2. Namanya Juga Sembunyi-Sembunyi
"Ah! Makan rawon siang-siang gini emang enak banget."
Memejamkan matanya, Eriana tampak mendesah nikmat tatkala satu sendok rawon berakhir di dalam mulutnya. Meresapi aneka rempah di kuahnya, cewek itu kemudian mengunyah dagingnya dengan teramat berirama. Seperti tidak ingin membiarkan sedikit pun sensasi lezat itu terlewatkan oleh saraf-saraf perasanya.
Satria melihat Eriana dengan sorot aneh, tapi tak mampu menahan satu seringai kecil yang muncul di benaknya ketika melihat Eriana yang tampak begitu menikmati makan siangnya.
"Makasih untuk Tuan Kim Ra Won untuk inspirasi makan siangnya hari ini. Semoga aja besok ada inspirasi lainnya. Mungkin ada Nona Sotomi kan?"
Eriana tersenyum geli ketika Satria justru geleng-geleng kepala.
"Satomi," ralat Satria. "Bukan Sotomi."
Eriana menutup mulutnya dengan jenaka. "Ups! Kamu bener. Satomi, bukan Sotomi. Ehm ... padahal kan enakan Sotomi daripada Satomi."
"Ckckck."
Entah sampai kapan kesenangan Eriana yang memplesetkan nama-nama itu akan selesai. Untungnya kala itu mereka tengah makan di ruangan VVIP. Jadi Satria tidak perlu merasa khawatir kalau ada pengunjung restoran lainnya melihat kelakuan istrinya.
"Kamu nggak makan, Sat?" tanya Eriana ketika menyadari bahwa Satria belum mulai menikmati makan siangnya. "Ini beneran enak loh."
Mata Satria melirik sedikit. Pada Eriana yang bicara padanya tanpa merasa perlu untuk melihat pada suaminya itu. Karena alih-alih menatap pada Satria, Eriana lebih memilih fokus pada mangkuk rawonnya. Menyendok kuahnya dan menyesapnya. Lalu ia mendesah nikmat lagi.
"Aku tau makanan ini emang enak, Ri. Nggak perlu kamu kasih tau juga," ujar Satria seraya memulai makan siangnya. "Aku udah tau dari ekspresi wajah kamu."
Lagi, Eriana tersenyum geli. "Rasa-rasanya aku mau bungkus deh." Ia melihat pada pelayan yang berdiri di dekat pintu dan memanggilnya dengan satu lambaian tangan. "Intan pasti suka," sambungnya pada Satria.
Seorang pelayan datang. Membuat Satria menahan sejenak kata-kata yang ingin terlontar dari lidahnya. Menunggu. Karena perkataan Eriana tadi membuat Satria teringat akan sesuatu.
"Ya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?"
Eriana menaruh sejenak sendok dan garpu dengan rapi di sisi piring dan menjawab pertanyaan itu.
"Tolong rawonnya dibungkus dua porsi ya, Mbak?"
Pelayan mengangguk. "Baik, Bu."
Menunggu hingga pada akhirnya pelayan itu benar-benar meninggalkan mereka, Satria lantas bertanya.
"Jadi rencananya mau sampai kapan kamu di unit kamu itu? Ini udah berapa hari kamu tinggal di sana, Ri."
Eriana yang berencana untuk melanjutkan kembali makan siangnya, tertegun. Sendok yang siap untuk menyuap nasi ke dalam mulutnya berhenti bergerak. Ia melihat Satria.
"Kapan kamu mau balik ke rumah?"
O oh. Satu hal yang nyaris terlewatkan. Mengenai situasi yang saat ini sedang dijalani oleh Eriana. Terkait dengan pernikahan mereka yang mendadak dan juga status yang saat ini disandang oleh cewek itu.
Seperti yang diketahui bahwa Eriana dan Satria sepakat untuk merahasiakan sejenak berita mengenai pernikahan dadakan mereka. Demi menghindari berita miring yang bisa saja menerpa cewek itu. Tapi, imbasnya tentu saja pada kehidupan mereka sehari-hari.
Dulu ketika pernikahan itu akan berlangsung, Eriana beralasan pada Intan –teman satu unitnya- bahwa ia sedang ada tugas kantor. Menemani sang bos ke luar kota dalam rangka pekerjaan.
Namun, selama apa tugas kantor itu? Sehari? Dua hari? Seminggu? Bahkan bisa saja sebulan lamanya andaikan kala itu perjalanan bulan madu mereka tidak ditunda berkat Eriana yang mendapat periode bulanannya.
Waktu yang sangat tepat. Karena pada saat itu Intan mengirim pesan pada Eriana. Menanyakan kapan cewek itu akan pulang dan menyadarkannya bahwa ia sudah lama meninggalkan apartemennya.
Akhirnya Eriana pun mau tak mau kembali lagi ke unit sewaan mereka. Meninggalkan sejenak kemewahan yang sudah menjadi hak dirinya. Termasuk di dalamnya, meninggalkan sejenak Satria. Hiks.
"Atau kalau nggak ..."
Satria menarik napas sejenak. Melegakan tenggorokannya dengan seteguk air yang sejuk.
"... gimana kalau kamu jujur saja sama Intan? Bilang kalau kamu sudah menikah dengan aku. Jadi kamu bisa balik langsung ke rumah."
Itu adalah pilihan yang cukup masuk akal. Daripada mereka hanya sembunyi-sembunyi seperti ini kan? Terlebih lagi karena Eriana yakin. Intan sebagai sahabatnya adalah cewek yang bisa menjaga rahasia.
"Aku yakin kok Intan nanti pasti ngerti posisi kamu."
Mengatakan itu, Satria kembali meraih sendoknya. Berat mengakui. Tapi, sepertinya ia sependapat dengan Eriana. Makan rawon di siang itu memang adalah keputusan yang tepat.
Eriana mendeham sejenak. "Menurut kamu gitu, Sat?"
Sekarang tampaknya Eriana tidak lagi tergoda dengan rawonnya. Karena pada detik selanjutnya ia justru berpindah tempat duduk. Mengambil tempat di dekat Satria.
"Sebenarnya aku sih memang mau balik ke rumah dari kemaren. Sejujurnya ... aku kangen banget tidur sama kamu."
"Hukkk!"
Satria terbatuk. Sendok terlepas dari tangan. Mata melotot dan ia megap-megap. Sial! Tapi, sepertinya daging sapi tadi meluncur ke tenggorokannya sebelum ia kunyah dengan sempurna.
Bertopang dagu pada satu siku, Eriana tak menghiraukan bahwa kala itu Satria lebih membutuhkan segelas air ketimbang mendapati tatapan lekat darinya. Bahkan ketika Satria memilih untuk mengabaikannya, meraih gelas minumnya, dan menyesap isi di dalamnya, Eriana sama sekali bergeming. Tetap menatap pada Satria dengan sorot yang membuat cowok itu mendeham berat.
"Kayaknya kelas etika kamu harus diulang lagi, Ri."
Melirih pelan, Satria melirik pada Eriana dengan wajahnya yang memerah. Sama sekali tidak mengira bahwa Eriana akan berkata sefrontal itu. Tapi, ini Eriana. Harusnya Satria tidak heran sama sekali.
"Gimana bisa kamu bahas soal gituan di sini? Ntar didengar orang."
Eriana terkekeh sekilas. "Nggak bakal ada yang dengar kok. Kan kita di ruang VVIP."
Satria memejamkan mata dengan dramatis. Yang dikatakan oleh Eriana memang benar. Hanya ada mereka berdua di sana.
"Tapi, jujur deh, Sat."
Suara Eriana kembali terdengar. Membuat mata Satria membuka. Ketika ia melihat Eriana, cewek itu tampak tersenyum manis padanya.
"Kamu juga kangen kan tidur bareng aku?"
Ya salam, Eri.
Satria hanya bisa membuang napas panjang. Berusaha untuk menahan diri, tapi ia tak bisa. Bahkan Satria pun tidak peduli seandainya mereka ada di depan umum. Nyatanya cowok itu kemudian memberikan jitakan kecil di dahi Eriana. Mendelik.
"Kalau udah tau, makanya bilangin aja itu ke Intan. Biar kamu cepat balik lagi ke rumah."
Memikirkan hal itu, Satria lantas membalas tatapan Eriana.
"Memangnya masuk akal? Kamu ninggalin rumah sudah berapa hari? Ck. Jujur, Ri. Sekarang ini aku berasa kayak jadi suami simpanan yang ditinggal sama istrinya. Gara-gara istrinya mau nemenin suami aslinya."
Eriana segera menutup mulutnya. Mencegah tawanya untuk benar-benar meledak. Tapi, sorot geli yang terpancar di matanya sudah lebih dari cukup untuk membuat Satria kesal juga.
Namun, kekesalan yang Satria rasakan masih belum seberapa. Sampai di detik selanjutnya Eriana mengatakan sesuatu yang membuat Satria nyaris tidak bisa bernapas lagi.
"Ah, gimana ya?" tanya Eriana tanpa menunggu jawaban Satria. Menampilkan gestur genit, ia memainkan anak rambut di sisi wajahnya. "Kan kamu tau, Sat. Mas Bimo katanya masih bakal sekitar seminggu lagi di Indonesia. Jadi kamu yang sabar ya, Sayang?"
Mata Satria membesar seketika. Syok. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja Eriana katakan.
"A-a-apa kamu bilang?"
Satria melonggarkan ikatan dasi di lehernya. Sepertinya ia memang akan kehabisan napas sebentar lagi sementara Eriana tampak sebaliknya. Geli di wajahnya semakin menjadi-jadi.
"Mas Bimo. Ehm .... Ntar kalau dia udah pergi, aku bakal langsung nemuin kamu. Jangan marah ya, Sayang? Nggak lama lagi aku bakal jadi milik kamu seutuhnya."
Satria benar-benar syok. Rasanya tak mampu berkata apa-apa lagi ketika Eriana dengan entengnya mempermainkannya seperti itu. Ini seperti mereka benar-benar yang sedang melakukan skandal. Perselingkuhan. Dengan dirinya yang berperan sebagai cowok simpanan, sedangkan Eriana sebagai istri yang haus kasih sayang lantaran sering ditinggal oleh suami sahnya.
"Wah! Mas Bimo? Pemilihan nama yang buruk banget."
Wajah cemberut Satria tampak dengan jelas saat ini. Ia menggerutu. Dan di mata Eriana, itu persis seperti selingkuhan yang sedang merajuk karena dinomorduakan. Dan ia pun tergelak.
"Hahahaha."
Satria tidak peduli dengan tawa Eriana. Ia menggerutu dengan wajah cemberut.
"Pokoknya, aku nggak mau tau deh. Paling lama Sabtu besok kamu udah balik ke rumah. Kalau kamu nggak bisa ngomong langsung ke Intan, biar aku yang ngomong ke dia."
Eriana menghentikan tawanya. Terlepas dari gurauannya pada sang suami, ia tau betul bahwa Satria tengah serius kala itu.
"Iya, Sat, iya. Ntar deh. Malam ntar. Aku nyoba buat ngomong sama Intan. Kamu nggak perlu khawatir."
Tak hanya mengatakan itu, Eriana pun lantas meraih tangan Satria. Meremasnya pelan seraya memberikan seulas senyum di wajahnya. Seperti dirinya yang benar-benar ingin meyakinkan cowok itu. Bahwa ia benar-benar akan melakukan apa yang ia katakan.
*
Eriana pulang dengan mengendarai taksi, alih-alih membiarkan dirinya diantar oleh Satria. Bukannya apa. Tapi, Eriana tidak ingin membuat orang bertanya-tanya ketika melihat dirinya turun dari mobil mewah yang sama berulang kali. Karena boro-boro ada isu Satria sebagai suami simpanan, bisa jadi malah ia yang digosipkan menjadi wanita simpanan. Hiks.
Seorang satpam, yang sedang bertugas di posnya, langsung bangkit tatkala melihat kedatangan Eriana. Malam itu, seperti biasa, ia menyapa.
"Malam, Neng. Baru balik?"
Eriana memutuskan untuk tidak langsung masuk ke gedung. Alih-alih menghampiri satpam yang bernama Joko itu.
"Iya, Pak," jawab Eriana. "Ada lemburan dikit. Makanya malam baliknya."
Tentu saja yang Eriana katakan adalah sebuah kebohongan. Sejak sah menjadi istri Satria, tentu saja lembur tidak ada lagi dalam kamus bekerjanya.
Lembur? Ehm ... sama Satria sih iya lembur. Kalau sama kerjaan? Pasti nggak dong. Hihihihi.
Karena alih-alih lembur karena bekerja, keterlambatan pulang Eriana kala itu lantaran ia makan malam dengan Satria. Setidaknya itu hal kecil yang bisa Eriana lakukan demi menjaga emosi Satria yang masih sedikit goyah hari itu.
Heran deh ya. Aku yang bulanan, tapi Satria yang sensian. Ehm ... apakah ini yang namanya ikatan cinta antara suami istri?
Sebisa mungkin Eriana menahan diri. Jangan sampai ia cekikikan lantaran imajinasinya yang sudah melayang ke mana-mana. Kalau Joko sampai menganggap dirinya gila kan bisa gawat.
"Ah iy iya," angguk Joko. "Ngomong-ngomong nih, Neng. Itu cowok yang kapan hari nyariin Neng, tadi datang lagi."
Eriana mengerutkan dahi. Lagi-lagi ia baru sadar bahwa banyak hal yang benar-benar nyaris ia lupakan lantaran pernikahannya. Dan ini salah satunya. Ada seseorang yang kerap mencari dirinya di unit. Tapi, ketika satpam yang sudah paruh baya itu menanyakan namanya, orang itu tidak menyebutkannya.
"Datang lagi?"
Joko mengangguk. "Saya jadi curiga, Neng, ngeliatnya. Perasaan saya nggak enak gitu. Kayaknya Neng harus hati-hati deh."
Hati-hati? Terkesan berlebihan nggak sih?
Namun, Eriana tersenyum. Memberikan satu anggukan samarnya sebelum kemudian memutuskan untuk beranjak dari sana. Tanpa lupa mengucapkan terima kasih tentunya.
"Makasih, Pak. Saya masuk dulu ya."
Ketika lift telah bergerak, membawa dirinya pelan-pelan naik ke atas, melewati tiap lantainya, Eriana terpekur. Seraya mempertahankan kantung berisi dua porsi rawon, ia berpikir. Benaknya bertanya-tanya, siapa adanya cowok yang berusaha untuk menemuinya.
Aneh. Tapi, kalau dia mau nemuin aku, otomatis langsung ngubungi aku kan?
Eriana mengembuskan napas panjang. Menelengkan wajahnya ke satu sisi. Tetap berusaha mengira-ngira. Hingga ada satu nama yang melintas di benaknya.
Ah, masa? Nggak mungkin kan kalau dia yang mau nemuin aku?
Buru-buru, Eriana menyingkirkan kemungkinan itu dari pikirannya. Geleng-geleng kepala dan berkata pada dirinya sendiri.
"Udah lama banget dia nggak ngubungin aku. Bahkan pas aku terdampar di negeri Ratu Elizabeth itu aja dia nggak ada muncul-muncul lagi. Kan nggak mungkin banget kalau dia mendadak justru mau nemuin aku."
Namun, entah mengapa Eriana lantas mendapati perasaannya tak mengenak karena pemikiran itu. Bahkan ketika pada akhirnya lift berhenti di lantai yang ia tuju, ia melangkahkan kaki dengan gontai. Seperti tak ada lagi tenaga lantaran energi di tubuhnya yang terpaksa digunakan untuk memeras otaknya.
Masa sih ... Jefri? Nggak mungkin kan?
Hanya saja lingkaran pertemanan Eriana sudah mengecil semenjak ia fokus dengan studinya. Praktis ia tidak memiliki banyak teman atau pun kenalan yang berjenis kelamin laki-laki. Dan rasa-rasanya, tidak ada dari temannya yang begitu nekat untuk menemuinya seperti ini. Bahkan memberikan kesan bahwa bertemu dengannya adalah hal yang teramat penting.
"Ha ha ha ha. Nggak mungkin banget kalau dia yang mendadak nyari aku belakangan ini."
Mengabaikan tatapan bingung penghuni apartemen yang kebetulan berpapasan dengannya, Eriana tertawa kaku seorang diri. Tentu saja membuat mereka horor melihat pada cewek itu. Tapi, Eriana tak peduli. Ia terus saja melangkah. Berjalan menuju ke unit apartemen sewaannya dan Intan.
Bermaksud untuk langsung memasukkan anak kunci ke lubangnya, Eriana lantas justru mendapati ada getar halus di ponselnya. Menampilkan satu nomor yang menghubunginya.
Sejenak, Eriana terdiam. Menunggu hingga panggilan itu padam. Dan lalu, ia membuka satu aplikasi di ponselnya. Mengecek nomor itu dan ia terhenyak seketika. Karena di aplikasi pengecek nomor itu, nama yang tertera di sana adalah Jefri.
"Beneran dia?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top