17. Skenario A Gagal? Lanjut Skenario B!
Ketika Satria dan Andika makan siang ...
"Ini serial hits, Sat. Dan kamu nggak nonton?"
Andika melongo ketika melihat Satria menggeleng. Tapi, sejurus kemudian ia berdecak.
"Ya kenapa juga aku harus heran. Kamu pasti lebih tau semen yang hits timbang serial yang hits."
Lagi-lagi, rasanya Satria ingin mendebat hal tersebut. Tapi, ketika Andika menarik napas panjang maka ia pun mengurungkan niatnya. Tanda-tanda Andika akan menjelaskan maksudnya sudah terlihat.
"Regé- Jean Page dan Phoebe Dynevor sepakat untuk buat hubungan palsu. Dan kamu tau apa yang Page lakukan biar orang-orang yakin mereka punya hubungan?"
Wajah Satria berubah serius. "Apa?"
"Dia nyuruh Dynevor buat natap mata dia. Karena apa?" tanya Andika tanpa menunggu jawaban Satria. Lantaran ia tau itu adalah hal yang percuma. "Karena melalui tatapan itulah semua perasaan bisa terasa bahkan tanpa kata-kata. Dan nggak ada cewek yang nggak suka kalau ditatap sama cowoknya."
Satria diam. Merenung dan memikirkan perkataan Andika.
"Saat itu Page ngomong ..."
Suara Andika menarik perhatian Satria. Dan ia menyimak dengan amat serius untuk apa yang Andika katakan.
"... stare into my eyes."
*
Sekarang ....
Sebenarnya ini adalah pertaruhan. Bahkan lebih dari sekadar pertaruhan biasa. Ibarat berjudi maka Satria sudah menaruh semua uangnya di atas meja. Alias all in.
Mungkin lebih baik bila Satria memberi jeda. Setidaknya menciptakan sedikit jarak dari skenario pertama ke skenario kedua. Tapi, sepertinya bersabar tidak ada di dalam kamus Satria. Terlebih lagi ia tidak ingin hal yang satu itu terjadi. Yaitu, Eriana dan dirinya pulang ke rumah dalam keadaan bermarahan.
Satria tidak berpikir. Memanfaatkan penyekat yang memisahkan mereka Yanto, ia pun membiarkan spontanitas itu untuk mengambil alih tubuhnya. Ia meraih tangan Eriana. Berikut pula dengan satu kalimat yang meluncur dari bibirnya sedetik kemudian.
"Tatap mata aku."
Sedetik setelah kata-kata itu ia ucapkan maka sedetik itu pula waktu yang Satria butuhkan untuk menyadari sesuatu. Bahwa ucapannya persis seperti mantera tukang hipnotis gadungan.
Satria pernah melihat liputan berita itu. Sepertinya di Metro Channel. Dan maka dari itulah mengapa sekarang ia merutuki dirinya sendiri.
Namun, terlambat. Satria sudah melakukan all in-nya. Dan sekarang ia hanya perlu melihat. Apa pertaruhannya menguntungkan? Atau justru sebaliknya?
Ehm ... sepertinya menguntungkan. Karena Satria mendapati Eriana yang lantas melakukan apa yang ia katakan.
Eriana mengangkat wajah. Menatap mata Satria. Persis seperti yang cowok itu inginkan.
Lantas apa?
Eriana menunggu. Bertanya-tanya di dalam hati.
Kenapa? Dia nggak nyuruh aku meriksa belek di matanya kan?
Tentu saja tidak. Karena sejurus kemudian Eriana mendapati tatapan Satria padanya pun berubah. Pelan-pelan terasa makin lekat dan menusuk.
Deg!
Eriana sontak menahan napas di dada. Sempat memperingati diri agar tidak terjebak untuk yang kedua kali, ia justru melakukan hal sebaliknya.
Eriana benar-benar menunggu. Dengan jantung yang kia bertalu-talu. Dan tubuhnya panas dingin tatkala samar Satria mengikis tiap jarak yang ada.
Oh, Tuhan.
Hening. Tidak ada suara yang terdengar. Hanya ada halus deru mesin dan juga keriuhan di luar sana. Berikut dengan samar embusan napas Eriana dan Satria.
I-ini Satria mau ngapain? Ya ampun. Dia mau ngapain sih? Mau cium aku? Atau mau remas-remas aku? Aku pasrah, Sat. Aku pasrah.
Eriana mengingatkan diri untuk tetap sabar. Maka ia menarik napas panjang di waktu yang tepat. Lantas menunggu lagi.
Sementara Satria? Oh, tentu saja ia terus menatap Eriana. Dengan amat lekat. Tidak bergeser sedikit pun. Bahkan berusaha untuk tidak berkedip kalau tidak terpaksa. Lantaran satu hal. Ia ingat betul apa kata Andika.
"Karena melalui tatapan itulah semua perasaan bisa terasa bahkan tanpa kata-kata. Dan nggak ada cewek yang nggak suka kalau ditatap sama cowoknya."
Satria bisa merasakan. Jari-jari Eriana yang berada di dalam genggamannya bereaksi. Terasa menegang dan kaku. Pun samar terasa basah di sana.
Apa Eri udah bisa merasakannya? Apa Eri ngerti? Apa dengan natap gini ... semua perasaan bisa terasa?
Satu menit berlalu. Dua menit berlalu. Lima menit berlalu.
Apa sekarang Eri udah senang?
Pertanyaan itu menggema di benak Satria. Ingin menanyakannya, tapi ia menahan lidahnya. Bertahan agar tidak merusak suasana yang hening itu.
Satria bertekad. Untuk menatap lekat Eriana selama mungkin. Selama yang ia bisa. Hingga pada akhirnya rasa gatal itu pun datang.
Satria berusaha untuk tidak merasakan gatal tersebut. Tapi, rasa tak nyaman itu semakin menjadi-jadi. Mendesak Satria dan akhirnya ia menyerah.
"Ah!"
Satria melepaskan tangan Eriana. Buru-buru mengucek matanya yang kering seraya mengeluh.
"Aduh. Mata aku perih. Astaga."
Sontak mengernyitkan dahi melihat tindakan Satria, Eriana beralih pada tangannya. Yang dengan begitu entengnya dilepas oleh Satria.
Eriana melongo. Benar-benar tidak percaya.
"Wah! Maksud kamu apa, Sat?"
Eriana tidak bisa menahan diri. Tidak peduli dengan Satria yang mengucek-ucek mata, akhirnya ia melayangkan pertanyaan dengan nada sengit.
"Eh?"
Satria berhenti mengucek mata. Beralih pada Eriana dan sikap cewek itu membuat dahi Satria turut mengerut.
"Maksud aku?"
Eriana mendelik. "Iya," tukasnya. "Maksud kamu apa?"
Rasa gatal di mata Satria menghilang di waktu yang tepat. Yaitu pada saat ia kebingungan dengan pertanyaan yang Eriana layangkan padanya.
"Maksud aku yang mana yang kamu maksud?"
Mata Eriana mengerjap. Sepertinya ia butuh waktu untuk mencerna pertanyaan Satria.
"Kamu belajar bahasa Indonesia di mana sih?" tanya Eriana geram. "Ini ini ini. Maksudnya ini apa?"
Semakin tak mampu menahan diri, Eriana bertanya dengan kegeraman yang semakin menjadi-jadi. Seraya menunjukkan tangannya pada Satria. Jari-jarinya yang tadi digenggam oleh cowok itu.
Satria melihat tangan Eriana. Pada jari tangannya.
"Maksudnya apa? Kamu pegang-pegang aku, tapi ya masa cuma dipegang doang? Kamu natap-natap aku, tapi ya masa cuma ditatap doang? Action selanjutnya mannaaaa?"
Percayalah. Kalau saat itu Satria tidak berada di dalam mobil maka bisa dipastikan ia akan segera melompat menjauh dari Eriana. Demi menyelamatkan diri dari rencana sensual yang sudah bisa diendus Satria.
"K-kamu–"
"Kan!"
Eriana memotong perkataan Satria. Berikut dengan satu telunjuknya yang naik. Menuju pada hidung sang suami.
Mengabaikan ajaran yang sudah ia dapatkan dari kelas tata krama, Eriana tidak peduli kalau Satria akan menceramahinya lantaran menunjuk dirinya seperti itu. Bahkan bila Satria ingin memanggil kembali Mrs. Roberts pun ia tidak akan peduli.
"Kamu bener-bener deh ya, Sat. Tadi di kantor gitu. Udah goda-goda aku ..."
Bola mata Satria membesar. Dengan satu pertanyaan yang langsung menggema di benaknya.
Emangnya kapan aku godain dia di kantor?
"... eh terus kamu langsung gantungin aku. Dan sekarang? Lagi?"
Kedua tangan Satria naik. Berusaha menenangkan Eriana.
"B-bentar deh, Ri," ujar Satria serba salah. "Sepertinya kamu salah paham."
Eriana kembali mendelik. "Salah paham apanya?"
Satria kelimpungan. Ditodong delikan dan pertanyaan bertubi-tubi, ia menyadari sesuatu. Bahwa skenario kedua yang ia susun juga mengalami hasil serupa dengan skenario pertama. Yaitu gagal total.
Entah salahnya di mana, tapi Satria yakin bahwa jalan pikirannya dengan Eriana memang beda. Otak mereka bekerja dengan jalur yang berlainan. Bahkan mungkin bisa dikatakan berlawanan arah.
"Eri," ujar Satria di waktu yang tepat. Ketika sang istri menarik udara setelah meluapkan kegeramannya. "Aku minta maaf. Tapi, ini benar-benar salah paham."
Kegeraman Eriana terjeda. Ia mengerjap. Berkat satu kalimat itu, emosinya terkikis.
Wajah Eriana terlihat melunak. Tak lagi sekeras tadi. Dan Satria tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Satria menarik turun tangan Eriana yang menunjuknya. Menggenggamnya. Tapi, kali ini bukan dalam niatan untuk tatap-tatapan seperti tadi. Jelas bukan. Alih-alih demi memastikan Eriana tidak akan menuding dirinya kembali.
"Yang di kantor tadi itu ... aku nggak maksud buat godain kamu."
Eriana mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Satu upaya untuk menahan lidahnya bergerak.
"Aku cuma mau muji kamu."
Satria memutar otaknya. Bagaimana caranya agar penjelasan yang ia berikan tidak menarik kesalahpahaman lainnya.
"Soalnya kamu kan memang cantik."
Yakinlah. Kalaupun Eriana memang marah maka perkataan Satria jelas adalah pereda amarah yang paling tepat.
"Tapi, masalahnya kamu justru mikir aku godain."
Tidak mendelik, tapi sekarang Eriana menyipitkan mata. "Menurut sudut pandang aku ... itu jelas godaan."
Lantas siapa yang salah? Tentu saja tidak ada.
"Kamu nggak pernah muji aku. Terus tiba-tba kamu bilang aku cantik. Nah, apa itu artinya kalau kamu bukan godain aku?"
Satria kehabisan kata-kata. Ibarat terdakwa, ia tidak berkutik menghadapi tuntutan buta dari jaksa.
"Terus ini apa? Ini apa? Coba. Ini apa?"
Eriana menyentakkan tangannya di dalam genggaman Satria berulang kali. Membuat cowok itu tersadar untuk kesalahpahaman yang kedua.
"Dari tadi kamu megang tangan aku. Natap aku. Tapi, kok nggak cium aku? Ih! Aku udah nungguin!"
Satria merinding. Rasa-rasanya seluruh rambut di tubuhnya berdiri semua.
"Ya ampun, Eri."
Pada akhirnya hanya lirihan ngeri itu yang berhasil Satria suarakan. Ia jelas tidak akan menjelaskan asal muasal mengapa dirinya sampai melakukan itu. Lantaran ia pun sudah mengumpati Andika sedari tadi.
Dasar! Harusnya aku nggak percaya omongan Andika. Bukannya jadi romantis, eh aku malah kelihatan begok begini!
Satria menyerah. Terlepas dari kesalahpahaman itu, sekarang ia hanya berharap satu hal. Yaitu mereka bisa berbaikan saat itu juga.
Satria tidak ingin pulang ke rumah dengan Eriana yang jelas-jelas masih kesal padanya. Sungguh ia tidak ingin semua asisten rumah tangga melihat hal tersebut. Bagaimanapun juga ia tidak ingin ada gosip buruk tentang mereka. Terlebih karena mereka masih pengantin baru.
Satria menarik udara dalam-dalam. Berusaha untuk sabar ketika ia tahu bahwa kesabaran tidak pernah menjadi sifatnya.
Namun, kali ini Satria harus mengalah. Dan ia menabahkan hati dengan satu keyakinan.
Kadang orang waras memang harus ngalah.
Satria menuntaskan percakapan itu. "Oke, aku minta maaf. Kita selesaikan semuanya di sini."
Pada waktu yang tepat, pergerakan mobil terasa berbeda. Satria melirik keluar. Menyadari bahwa mereka telah sampai di rumah.
Mobil berhenti. Dan Satria menunggu.
"Iya."
Hanya satu kata itu yang Eriana ucapkan. Hingga membuat Satria tak berdaya. Ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Selain menyusul Eriana yang telah lebih dahulu turun.
Tidak berharap apa-apa, Satria justru dibuat menganga. Ketika mereka masuk dan Eriana meraih tangannya.
"Kamu duluan. Biar aku sekalian buatkan teh."
Satria tertegun. Ia yakin matanya tidak lagi gatal. Tapi, itu jelas-jelas adalah senyum di wajah Eriana.
"Oh. Oke. Aku tunggu di atas."
Eriana lantas beranjak. Dengan Lina yang segera menyusulnya. Sempat Satria dengar perbincangan singkat itu.
"Biar saya saja yang buatkan teh untuk Tuan, Nyonya. Nyonya pasti capek."
"Ck. Kamu nggak tau? Ada jampi-jampi yang harus aku kasih ke teh Satria."
Kikik Eriana sudah menjadi tanda. Cewek itu tengah bercanda. Tapi, hebatnya itu adalah candaan yang tepat.
Lantaran Eriana pun tidak akan melupakan setiap pengajaran yang sudah ia dapatkan. Setidaknya Aldi sukses menanamkan hal penting di benak Eriana. Mengenai tata krama dalam rumah tangga.
Eriana memang tengah letih. Pun sebenarnya ia masih geram. Tapi, secangkir teh bukanlah hal yang sulit.
Terlebih lagi Eriana pun menyadari. Bahwa bukan hal yang bagus bila ia dan Satria mempertontonkan ketidakharmonisan. Apalagi hanya gara-gara masalah sepele.
Membawa secangkir teh dengan bantuan nampan, Eriana membuka pintu kamar. Ia masuk dan menutup pintu itu kembali. Seraya melihat ke seberang sana. Di mana Satria berdiri dengan jas yang telah lepas.
"Ini, Sat. Aku udah buatin teh."
Eriana menaruh teh itu di meja. Berniat untuk segera mandi, ia nyaris terlonjak kaget ketika tiba-tiba saja Satria sudah berada di belakangnya.
"Ini."
Eriana menunduk. Melihat pada satu kartu bewarna hitam yang Satria sodorkan padanya. Bingung, tapi ia tetap meraihnya.
"Apa ini?"
"Itu kartu kredit aku," jawab Satria. "Anti limit."
Eriana menelengkan kepala ke satu sisi. Jelas ia merasa bingung. Mengapa Satria mendadak memberikan dirinya kartu kredit anti limit?
Dan ketika kebingungan itu memenuhi benak Eriana, Satria justru melakukan hal yang tidak membantu sama sekali. Bukannya ia menjawab kebingungan tanpa kata yang sang istri rasakan, eh ia malah bertanya.
"Apa kamu tau persamaan aku dan kartu kredit ini?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top