19. Karena Rasa Punya Banyak Rupa

Hai, ketemu lagi di bulan Oktober 2022. Dan ini jadwal aku selama sebulan ke depan ya :)

1. Farrel! "Setiap hari"

2. [Masih] Sekantor Tapi Menikah "Setiap hari"

Btw. Dua cerita itu update di pkl 18.00 WIB. Dan aku minta maaf kalau bulan ini cuma update dua cerita. Soalnya sekarang kerjaan aku merangkap banyak profesi. Hahahaha.

*

Eriana yakin. Bahwa ide untuk mencarikan Satria asisten pribadi dan sekretaris kedua memang adalah ide terbaik sepanjang masa. Bukannya apa. Tapi, Eriana benar-benar membutuhkan bantuan orang untuk menyelesaikan tugasnya ketika tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama.

"Ya Tuhan," lirih Eriana seraya memegang pinggangnya. "Aku umur berapa sih? Kenapa kayak yang udah kena encok aja sih?"

Tidak bermaksud berlebihan. Tapi, Eriana berani bersumpah. Bahwa memang itulah yang tengah ia rasakan saat ini.

Pinggangnya terasa tidak nyaman. Pun sebenarnya sekujur tubuhnya pula merasa demikian.

Ehm ... ini pasti karena gesek-menggesek kemaren.

Namun, sepertinya encok yang satu ini tidak membuat penderitanya mengeluh. Alih-alih sebaliknya. Ada senyum malu-malu yang terbit di wajah Eriana. Hingga sontak saja membuat satu gerutuan terdengar.

"Bisa nggak sih omongan kamu itu dijaga, Ri? Nggak yang menjurus ke mana-mana?"

Itu adalah Intan. Yang siang itu dengan sengaja mengajak Eriana untuk makan bersama. Di satu restoran yang berada tak jauh dari kantor sahabatnya itu.

"Aku nggak ngomong yang menjurus ke mana-mana kok," kilah Eriana membela diri. "Kan kenyataannya memang begitu. Pinggang aku rasa encok gara-gara Satria."

Bola mata Intan membesar. Nyaris saja pentol bakso yang ada di mulutnya melompat lagi keluar.

"Wah!"

Intan buru-buru mengunyah bakso tersebut. Khawatir kalau-kalau bakso itu justru meluncur langsung ke tenggorokannya. Bisa mampus dia.

"Dan kamu bilang kamu nggak menjurus ke mana-mana?"

Eriana memasang wajah sok polos. Ia mengangguk. "Kan emang. Aku nggak menjurus. Tapi, aku terang-terangan."

Benar sekali. Saking terang-terangannya sukses membuat Intan melongo.

"Aku heran. Kok bisa Satria mau sama cewek bentukan kayak kamu ya?"

Kekehan menyembur dari mulut Eriana tanpa mampu ia tahan. Hingga menarik perhatian beberapa pengunjung restoran lainnya dan Eriana buru-buru menutup mulut. Samar, ia sempat meminta maaf.

"Lihat? Aku bener-bener nggak abis pikir deh. Dari sekian banyak cowok di dunia ini," lanjut Intan seraya geleng-geleng kepala. "Satria adalah cowok yang paling nggak mungkin nikahin kamu."

Eriana tidak merasa tersinggung sama sekali. Alih-alih itu justru membuat ia bangga. Hingga ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Lantas tangannya bergerak di bawah telinga, seolah-olah tengah mengibaskan rambut. Padahal saat itu jelas sekali rambutnya tertata rapi dalam tatanan sanggul.

"Ya mana aku tau," ucap Eriana dengan penuh percaya diri. "Pesona aku kan kuat."

Mungkin untuk pertama kalinya, Intan merasa mual makan bakso. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan ia tidak akan makan bakso dulu.

"Kamu nggak bisa ngelak dari fakta ini, Tan. Buktinya udah di depan mata kamu."

Sayangnya yang dikatakan oleh Eriana memang benar. Dan karena bukti tersebutlah sehingga Intan mengajak Eriana untuk makan siang bersama.

"Kamu benar," ujar Intan dengan suara lirih. "Satria pasti udah benar-benar terpikat sama pesona kamu. Sampe-sampe dia ngasih aku apartemen sebagus itu, Ri."

Kali ini sendok dan garpu benar-benar lepas dari kedua tangan Intan. Entah ia mual atau tidak, pada kenyataannya satu fakta tersebut berputar-putar di kepalanya.

Beberapa hari yang lalu, orang-orang suruhan Satria datang menjemputnya di apartemen lama. Mengatakan maksud dan tujuan mereka, Intan pun tidak percaya bahwa Satria benar-benar melakukan apa yang ia katakan.

"Awalnya aku pikir Satria itu main-main. Tapi, ternyata nggak. Kamu tau? Sekarang aku bisa bangun lebih siang. Karena aku nggak perlu macet-macetan di jalan. Aku tinggal melompat dan aku sampe di kantor."

Eriana terkekeh. Seraya menikmati sebongkah brokoli berukuran kecil, ia meledek. "Hiperbola banget sih."

"Bahkan hiperbola kayaknya masih kurang cukup untuk menggambarkan syok aku kapan hari, Ri. Wah! Sumpah!" ujar Intan seraya geleng-geleng kepala. "Kamu beruntung banget."

Sekelumit senyum muncul di wajah Eriana. Tak melihat Intan, sepertinya Eriana lebih suka melihat kuah mengental capcay yang tengah ia nikmati kala itu.

"Akhirnya aku bisa dengar kata itu juga."

Intan mengerjap. "Eh?"

Lalu Intan tersadar sesuatu. Tepat ketika akhirnya Eriana melanjutkan kembali perkataannya.

"Dulu kayaknya aku nggak pernah beruntung. Yang ada malah buntung mulu."

"Iya sih. Sampe-sampe kamu pernah ngumpet di kos aku kan waktu itu? Gara-gara dikejar sama debt collector?" tanya Intan seraya mengingat.

Wajah Eriana berubah masam seketika. "Nggak usah bahas soal itu. Ih! Buat aku merinding aja."

Eriana mengusap tengkuknya yang terasa meremang sementara Intan justru terkekeh.

"Eh, tapi ngomong-ngomong soal debt collector ... gimana dengan Jefri?"

Satu suapan penuh dengan nasi dan ayam masuk ke dalam mulut Eriana. Ia perlu mengunyah makanan itu terlebih dahulu sebelum balik bertanya.

"Jefri?"

Intan mengangguk.

"Kenapa dengan dia?"

Melihat Eriana yang lahap menikmati makan siangnya, mau tak mau membuat selera makan Intan muncul kembali. Ia kembali meraih sendok dan garpunya.

"Abis kejadian kapan hari itu, dia nggak ada ngubungin kamu lagi?"

Eriana menggeleng. "Waktu itu dia emang ada nelepon aku, tapi nggak aku angkat. Sumpah deh ya. Gara-gara debt collector, bawaannya negative thinking mulu kalau ada nomor baru yang ngubungi," ujarnya menjawab. "Tapi, abis itu dan setelah kejadian di apartemen, dia bener-bener nggak ada ngubungin lagi."

Intan angguk-angguk kepala. "Terus dengan Satria? Dia nggak ada nanya yang macam-macam gitu?"

"Nggak," jawab Eriana cepat. "Abis kejadian itu ... dia nggak ada bahas soal itu."

"Dikit pun?"

"Dikit pun."

"Ehm ... kok aneh? Masa dia nggak minta penjelasan atau merasa cemburu gitu? Marah kali."

Eriana menutup sendok dan garpunya. Mendengkus geli, ia meraih gelas minum.

"Untuk apa dia minta penjelasan atau apa gitu. Sebelum kami nikah, aku udah cerita semua ke dia. Bahkan dia tau cerita aku dikejar-kejar debt collector dan kabur ke Inggris sono demi duit beasiswa."

"Ah," lirih Intan paham seraya angguk-angguk kepala.

"Dan lagipula Satria itu rasa percaya dirinya tinggi, Tan," ujar Eriana mengulum senyum. "Dia yakin aku nggak bakal balik sama Jefri ketika aku udah punya suami kayak dia."

Intan meringis.

"Kan aku nggak begok sih ya?"

Jawabannya, tentu saja tidak.

*

"Jadi gimana, Sat? Dari tiga cara yang aku ajarkan ke kamu, cara mana yang sukses?"

Kalau Eriana menghabiskan istirahat siangnya dengan Intan, maka hal yang tidak berbeda jauh terjadi pada suaminya. Satria pun menikmati makan siang kala itu bersama dengan sahabatnya, Andika.

"Cara mana yang sukses?"

Mengulang pertanyaan itu, Satria mendengkus. Pundaknya sedikit bergetar ketika tawa itu menggema dalam nada rendah.

Andika mengerutkan dahi. "Kenapa?"

Tawa Satria naik satu tangga nada. Hal yang membuat Andika terpikir sesuatu. Hingga matanya membesar dan ia menebak.

"Jangan bilang kalau nggak ada yang sukses."

Tawa Satria terhenti seketika. Ia melihat Andika dengan sorot yang geram yang membuat temannya itu meneguk ludah.

"N-nggak ada yang sukses ya?"

Satria meringis. "Bukannya justru aneh kalau cara kamu ada yang sukses?"

"S-sorry kalau gitu," ujar Andika dengan sikap penuh antisipasi. "Aku cuma mau berniat membantu."

"Bantuan kamu sama sekali nggak membantu."

"Aku pikir bakal membantu," kata Andika lagi demi membela diri. "Tiga cara itu selalu aku pake. Dan sukses."

"Kamu yang sukses. Kalau aku?"

Andika menunggu. "Kalau kamu?"

Satria terdiam sejenak. Lalu menggeleng dan berdecak.

"Intinya tiga cara itu nggak ada yang sukses."

Tuntas mengatakan itu, Satria menyambar gelas minum. Meneguk isinya berulang kali demi meredakan gejolak di dalam dadanya. Karena keingintahuan Andika jelas saja menarik ingatan itu untuk berputar di kepalanya.

Gimana bisa aku muji dia cantik dan ujung-ujungnya dia malah menggoda aku di kantor?

Satria memang selalu begitu. Di luar ia tampak keras dan terkesan kaku. Tapi, ia tetap saja adalah seorang pria biasa. Pria dewasa yang kebetulan memiliki ingatan kuat. Dan bila itu berkaitan dengan Eriana yang menggodanya dengan nakal, tentunya itu bukan hal yang bagus.

Apa seharusnya aku nggak mundurin jadwal bulan madu kami ya?

Satria berusaha menepis ide itu. Tapi, percayalah. Untuk pengantin baru, sepertinya bulan madu harus selalu menjadi prioritas utama.

"Kalau tiga cara itu gagal ..."

Suara Andika menarik kembali kesadaran Satria.

"... gimana kalau kita pakai cara keempat?"

Astaga. Satria melongo.

"Aku masih punya banyak stok gombalan. Dan aku yakin. Yang kali ini pasti ba---"

Satria buru-buru mengangkat tangan. Memotong perkataan Andika dengan cepat. Hanya dengan satu kata.

"Stop!"

Andika berhenti bicara.

"Aku benar-benar nggak mau tau apa aja gombalan yang sering kamu pake ke Marsya. Karena apa pun gombalan itu, aku jamin," lanjut Satria dengan penuh keyakinan. "Semuanya pasti bakal gagal kalau aku pake ke Eri."

"Ehm."

Andika membuang napas panjang. Menyandarkan punggung di kursi dan ia bersedekap.

"Aneh."

"Aneh?" tanya Satria seraya mengerutkan dahi. "Apanya yang aneh?"

Tak langsung menjawab, Andika justru mengusap dagunya. Wajah cowok itu tampak serius seolah tengah berpikir dengan keras.

"Ya aneh. Kok bisa gombalan itu nggak mempan ke Eri? Biasanya cewek kan suka digombalin gitu. Atau jangan-jangan ...."

Mata menyipit Andika membuat Satria melotot.

"Eri itu juga suka digombalin. Cuma cara gombalin dia itu nggak kayak cewek pada umumnya. Jadi cuma aku yang tau cara gombalin dia itu kayak gimana."

"Ah. Gitu?"

Nada ketidakpercayaan itu membuat Satria meradang. Terlebih lagi karena sejurus kemudian Andika justru menudingnya dengan dua pertanyaan.

"Jangan-jangan sikap kamu ke dia selama ini kasar ya? Jadi buat dia tertekan gitu?"

Satria memejamkan mata. Harus ia akui, sepertinya ia memang cenderung kasar. Bahkan pagi tadi Eriana mengeluh pinggangnya yang terasa tidak nyaman. Dan kalau berbicara soal tekanan, baik itu dari depan ataupun dari belakang, nyaris sama kuat tekanannya.

Ya Tuhan.

Satria buru-buru meneguk air. Sepertinya ia tertular sifat mesum Eriana. Bagaimana bisa ia memaknai pertanyaan Andika dengan arti yang berbeda?

"Udah, Dik. Mending kita nggak usah bahas soal ini lagi deh," ujar Satria seraya membuang napas panjang. "Yang penting kamu nggak perlu khawatir. Rumah tangga kami benar-benar aman sentosa."

Andika tampak meragukan hal tersebut. Dan bagi Andika adalah hal yang wajar bila ia mengkhawatirkan Satria. Sahabatnya itu hanya tahu hubungan semen dengan cuaca ketimbang hubungan gombalan dengan wanita.

"Gombalan itu bumbu penyedap dalam hubungan. Nggak butuh banyak, tapi jangan sampe dilupakan. Apalagi kalau pernikahan udah berjalan bertahun-tahun."

Satria melongo. "Kamu udah berapa tahun nikah sih?"

"Otw enam tahun," jawab Andika santai. "Tapi, kamu tau kan? Bahkan banyak orang yang nggak bisa bertahan di tahun pertama pernikahan mereka."

Berat, tapi mau tak mau Satria harus mengakui perkataan Andika.

"Perselingkuhan, KDRT, atau yang paling remehnya, bosan. Aku cuma nggak kebayang aja kalau rumah tangga kamu berantakan di saat Tante udah bersabar selama ini buat melihat kamu nikah."

Punggung Satria menegap seketika. Mata melotot dan wajahnya kaku.

"Hati-hati ya kalau ngomong rumah tangga kami berantakan," ujar Satria tanpa tedeng aling-aling. "Terakhir kali ada yang mau buat rumah tangga kami berantakan, dia udah aku tonjok langsung."

Andika menelengkan kepalanya ke satu sisi. "Siapa?"

Mata Satria memejam dramatis. Menyadari kalau dirinya terlepas bicara, pada akhirnya ia pun terpaksa menceritakan apa yang terjadi di apartemen Eriana tempo hari.

"Tapi, kalau kamu bilang Eri bakal tergoda buat balik lagi ke dia, jawabannya tentu nggak," kata Satria penuh percaya diri. "Mantannya itu nggak ada seujung kuku aku."

Untuk urusan percaya diri, Andika harus mengangkat topi untuk Satria.

"Cuma masalahnya orang-orang yang selingkuh kan emang selalu begok, Sat. Selalu nyari yang di bawah standar," ujar Andika. "Karena kalau mereka di atas standar, otomatis mereka nggak bakal mau jadi selingkuhan."

"Tepat sekali!"

Satria membenarkan perkataan Andika. Bahkan jarinya pun menjentik dan mengeluarkan suara.

"Dan aku udah tau Eri gimana. Walau dia kayak orang stres, tapi dia jelas tau standarnya di mana."

Bukan tanpa alasan. Tapi, Satria tidak akan pernah lupa bagaimana Eriana yang pernah 'menolak' ajakan check in-nya. Tempo hari, saat ada acara amal keluarganya.

Itu memang adalah kesalahpahaman. Hal yang pernah membuat Satria meradang. Tapi, sekarang Satria justru merasa di atas angin berkat kesalahpahaman tersebut.

"Pilihan aku memang nggak pernah meleset. Eri itu benar-benar cewek yang pintar."

Menuntaskan perkataan itu, Satria sama sekali tidak menyadari bagaimana sorot mata Andika yang berubah menatapnya. Cowok itu melongo. Dalam hati ia meledek.

Ya ampun. Ternyata begini modelnya kalau Satria lagi jatuh cinta?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top