16. Ketika Adegan Romantis Malah Salah Skenario
Ketika Satria dan Andika makan siang ....
"Jadi intinya gini. Abis Natalie Natalie Portman dan Ashton Kutcher having sex, mereka sepakat untuk biasa aja."
Satria mengerjap. Berniat untuk menyela, tapi Andika keburu mengangkat satu tangannya. Isyarat bahwa dirinya belum selesai bicara.
"Tapi, saat besoknya mereka ketemu," lanjut Andika cepat. "Ashton ngomong sesuatu ke Natalie."
Ekspresi wajah Satria berubah. Tampak serius dan dipenuhi sorot ingin tahu.
"Apa yang dia omong?"
Andika memamerkan seringainya. "You look beautiful today."
*
Sekarang ....
Satria ingat betul bagaimana Eriana pagi tadi bertanya padanya. Apakah dirinya cantik atau tidak?
Sepertinya itu masuk akal di pemikiran Satria. Bahwa Eriana menginginkan pujian. Yang nahasnya terlambat ia sadari. Yang akhirnya baru ia mengerti maksudnya setelah penjelasan singkat Andika.
"Cewek itu suka dipuji."
Satria pikir tidak ada salahnya kalau ia mencoba melakukan itu. Memuji Eriana adalah hal yang paling masuk akal. Karena kalau bukan istri sendiri, maka siapa lagi yang harus ia puji? Tidak mungkin kan ia memuji istri tetangga?
Karena kalau dirinya sampai melakukan itu, Satria yakin. Bukan Eriana yang akan kembali berhadapan dengan Mrs. Roberts. Alih-alih justru dirinya.
Namun, sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan oleh Satria. Bahwa melakukan sesuatu yang bukan kebiasaannya jelas adalah hal yang tak mudah. Dan itu persis ia rasakan tepat ketika ia telah berkata.
"Kamu kelihatan cantik hari ini."
Sedetik ketika ucapan itu meluncur dari lidahnya, sedetik itu pula Satria langsung menahan napas di dadanya. Ada yang tidak beres. Satria yakin itu. Terlebih lagi dengan jantungnya yang berdebar dengan tak keruan.
Hening. Lantas tak ada satu suara pun yang terdengar ketika baik Eriana maupun Satria memilih diam.
Sama-sama tak bicara sepatah kata pun, Eriana dan Satria saling menatap. Lekat dan tanpa kedip sama sekali.
Jakun Satria naik turun. Tak mau, tapi ia meneguk ludah. Satu pemikiran melintas di benaknya.
Apa udah telat untuk muji Eri sekarang?
Mungkin saja. Tapi, Satria tak yakin bahwa pujian ada rentang waktu untuk mengatakannya.
Hingga kemungkinan lainnya muncul. Membuat sekelumit rasa bangga muncul di dada Satria. Tidak bisa tidak. Eriana pasti merasa takjub dengan pujian yang ia berikan.
"Sat."
Satria mengerjap. Jelas ia bisa merasakan perbedaan pada suara Eriana. Terlebih lagi dengan cara cewek itu menatapnya. Berbinar-binar dan ....
"Apa ..."
Dahi Satria mengerut. Sepertinya perbedaan ini benar-benar berbeda.
"... nggak sebaiknya kita tunggu sampe balik?"
Satria melongo. Dengan mata membesar dan mulut sedikit membuka, sepertinya ia butuh waktu untuk mencerna perbedaan yang benar-benar berbeda itu.
Tidak bisa tidak. Perbedaan yang benar-benar berbeda itu membuat alarm peringatan Satria berdering.
"Tapi, kalau kamu maksa ya nggak apa-apa sih?"
Wajah Satria seketika berubah. "M-maksa?"
Eriana mengangguk. Dengan mengulum senyum malu-malu, ia mengedipkan mata dengan genit pada Satria. Dan lantas tangannya naik.
Bola mata Satria kian membesar. Melihat bagaimana dua tangan Eriana lantas meraih pita di kemeja yang ia kenakan. Menariknya seraya berkata.
"Karena aku istri yang penurut ... ya walau ini di kantor, aku jabanin juga."
Pita di kemeja Eriana lepas. Berikut dengan satu kancing yang dengan cepat keluar dari lubangnya. Dan melihat itu, seketika saja Satria merinding. Tepat ketika Eriana beranjak dengan kedua tangan yang mengembang.
Pada waktu yang tepat, sedetik sebelum Eriana berhasil memeluk Satria, tangan cowok itu bertindak. Dengan jari telunjuk yang menekan dahi Eriana, Satria menghentikan niatan sang istri.
"Sat?"
Eriana mengerjap-ngerjap. Ekspresi wajahnya adalah perpaduan antara bingung dan sok-sok polos. Hal yang sukses membuat Satria mendelik.
"Kamu mau ngapain?"
Kedua tangan Eriana bergerak-gerak. Masih berusaha untuk memeluk Satria. Tapi, sayang. Tangan Satria yang panjang dengan amat sukses mematahkan harapan Eriana.
"A-aku mau ngapain?" ujar Eriana mengulang pertanyaan Satria. Masih berusaha untuk memeluk Satria. "Aku mau jadi istri yang berbakti."
Satria tidak bisa melotot lebih besar lagi dari saat itu. Mengeraskan rahang, ia menggeram. Melihat bagaimana Eriana yang masih berupaya untuk memeluknya dengan keadaan kemeja yang sudah sedikit tersingkap.
"Istri yang berbakti?"
Ih! Tidak perlu diungkapkan. Mungkin hanya Satria suami di dunia ini merinding ketika mendengar niat suci istrinya itu.
"Nggak perlu, Ri," larang Satria seraya mempertahankan jari telunjuknya di dahi Eriana. "Kamu nggak perlu jadi istri yang berbakti. Cukup jadi istri yang tau diri."
Eriana mencoba melangkah maju. Satria terpaksa mundur. Ternyata kekuatan Eriana tidak bisa dipandang sebelah mata. Tapi, Satria bertekad untuk tidak akan kalah. Setidaknya ia bersyukur karena memiliki tangan yang lebih panjang dari Eriana.
Tangan Eriana kembali mencoba menggapai Satria. Tapi, masih gagal. Dan itu membuat ia merengek.
"Kamu ini bener-bener deh, Sat. Jarang-jarang loh suami seberuntung kamu. Kapan pun dan di mana pun, aku siap menjadi istri yang berbakti."
Ya ampun. Rambut di tengkuk Satria rasanya berdiri semua.
"Udah aku bilang. Kamu nggak usah jadi istri yang berbakti," ujar Satria ngeri. "Cukup jadi istri yang tau diri."
Bibir bawah Eriana maju. Tapi, ia belum menyerah.
"Aku tau diri kok."
"Kalau tau diri ..."
Mata Satria melirik pada kancing kemeja Eriana. Ia meneguk ludah.
"... ngapain kamu buka-buka kancing? Astaga. Ini di kantor, Ri."
Menekankan satu kalimat terakhir, Satria tak hanya menahan dahi Eriana. Alih-alih mendorongnya.
Eriana sigap. Ia buru-buru memperbaiki posisi kakinya. Beruntung ia tidak sampai terjengkang ke belakang.
"Sat."
Manyun, Eriana mengusap dahinya. Benar-benar cemberut ketika mendapati penolakan Satria.
"Kamu apa-apaan sih?" tanya Eriana tak terima. "Masa dengan istri sendiri begini?"
Satria salah tingkah. Ia tidak bermaksud untuk bertindak seperti itu. Tapi, jujur saja. Rasa takut kalau Eriana sampai benar-benar menyerang dirinya membuat ia hilang akal.
"R-Ri, aku---"
"Kamu bener-bener tega."
Satria tertohok. Ingin bicara, tapi wajah Eriana terlihat benar-benar tertekuk.
"Tadi kamu muji aku. Bilang aku cantik."
"Y-ya memang."
"Terus ini apa? Udah kamu muji-muji aku, eh malah kamu dorong-dorong aku?"
Mulut Satria membuka. Tapi, tidak ada sepatah kata pun yang bisa ia ucapkan. Ia tampak kebingungan.
"Apa ini semacam lagu Utopia?"
Satria mengerutkan dahi. "Lagu Utopia?"
Sudahlah. Bersama Andika, mereka membahas film. Dan sekarang Eriana mengajak Satria membahas lagu?
"Kamu sengaja muji aku. Buat perasaan aku melayang tinggi. Terus kamu hempaskan ke bumi?"
"N-nggak gitu, Ri," ujar Satria serba salah. "Aku nggak maksud buat hempaskan kamu ke bumi."
"Terus ini apa kalau kamu emang nggak maksud? Padahal aku udah rela-rela. Aku pasrah, Sat. Kalau kamu beneran mau hempaskan aku ke bumi juga nggak apa-apa. Toh aku beneran mau jadi istri yang berbakti."
Tubuh Satria merinding dari atas hingga bawah. Ia buru-buru menutup mata dan menggeleng. Sepertinya Eriana sukses memplesetkan kata 'hempaskan ke bumi' dengan amat apik.
Horor. Tapi, Satria berani bersumpah. Entah mengapa ia merasa seperti ada ratusan hantu di ruang kerjanya saat itu.
"Eri."
Satria membuka perlahan matanya. Dalam hati ia merutuk. Mungkin tidak seharusnya ia mengikuti perkataan Andika. Terbukti. Memuji Eriana justru membuat cewek itu ingin menjadi istri yang berbakti.
Istri yang berbakti. Berbakti di kantor.
Ya Tuhan.
"Apa?" sengit Eriana dengan mata mendelik. "Aku udah males sama kamu."
Tak berniat, tapi Satria refleks bertindak. Kali ini justru ia yang melangkah maju. Tangannya terulur demi meraih Eriana. Hanya saja udara kosonglah yang ia dapatkan.
Eriana mencibir. Mundur dan menghindar.
"Udah telat. Aku udah males sama kamu. Aku udah males. Pokoknya aku males."
Satria syok. "E-Eri."
"Awas aja ya. Ntar kalau aku dapat bulanan lagi, aku suruh Mas Bimo nggak pergi-pergi. Biar kamu nyahok!"
Waw! Satria benar-benar dibuat tidak berkutik dengan ancaman yang satu itu.
"E-Eri, bentar."
Namun, Eriana mengabaikannya. Ia putar badan. Melangkah.
"Eri, please."
Kaki Eriana sontak berhenti tepat di depan pintu. Tidak ingin, tapi satu kata itu sukses membuat hatinya goyah.
Maka Eriana perlahan berbalik. Melihat Satria dengan tatapan yang meredup. Tidak lagi terlihat kesal seperti tadi.
"Apa?"
Satria menatap nelangsa pada Eriana. Tampak tak berdaya dan putus asa. Tapi, ia menguatkan diri untuk berkata.
"Kancing dan pita baju kamu."
Eriana melongo seketika.
"Jangan lupa dirapikan dulu."
Sungguh! Eriana rasanya ingin meremas-remas bokong Satria saat itu juga!
*
Ini benar-benar skenario yang buruk. Bagaimana mungkin maksud baik Satria yang ingin bersikap romantis justru menghadirkan aura mencekam seperti sekarang?
Satria berpaling. Perlahan. Ketika mobil yang dikendarai oleh sopir yang bernama Yanto meluncur mulus di jalanan, ia mendapati Eriana yang duduk di sebelahnya memasang sikap persis seperti dirinya.
Eriana diam. Pandangan matanya tertuju ke luar sana. Pada langit gelap dan jalanan yang padat merayap.
Menarik napas dalam-dalam, Satria tau bahwa tidak seharusnya mereka seperti itu. Terlepas dari fakta mereka yang baru menikah, sedikit banyak ia pun menyadari bahwa suasana mencekam itu adalah karena ulahnya.
Seharusnya Satria paham sifat Eriana. Dan tidak seharusnya ia memberikan pujian di luar rumah. Yang mana itu bisa membuat kegilaan istrinya kumat.
Ya Tuhan. Mengapa hamba bisa mendapat istri yang begitu berbakti?
Mengutip perkataan Eriana, mungkin seharusnya Satria bersyukur kan? Jarang-jarang loh ada suami yang mendapat istri seperti Eriana. Yang benar-benar berbakti. Bahkan tidak peduli di mana mereka berada.
"Ehm."
Mendeham, Satria bisa menangkap respon samar Eriana. Mata cewek itu mengerjap sekali. Dan hal tersebut membangkitkan niat mulia di dalam hati Satria.
Aku harus minta maaf.
Dan berbicara soal meminta maaf, mungkin itu bisa terasa sedikit manis. Walau tidak akan romantis, tapi Satria berharap Eriana merasakan ketulusannya.
Bertepatan dengan itu, suara Andika pun menggema di benaknya.
"Serial Bridgerton, Sat. The Duke and I. Katanya sih berdasarkan novel. Jadi nggak heran kalau kerasa feel-nya."
Satria mengulurkan tangan. Meraih tangan Eriana. Satu tindakan yang sukses menarik perhatian cewek itu.
Eriana berpaling. Refleks, ia melihat pada Satria. Dan pada saat itu, ia mendengar sang suami berkata.
"Tatap mata aku."
*
bersambung ....
Btw. Jadi siapa nih yang merasa bener jawab GA aku semalam? 🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top