15. Nggak Mau Mikir, Eh ... Malah Kepikiran

"Berkaitan dengan revisi desain bangunan Arka Plaza tempo hari, Departemen Pembangunan sudah memberikan proposal baru, Pak."

Eriana menjelaskan pada Satria seraya membuka satu berkas di tangannya. Berupa hasil revisi proposal yang baru ia terima pagi itu. Ia menaruh di atas meja Satria. Membuka pada lembaran Lampiran.

"Jadi sesuai dengan masukan tim survey, desain bangunan dirombak. Karena dua pilar harus dipindahkan maka tim mengakali dengan memberikan spot taman kecil di depan untuk mempertegas keindahan bangunan."

Eriana melirik. Melihat pada Satria yang tak memberikan respon sedikit pun. Membuat Eriana menebak. Apakah ia mengatakan sesuatu yang salah atau penjelasannya ada yang membingungkan?

Namun, akhirnya Eriana mengambil kemungkinan yang ketiga. Yaitu, Satria paham dengan apa yang ia jelaskan.

Maka Eriana pun berpindah pada topik selanjutnya. Tepat setelah ia menutup proposal tersebut dan menaruhnya ke sisi meja kerja Satria.

"Sementara itu untuk proyek pembangunan Lab penelitian Rofnus, tim sudah mendapatkan beberapa peneliti yang kompeten. Ini daftar namanya."

Eriana membuka berkas berikut di tangannya. Kembali menaruhnya di atas meja. Mempersilakan Satria untuk membacanya.

Namun, yang terjadi persis seperti tadi. Satria tampak tidak merespon dan Eriana mengerjap bingung.

Eriana menarik udara dalam-dalam. Menyisihkan berkas tersebut. Lalu berkata.

"Kemudian untuk lowongan asisten pribadi sudah saya teruskan ke HRD, Pak. Kemungkinan besok pagi akan dibuka. Tapi, saya ada ide lain untuk sekretaris kedua."

Eriana menunggu. Tapi, Satria masih diam.

"Gimana kalau kita panggil Teguh Santoso, Pak?" tanya Eriana tanpa menunggu jawaban Satria. "Kalau Bapak lupa, Teguh adalah sekretaris pertama yang mulanya diterima. Sebelum akhirnya dia kena demam berdarah dan saya yang menggantikannya."

Eriana pikir itu adalah jalan pintas yang paling masuk akal. Teguh sudah melewati serangkaian seleksi. Tentunya memanggil cowok itu lebih praktis ketimbang harus mengadakan penerimaan baru.

"Pak?"

Menunggu respon Satria untuk beberapa saat, Eriana mengerutkan dahi. Bahkan untuk pertanyaan yang jelas-jelas ia layangkan, mengapa Satria diam saja?

Tidak bisa tidak. Kali ini pikiran buruk itu benar-benar memenuhi benak Eriana. Membuat matanya menyipit dengan satu dugaan.

Jangan bilang kalau dia benar-benar ngacangin aku dari tadi.

"Ehm ...."

Dehaman Satria membuat dugaan itu lenyap seketika dari benak Eriana. Menimbulkan kemungkinan positif yang membuat Eriana menduga hal lainnya. Bahwa Satria tengah berpikir.

Satria memutar pena di tangannya. Dehaman samar kembali terdengar. Menyiratkan kebenaran dari dugaan Eriana. Tapi, apakah memang demikian?

"Kamu ini nggak bisa romantis dikit apa jadi cowok?"

"Kita kan masih pengantin baru, Sat. Jadi nggak ada salahnya kan romantis-romantisan bentar?"

"Romantis dan ngomong pake kata-kata manis memang bukan sifat kamu, Sat. Tapi, aku pikir kamu memang perhatian banget sama aku."

"Ehm ... bentar aja, Sat. Nggak masalah kan? Aku cuma mau peluk kamu bentar. Ck. Kamu ini emang nggak romantis banget."

"Kamu jangan main-main, Sat. Masa ditunda sih?" tanya Eriana tak terima. "Aku sih emang tau kamu nggak romantis. Tapi, ini kelewatan nggak sih kalau bulan madu kita harus ditunda?"

"Dia ini bener-bener nggak bisa romantis apa?"

"Atau jangan-jangan romantis Satria ini cuma sebatas bercinta aja?"

Satria sontak memejamkan matanya. Ketika pertanyaan terakhir menggema di benaknya dengan nada gerutuan, ia meremang. Merasa seperti ada embusan Kuntilanak yang menerpa tengkuknya. Membuat rambut-rambut di sana berdiri.

"Astaga."

Kerutan di dahi Eriana semakin bertambah. Kesiap Satria membuat ia bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh cowok itu?

"Sat?"

Eriana memutuskan untuk mengesampingkan sopan santun atasan dan bawahan. Mereka berada di ruang kerja Satria. Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua.

Eriana mencondongkan tubuh. Mengikis jarak dan menatap Satria tepat di depan matanya.

"Sat?"

Satria mengerjap sekali. Ketika ia membuka mata dan wajah Eriana seketika memenuhi indra penglihatannya.

"Eri, astaga!"

Satria terlonjak. Matanya seketika melotot. Jelas ia merasa kaget.

"Ya Tuhan," kesiap Satria seraya mengusap dadanya. Jantung di dalam sana berdegup kencang tatkala ia terkejut mendapati keberadaan Eriana. "Apa-apaan sih? Buat kaget aja."

Kedua tangan Eriana bertahan di atas meja kerja Satria. Tidak berpikir untuk menarik diri, ia malah makin lekat menatap Satria. Dengan mata menyipit dan tatapan penuh selidik.

"Kamu mikirin apa?"

Satria mengerjap. Mengerutkan dahi. Lalu ia menggeleng.

"Nggak mikir apa-apa."

Eriana tidak percaya. "Bohong," tukasnya. "Pasti ada yang kamu pikirin."

Tentu saja yang keragu-raguan Eriana adalah hal yang benar. Tapi, Satria tidak berpikir untuk mengakuinya.

Satria mendehem. "Untuk apa juga aku bohong?"

Dan Satria tidak berpikir memberikan kesempatan untuk Eriana membalas perkataannya. Maka ia pun lanjut bicara dengan cepat.

"Ehm ... nanti aku lihat dulu desain akhirnya. Untuk tim peneliti, aku oke. Dan Teguh ... sepertinya pilihan bagus."

Keragu-raguan Eriana terpatahkan seketika. Setidaknya itu membuktikan bahwa Satria menyimak perkataannya.

"Ada lagi yang lain?"

Eriana menggeleng dan menarik tubuh. Masih heran dengan sikap Satria yang tampak tak biasa, tapi ia hanya bisa menjawab pertanyaan itu seadanya.

"Nggak ada."

Satria mengangguk. "Baguslah. Kalau be---"

Dering ponsel memutus perkataan Satria. Ia dan Eriana sama berpaling. Pada alat komunikasi yang bergetar di atas meja.

Satria mengambil ponselnya dan membuang napas panjang ketika melihat siapa yang menghubunginya. Berniat untuk tidak mengangkat panggilan itu, mata Satria justru tampak membesar sedetik kemudian. Tangannya yang semula ingin menaruh kembali ponsel ke tempat semula malah bergerak sebaliknya.

Satria mengangkat panggilan dan langsung bicara.

"Dik! Kamu mau ngajak aku makan siang?"

Percayalah. Bukan hanya Andika yang kaget di seberang sana. Alih-alih Eriana pun makin mengerutkan dahinya.

Kok tumben?

*

"Eri udah balik ke rumah?"

Melontarkan pertanyaan itu tanpa tedeng aling-aling, cowok yang bernama lengkap Andika Hadi Pratama itu menyeringai. Dengan mata yang menatap penuh arti pada Satria, ia tampaknya tidak tertarik sama sekali dengan sajian yang berada tepat di depannya.

"Udah."

Satria menjawab seadanya. Ia memasang sikap tak peduli dan memutuskan untuk menikmati makan siangnya seperti biasa. Berpura-pura tak tau bahwa sedari tadi Andika menatap dirinya dengan penuh minat.

"Ehm ... pantas."

Satria menahan lidahnya. Mengingatkan dirinya sendiri, ia bersumpah tidak akan terpancing dengan umpan-umpan yang temannya berikan.

"Kamu kelihatan beda banget hari ini."

Tidak. Satria tidak akan goyah.

"Apalagi dengan bekas merah di leher kamu itu."

Sendok lepas dari tangan Satria. Matanya melotot dan dengan cepat menutup lehernya sendiri.

"Hahahahaha."

Tawa Andika yang meledak dengan cepat menyadarkan Satria. Cowok itu menggeram seraya menarik turun tangannya dari leher. Wajahnya terasa panas dan Andika semakin terbahak.

"Kena kamu, Sat. Kena kamu. Hahahaha."

Satria menarik udara sebanyak-banyaknya. Tapi, tidak cukup untuk meredam geramnya. Ia pun memutuskan untuk menandaskan segelas air putih.

"Wah!"

Ekspresi takjub seketika tercetak di wajah Andika. Tampak tak percaya, tapi dalam waktu bersamaan dirinya juga terlihat amat antusias.

"Untuk ukuran cowok kayak kamu ... sejujurnya aku nggak ngira kalau kamu ternyata adalah cowok yang termasuk ke dalam golongan hewan peninggal jejak."

Satria menaruh gelas kosong di tempat semula. Sorot syok tampak berkilat di matanya.

"A-apa kamu bilang?"

"Wow!"

Andika buru-buru mengangkat kedua tangannya ke udara. Tanda menyerah dan akan mengakhiri percakapan itu ketika instingnya mulai terasa tidak enak. Lebih baik berhenti sebelum Satria berpikir untuk melempar kepalanya dengan gelas kosong.

"Santai, Sat," ujar Andika sejurus kemudian. "Aku cuma main-main."

Satria tentu saja paham mengenai segala macam permainan Andika. Tapi, sepertinya tidak tepat kali ini. Hal sesensitif itu bukanlah hal yang pantas. Terlebih lagi bila dibahas di tempat umum. Sekalipun itu adalah ruangan naratetama restoran ternama.

"Aku nggak suka main-main soal ini."

Andika menahan kekehannya. Tidak heran sama sekali dengan respon Satria. Untuk kategori pertemanan yang telah lama terjalin, tentunya ia sudah paham sifat cowok itu.

Namun, sepertinya ada yang sedikit berbeda. Entah mengapa Andika merasakan sinyal tersembunyi dari sikap Satria siang itu.

Maka ketika Satria melanjutkan makannya, Andika justru mengusap ujung dagunya. Dengan dahi yang sedikit mengerut, ia berpikir. Menghitung di dalam benaknya dan bertanya pada dirinya sendiri di dalam hati.

Udah berapa kali sih aku ngajak Satria buat makan siang? Kayaknya selalu dia tolak. Terus kenapa mendadak siang ini dia mau makan bareng aku? Malah bisa dibilang dia yang kali ini ngajak aku.

Tidak bisa tidak. Andika yakin bahwa ada sesuatu yang menjadi penyebab untuk sikap tiba-tiba Satria.

"Sat."

Memanggil nama Satria dengan kesan sedikit tak acuh, Andika memutuskan untuk melanjutkan pula makannya. Ia sadar bahwa dirinya tidak akan kenyang hanya dengan menonton Satria makan.

"Ehm."

Satu dehaman itu adalah respon yang bagus untuk kategori Satria. Lebih dari cukup untuk mampu menerbitkan kepercayaan diri Andika. Demi melayangkan satu dugaannya.

"Tumben kamu mau makan siang bareng aku. Semenjak udah nikah kayaknya kamu makan siang bareng Eri terus. Ya walau sebenarnya kalian nikah belum ada sebulan sih."

Sendok dan garpu di tangan Satria berhenti bergerak. Tanda yang bagus untuk Andika menuntaskan semuanya dengan satu pertanyaan singkat.

"Kenapa?"

Wajah Satria terasa kaku seketika. Ingin bersikap biasa-biasa saja, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Ada sesuatu yang mau kamu omongin?" tanya Andika menebak. "Ehm ... apa? Bilang saja. Seperti yang kamu tau ... anak kedua aku otw tujuh bulan lagi."

Satria memejamkan matanya dengan dramatis. Sepertinya ia butuh waktu. Kali ini bukan untuk meredam emosi atau kesalnya lantaran tebakan Andika. Alih-alih justru untuk meyakinkan diri. Perlukah ia melakukan ini?

Baiklah. Setidaknya Satria tidak berbohong pada dirinya sendiri. Bahwa memang ada hal yang mengusik pikirannya. Dan itu membuat ia tanpa sadar mengajak Andika makan siang ini.

Sejujurnya Satria tidak yakin itu adalah ide yang bagus. Tapi, ia bisa apa bila pada akhirnya di sinilah ia berada? Berdua dengan Andika di jam istirahat kantor.

Sementara Andika yang melihat ekspresi bimbang di wajah Satria, merasa seperti tengah di atas awan. Ia yakin tebakannya tidak keliru. Ada sesuatu yang tengah dipikirkan oleh temannya itu.

"Ehm!"

Satria mendeham. Ia berusaha mengabaikan tudingan Eriana. Tapi, anehnya ia justru kepikiran.

Udah berapa kali sih Eri ngomong aku nggak romantis?

Itu mengusik Satria. Hingga pada akhirnya, entah sadar atau tidak, ia bertanya dengan lirih. Entah itu ia tujukan untuk Andika atau untuk dirinya sendiri.

"Apa cowok harus bersikap romantis?"

Andika melongo. Potongan brokoli jatuh dari bibirnya. Mendarat di atas piring dan ia mengerjap.

"A-apa?" tanya Andika dengan terbata. Ia seperti mendadak kesulitan bernapas kali ini. "R-romantis?"

Mata Satria membesar. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Dan itu membuat ia mengumpati dirinya sendiri. Tepat ketika Andika tertawa dan memegang perutnya.

"Hahahahaha. Astaga! Ya Tuhan."

Andika tampak kelabakan dalam tawa yang terus menerus berderai. Ingin berhenti, tapi wajah memerah Satria memperparah semuanya.

Sialan!

Satria memejamkan mata dengan dramatis. Tidak pernah sekali pun. Tidak pernah sekali pun selama hidupnya ia mempermalukan dirinya sendiri seperti ini.

Argh! Rasa-rasanya Satria ingin melarikan diri dari sana.

"Hahahahaha."

Andika berusaha mengendalikan diri. Tapi, rasa geli itu membuat ia pasrah. Ia terus tertawa hingga lelah membuat ia berhenti pula.

"Ya Tuhan. Mimpi apa aku semalam sampe bisa lihat kamu bahas-bahas soal romantis? Ehm ... bukan bahas kemiringan tanah? Pengaruh kelembaban udara terhadap semen? Atau perbedaan batu granit dan batu kerikil?"

Satria yakin. Ia benar-benar mempermalukan dirinya sendiri kali ini. Dan mungkin sebaiknya ia memang harus angkat kaki sekarang juga. Demi menyelamatkan secuil harga diri yang masih tersisa.

Satria meraih serbet makan. Mengelap bibirnya. Dan suara Andika sontak terdengar.

"Jawabannya ya."

Pergerakan Satria berhenti. Terlebih lagi karena Andika mengulurkan tangan ke arahnya. Memberikan isyarat agar cowok itu tidak pergi ketika ia menjawab pertanyaan tadi.

"Nggak perlu berlebihan. Sebenarnya kadar romantis tiap cewek itu beda. Tapi ...."

Andika mengatakan itu dengan penuh ekspresi penghayatan. Hingga sukses membuat Satria menunda sejenak niatannya untuk segera beranjak dari sana. Serbet makan pun kembali mendarat di atas meja.

"Tiap cewek memang ingin diperlakukan istimewa sama cowoknya."

Satria diam. Dan Andika menebak bahwa cowok itu tidak sepenuhnya paham dengan apa yang ia katakan.

"Contohnya gini," lanjut Andika seraya berpikir dengan cepat. "Ada cowok yang suka lihat ceweknya pake lingerie sebelum main. Tapi, ada cowok yang nggak peduli. Mau pake daster bolong pun nggak jadi masalah."

Sepertinya itu perumpaan yang bisa dicerna oleh Satria. Maka Andika pun menuntaskan semuanya.

"Sama kayak cewek. Ada yang suka dikasih bunga mawar. Tapi, ada yang suka dikasih duit gambar bunga mawar."

Andika mengerjap. Merasa geli juga dengan perumpaan itu.

"Tapi, intinya. Mereka sama-sama suka dikasih. Sama kayak kita yang suka ena-ena. Cuma proses, bentuk, atau caranya aja yang beda. Gimana?"

Satria mengangguk. Tapi, wajahnya masih menyiratkan ketidakyakinan. Dan itu membuat Andika berdecak.

"Ckckck. Aku sih udah bisa nebak ini dari dulu. Kayaknya kamu ini memang nggak cocok buat hubungan cewek-cowok, Sat."

Wajah Satria berubah sementara Andika menarik turun tangannya. Ia bersandar pada kursi. Mengambil posisi nyaman dengan ekspresi prihatin menatap Satria. Ia geleng-geleng kepala.

"Sensor sensitif kamu kayaknya nggak berfungsi. Mungkin udah membeku gara-gara semen dan perubahan kelembaban udara."

Satria ingin mendebat hal tersebut. Tapi, Andika tidak memberikan kesempatan. Karena sejurus kemudian ia justru bertanya pada Satria.

"Kamu pernah nonton film No String Attached belum?"

Satria menggeleng. "Kenapa dengan film itu?"

Andika tidak langsung menjawab. Alih-alih ia menyeringai. Diawali dengan satu jentikan jari-jari tangannya, ia lantas menatap penuh arti pada Satria.

"Kita coba yang paling dasar, Sat."

Dan seringai Andika membuat Satria berpikir. Sepertinya makan siang dengan cowok itu adalah hal yang keliru.

*

Eriana baru saja kembali ke meja sekretarisnya. Tadi ia menyempatkan diri ke HRD. Demi memastikan bahwa mereka akan segera menghubungi Teguh Santoso. Semakin cepat maka akan semakin bagus. Setidaknya agar Eriana bisa mencoret satu dari hal mendesak yang harus ia urus.

Tiba di meja sekretaris di waktu yang tepat, dering telepon menarik perhatian Eriana. Ia segera mengangkat panggilan itu.

"Ri, ke sini."

Hanya itu yang Satria katakan pada Eriana. Beberapa detik yang amat singkat dan panggilan berakhir.

Eriana tidak aneh sama sekali. Memang Satria seperti itu. Bahkan dari sebelum mereka menikah, ia pun sudah terbiasa dengan hal tersebut. Maka ia pun tidak berharap Satria akan berubah.

Tidak membuang-buang waktu, Eriana ke ruangan Satria. Menghampiri bos sekaligus sang suami yang duduk di meja kerjanya, ia bertanya-tanya. Mengapa Satria memanggilnya?

Dan ternyata Satria menanyakan soal tim peneliti yang ditujukan untuk membantu pembangunan laboratorium. Eriana menjelaskan secara singkat hingga pada akhirnya Satria mengangguk.

Semula tidak ada yang aneh. Hingga setelah menjelaskan dan Eriana berniat untuk kembali ke meja sekretarisnya, sesuatu yang tak biasa terjadi.

"Sebentar."

Eriana yang semula ingin memutar tubuh, berhenti seketika. Ia berpaling dan mendapati Satria bangkit dari duduknya.

Satria melangkah. Menghampiri Eriana. Dan ketika ia belum sempat meraba situasi, tangan Satria naik.

Jari-jari Satria yang besar mendarat di lengan atas Eriana. Memegangnya dengan sentuhan lembut dan ia menatap Eriana lekat. Lalu berkata.

"Kamu kelihatan cantik hari ini."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top