ini ide yang bagus," lirih Eriana seraya membuka surel di komputer. Menyortirnya dengan teliti seraya angguk-angguk kepala. "Sambil nunggu pinggang aku sembuh, kerjaan pun selesai."

Ada pekerjaan yang harus disegerakan oleh Eriana. Diam-diam, menjadi prioritasnya. Maka tak heran ketika senyum mengembang di wajah Eriana tatkala ia membuka surel yang ia cari.

Itu adalah data mengenai pelamar untuk asisten pribadi Satria. Lowongan yang sudah ia buka sekitar dua minggu yang lalu.

"Kalau Satria udah punya aspri dan sekretaris baru, itu artinya aku jadi selamat sentosa. Mau pinggang encok juga nggak jadi masalah. Toh aku bisa rebahan sepanjang hari di rumah."

Eriana terkekeh. Tapi, fokus matanya tidak terjeda sama sekali dari data yang tampil di layar komputernya.

Sudah mengenal Satria, tidak sulit bagi Eriana menebak apa yang suaminya inginkan. Maka setidaknya ia telah memilih lima orang kandidat yang akan menjalani tes wawancara. Dan tentunya, semua kandidat itu cowok.

Selesai dengan itu, Eriana berpindah pada surel lainnya. Kali ini ia membuka surel balasan dari Teguh Santoso. Dan senyum mengembang di wajahnya.

"Untunglah dia belum dapat kerjaan lain."

Eriana dengan cepat mengatur jadwal pemanggilan Teguh. Direncanakan dua hari lagi, ia meminta Teguh untuk datang ke kantor.

Membuang napas panjang, Eriana lantas bertopang dagu. Fokus matanya di layar komputer perlahan memudar. Ketika tanpa mampu ia elak dan imajinasi itu mulai meliar di benaknya.

Paling nggak bulan depan Teguh udah bisa bantuin aku. Terus aspri Satria juga. Kalau gitu, sekitar dua atau tiga bulan lagi ... aku bisa resign dong ya?

Sekelumit senyum muncul di wajah Eriana. Imajinasinya berlanjut.

Kalau aku udah nggak kerja, artinya aku di rumah aja dong ya? Ehm berarti fokus aku cuma untuk melayani Satria.

Eriana mendeham. Rasa panas mulai muncul di pipinya. Berikut dengan rona merah yang menyertainya.

Istilahnya ... tugas aku ntar cuma jadi istri yang berbakti aja.

Ugh! Sungguh amat berbakti. Karena hanya Eriana, Satria, dan Tuhan-lah yang tahu makna berbakti di antara sepasang suami istri itu.

"Ehm ...."

Senyum Eriana melebar. Terkesan malu-malu. Pun tersipu.

Tapi, Satria itu keren banget nggak sih? Walau di luar kelihatan keras, ternyata di dalam lebih keras lagi.

Eh?

Kekehan Eriana nyaris menyembur. Ia buru-buru meralat pikirannya.

Maksudnya ... walau Satria itu kelihatan dingin, tapi ternyata dia itu panas banget. Panas membara.

Nah! Tentu saja itu benar. Walau sejujurnya pemikiran Eriana sebelumnya juga benar kok.

"Eri?"

Eriana kembali tersenyum. Dan fokus matanya telah menghilang. Tergantikan tatapan kosong yang anehnya menyorotkan kesan manis.

Walau di luar kayak nggak berperasaan, tapi dia itu penuh perhatian.

"Eri?"

Kepala Eria bergoyang samar. Layaknya ada lantunan musik dan ia tengah berdendang bersamanya.

Ya Tuhan. Kayaknya aku benar-benar jatuh cinta. Tapi, tunggu dulu. Ini cinta atau karena aku lagi kecanduan nyut-nyutan sama dia ya?

Eriana mendengkus geli. Tapi, ia tidak peduli.

Nggak ada salahnya jatuh cinta sama nyut-nyutan suami sendiri, Ri. Kamu cewek normal.

"Eri?"

Dan sekarang Eri yakin seratus persen. Bahwa ini bukan sekadar candu belaka.

Buktinya ... suara dia pun terngiang-ngiang di kepala aku. Ya ampun.

"Eri!"

Eri terlonjak seketika. Matanya mengerjap dan ia lantas melotot.

"S-Satria?"

Ada Satria di hadapan Eriana. Yang tidak ia ketahui entah sejak kapan berada di sana. Tapi, kalau boleh menebak, tentunya Eriana yakin bahwa Satria sudah ada di ruang kerjanya dalam kurun waktu yang lumayan lama.

Hal yang memberatkannya adalah fakta bahwa Satria tidak duduk di kursi. Alih-alih berdiri dengan bersedekap. Tubuh condong ke arah Eriana dan tatapan tajam cowok itu tertuju lurus padanya.

Satria memaku tatapan Eriana. Cewek itu sontak kelimpungan. Salah tingkah.

"K-kamu sejak kapan ada di sini?"

Satria tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya memang membuka, tapi ia masih tidak bersuara untuk beberapa saat.

"Kamu mikirin apa?"

Alih-alih menjawab, Satria justru balik bertanya. Matanya menyipit. Menguarkan sorot menyelidik. Dan rona merah di pipi Eriana membuat ia berakhir pada satu kesimpulan.

"Kamu pasti mikir mesum kan?"

Rona merah itu semakin menjadi-jadi. Kali ini pipi Eriana dan saus tomat tak ada bedanya sama sekali. Satria pun tak butuh jawaban.

"Dasar otak mesum."

Eriana cemberut. Tapi, tidak tersinggung sama sekali. Alih-alih ia cenderung membenarkan tudingan Satria. Walau dengan kesan heran.

"Ehm ... aneh," lirih Eriana seraya menyandarkan punggung ke kursi. "Padahal aku udah lama nggak diinfus, tapi kok aku makin mesum ya?"

Satria menarik diri. Berdiri dengan tegap sebagaimana mestinya. Tapi, ucapan Eriana mau tak mau membuat ia meremang. Satria bahkan harus mengusap tengkuknya.

"Aku nggak tau kalau ada hubungan antara infus dengan mesum kamu, Ri. Yang aku tau, tanpa ada infus aja kamu emang udah mesum."

Eriana melirik Satria penuh arti. "Benar kan? Aku emang udah mesum kan?"

Ya Tuhan. Rambut di tengkuk Satria benar-benar berdiri kali ini.

"Oh ya, Sat. Ada yang mau aku omongin. Jadi kita lupakan dulu soal kemesuman aku. Mesum aku bisa ditahan bentar."

Enteng sekali Eriana mengatakan hal tersebut. Pun sama entengnya ketika ia menegapkan punggungnya kembali.

"Aku udah manggil Teguh. Jadwalnya dua hari lagi," kata Eriana sambil meraih tablet di atas meja. Membuka jadwal Satria dan memeriksanya sekali lagi. "Kamu ada jam kosong pukul sebelas. Jadi aku pikir itu waktu yang pas buat ketemu sama Teguh."

Oke. Sepertinya pekerjaan adalah tameng yang tepat untuk membentengi kemesuman Eriana.

Satria menarik kursi. Duduk. Melihat jadwalnya di sana, sekilas. Lalu ia mengangguk.

"Terus gimana dengan aspri aku?" tanya Satria kemudian.

Kali ini Eriana benar-benar menyerahkan tablet tersebut pada Satria. Ada satu berkas yang ia buka di sana. Satria menerimanya dan langsung membacanya.

"Aku udah ngecek dan ada lima orang yang aku pikir sesuai dengan kriteria kamu. Cowok, single, berpenampilan menarik, aktif organisasi, dan fasih beberapa bahasa. Ada Mandarin dan Arab. Keren kan?"

Satria mengangguk samar.

"Tapi, coba kamu lihat dulu. Kalau ada yang kurang srek, aku cek lagi."

Satria menggulir data pelamar di sana. Melihat beberapa piagam dan sertifikat yang terlampir. Lalu ia mengangguk lagi.

"Pas. Ini sesuai dengan kriteria aku."

Eriana menjentikkan jarinya hingga berbunyi. "Aku emang udah tau banget selera kamu."

Satria melirik. Melihat kebanggaan memancar di mata Eriana.

"Jadi kapan rencananya kamu mau manggil mereka?" tanya Satria sejurus kemudian. Ia menaruh kembali tablet ke atas meja. "Minggu depan?"

Eriana merenung sejenak, barulah ia mengangguk.

"Rencananya. Tapi, aku mau ngecek jadwal kamu dulu. Kayaknya minggu depan perwakilan kita mau presentasi ke Arka Group. Soal perombakan desain bangunan Arka Plaza."

"Oke. Kamu atur aja."

Eriana mengangguk santai. "Tenang. Itu udah tugas aku," katanya ringan. "Sebagai sekretaris dan juga istri."

Mengatakan hal tersebut, Eriana lantas tersadar akan sesuatu.

"Sekarang kalau aku pikir-pikir ... kerjaan aku ini kayak double nggak sih, Sat?"

Satria bersandar dengan santai. "Double?"

"Iya," angguk Eriana sambil bertopang dagu pada dua siku. "Double."

Sepertinya Satria bisa menebak arah pikiran Eriana. Maka tak heran bila ia melirih singkat, lalu mengutarakan tebakannya.

"Karena kamu ngurus aku nggak cuma di rumah? Tapi, juga untuk urusan kantor."

Bola mata Eriana membesar. "Benar kan? Jadi kayak double kan? Coba lihat istri yang lain, cuma ngurus suaminya di rumah aja. Sementara aku?"

Eriana geleng-geleng kepala. Tampak takjub pada dirinya sendiri.

"Kamu benar-benar cowok yang beruntung, Sat."

"Aku bukannya beruntung, Ri," ralat Satria. "Tapi, pilihan aku jarang ada yang meleset."

Eriana tersenyum masam. Tapi, ia sependapat dengan Satria.

"Nggak nggak. Sebenarnya malah aku yang beruntung."

Menarik napas dalam-dalam, Eriana lantas menatap Satria. Dan tindakan itu membuat Satria mengerutkan dahi. Karena cara Eriana menatapnya sama persis ketika Satria datang tadi. Yang ketika ia melamun, tapi matanya justru menyorotkan kesan manis.

"Aku bisa nikah sama kamu ... itu jelas aku yang beruntung."

Satria mengerjap. Ia jelas sadar akan sesuatu. Bahwa Eriana itu selalu merayunya. Menggodanya. Dan kalaupun ia memuji, pastilah itu pujian yang berkisar dengan hal-hal mesum.

Bokong seksi. Sensasinya yang sempurna. Dan ah! Entah apa pun itu, pasti ujungnya satu. Yaitu, mesum.

Namun, mengapa Satria merasa ada yang aneh kali ini? Perasaannya saja atau memang demikian?

"Kamu udah cakep, baik, pintar, eh perhatian lagi sama aku."

Satria bergeming. Hanya matanya yang mengerjap bingung. Dan tatapan manis di mata Eriana semakin menjadi-jadi.

"Aku jadi bertanya-tanya."

Eriana membuang napas sekilas. Lalu tersenyum.

"Kira-kira amal perbuatan apa ya yang aku buat dulu? Sampe Tuhan ngasih rahmat dan karunia dalam bentuk suami kayak kamu?"

Satria meneguk ludah. Sungguh. Jantungnya mulai memberikan degupan yang tak nyaman.

Keringat dingin mulai memercik di dahi Satria. Tubuhnya mulai terasa menggigil. Dan akhirnya, Satria bangkit mendadak.

Eriana kaget. Tapi, belum cukup kaget hingga Satria meraih tangannya. Menariknya dan mengajak Eriana turut berdiri pula. Satria berkata.

"Ayo!"

Eriana menatap Satria bingung. "Ayo?"

"Iya," angguk Satria. "Ayo."

"Ayo ke mana?"

Satria menatap Eriana dengan penuh makna. "Ayo ke mana lagi selain ke kamar?"

"Hah?"

Eriana melongo untuk beberapa saat. Menatap Satria dan cowok itu tidak menunjukkan tanda-tanda sedang bercanda. Dan lagipula, memangnya kapan Satria pernah bercanda?

Namun, keanehan justru terjadi. Walau Satria tidak bercanda, nyatanya Eriana justru tertawa.

"Sat!" jerit Eriana geli. "Aku muji kamu. Bukannya godain kamu."

Satria menarik Eriana. Mengajaknya beranjak dari sana seraya menggerutu.

"Kapan hari aku juga muji kamu. Dan apa yang kamu lakukan?"

Eriana tak bisa mengelak. Alih-alih berusaha meredam tawanya. Tepat ketika Satria mengajaknya keluar dari ruang kerja.

Ups! Jangan sampai ada telinga dan mata yang melihat tawa mesum itu. Bisa-bisa keesokan hari ada gosip yang beredar di antara asisten rumah tangga.

Namun, ketika mereka sudah berada di kamar, semuanya pun kembali ke setelan pabrik. Tawa kembali berderai. Tentunya tak lama. Karena selanjutnya adalah desahan yang mengalun.

*

bersambung ....

Btw. Mungkin masih ada yang belum tau, tapi aku sekarang lagi open PO novel TEST DRIVE. Buat yang mau peluk buku Vonda-Max, yuk buruan ikutan PO. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top