14. Anggap Saja Cobaan Pagi Hari

Sabtu dan Minggu memang adalah hari terbaik yang pernah Tuhan ciptakan. Setidaknya itulah yang Eriana yakini pagi itu. Ketika alarm berdering dan rasa nyaman yang memeluk tidurnya sepanjang malam harus berakhir.

Dari sekian banyak hari Senin yang pernah Eriana lalui sepanjang hidupnya, mungkin inilah Senin yang paling tidak ia suka. Ia cemberut ketika terpaksa bangkit dari tidurnya setelah Satria berulang kali menepuk lengannya.

Satria sudah berencana untuk turun dari tempat tidur. Tapi, Eriana mendadak memeluknya. Bergelayut manja dan mendaratkan wajahnya di dada polos cowok itu.

"Eri."

Melirihkan nama cewek itu, Satria melirik ngeri pada jam dinding. Seketika saja ia bergidik dengan satu pemikiran.

Ini nggak bakal kejadian kayak dua kali subuh sebelumnya kan?

Bukannya apa. Terlepas dari imajinasi dokter ortopedi, tentunya ada hal yang paling penting. Yaitu, mereka jelas harus bersiap untuk segera ke kantor.

"Sat."

Eriana balas melirihkan nama Satria. Dan tentunya tidak sekadar itu. Karena sekarang Satria harus menahan napas. Satu sentuhan seringan bulu mendarat dan berputar-putar di dadanya yang polos. Dengan amat ampuh membuat berdiri semua rambut di tengkuknya.

Berniat untuk menguatkan diri, sungguh aroma lembut yang menguar dari rambut Eriana sama sekali tidak membantu Satria. Terlebih lagi dengan suara manja itu, sesuatu sontak berdetak dengan amat kencang di dalam sana.

"Ehm!"

Satria mendehem tegas. Ia menahan tangan Eriana. Tak akan lupa, ia tau persis apa yang bisa sang istri lakukan dengan jari-jarinya itu. Meraba dan membelai adalah dua hal yang setidaknya sudah amat mahir dilakukannya.

Antisipasi tentu saja harus dilakukan secepatnya sebelum rabaan dan belaian itu membuat akal sehat Satria mengabur. Khawatir bukannya menepis, bisa saja dalam waktu dekat justru sentuhan itu bersambut.

Ugh! Gawat!

Satria menahan tangan Eriana. Di waktu yang tepat sebelum ujung jari telunjuk sang istri mendarat di atas putingnya.

Eriana yang mengulum senyum dengan imajinasi nakal yang sudah bermain di benaknya, mengerjap. Sontak saja lengkungan manis itu berubah menjadi manyun.

Tinggal dikit lagi. Nggak sampe 0,5 milimeter lagi bakal sampe ke titik tujuan. Ck. Dasar Satria.

Masih cemberut, Eriana mengangkat wajahnya. Mengedipkan mata dalam mode merajuk-merajuk manja, ia samar meronta. Meminta tanpa kata agar Satria melepaskan tangannya.

"Lepasin, Sat."

Kali ini bulu kuduk Satria bukan hanya meremang. Alih-alih sudah berjingkat-jingkat layaknya ada aliran listrik yang menyetrum.

Satria langsung melepaskan tangan Eriana secepat kilat. Ia tidak berniat sama sekali untuk bersandiwara penjulik dan korban sepagi itu.

Eriana yang mendapati respon refleks itu melongo. Mungkin tidak mengira bahwa Satria akan melakukan permintaannya dengan cepat.

Sesuatu membuat mata Eriana menyipit. Dengan sorot menyelidik, ia menatap lekat pada Satria.

"Kamu kenapa, Sat?"

Satria ragu kalau Eriana benar-benar tidak tahu. Tapi, sekarang ia pun tidak ingin mendebat. Karena matanya kembali teralihkan pada jarum jam di dinding.

"Nggak apa-apa," ujar Satria acuh tak acuh. "Kayaknya kita mending siap-siap sekali. Kita harus ke kantor."

Yang dikatakan oleh Satria memang benar. Tapi, bukan berarti Eriana akan langsung melakukan apa yang Satria inginkan.

"Ehm ... bentar aja, Sat. Nggak masalah kan? Aku cuma mau peluk kamu bentar. Ck. Kamu ini emang nggak romantis banget."

Terlepas dari romantis atau tidak, tapi justru di sanalah letak masalahnya. Ketika Eriana kembali langsung memeluk Satria, maka cowok itu seketika memejamkan mata.

Satria berdoa di dalam hati. Semoga saja ia masih lelah. Untuk kali ini saja, Satria berharap stamina tubuhnya tidak dalam keadaan optimal.

"Sat."

Suara manja yang mendayu-dayu itu terdengar lagi. Memaksa Satria meneguk ludah.

"Apa?"

Di dada Satria, Eriana tersenyum. Matanya berkedip-kedip melihat pada puting Satria. Iseng, ia pun memberikan embusan samar berulang kali. Tak ayal. Geraman Satria menggema seketika.

"Ri."

Eriana mendehem. Menghentikan godaannya, ia lantas bertanya.

"Ngomong-ngomong ... kapan bulan madu kita?"

Satu pertanyaan yang jelas tidak diantisipasi Satria. Terkesan tidak biasa. Ketika di luar sana adalah pihak cowok yang akan antusias dengan bulan madu dan pihak cewek menjadi sosok yang malu-malu, di sini justru hal sebaliknya yang terjadi.

Memang bukan berarti Satria menjadi pihak cowok yang malu-malu. Tapi, setidaknya ada Eriana yang menjadi pihak yang penuh antusias.

Bayangan itu sudah memenuhi benak Eriana. Penuh dengan fantasi menyenangkan yang membuat ia tersenyum makin lebar. Kembali bertanya, ia jelas sudah tidak sabar.

"Minggu depan?"

Satria tertegun. Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ia justru tampak merenung sekejap mata.

Rencananya memang seperti itu. Perjalanan bulan madu memang sudah direncanakan. Lantaran jelas bukan hanya Eriana yang bersemangat akan bulan madu tersebut. Dan Satria tidak perlu diingatkan betapa dirinya yang kesal ketika semua harus ditunda berkat siklus bulanan Eriana.

Namun, sepertinya ada sesuatu yang sedikit mengganggu Satria. Sempat ia pikirkan tiga hari belakangan ini.

"Ehm ... gimana kalau bulan madu kita ditunda dulu, Ri?"

Bukan jawaban yang Eriana dapatkan. Alih-alih pertanyaan balik yang membuat dahinya mengerut. Gelayutan manja Eriana sontak berakhir. Lebih dari itu, ia bahkan langsung menarik diri.

"Ditunda?" tanya Eriana demi memastikan bahwa telinganya tidak salah mendengar. "Kamu serius?"

Satria mengangguk. Sekilas, ia membuang napas panjang. Wajahnya yang serius tanpa ada indikasi main-main membuat Eriana tertegun.

Memangnya kapan Satria pernah main-main? Nggak pernah. Dia selalu serius. Tapi, masa sih?

Ekspresi tidak terima seketika tercetak di wajah Eriana. Matanya membesar dan mulutnya cemberut.

"Kamu jangan main-main, Sat. Masa ditunda sih?" tanya Eriana tak terima. "Aku sih emang tau kamu nggak romantis. Tapi, ini kelewatan nggak sih kalau bulan madu kita harus ditunda?"

Satria sudah bisa menebak. Eriana pasti akan keberatan dengan keputusannya. Tapi, kalau boleh jujur sebenarnya Satria juga tidak ingin menunda.

"Bukannya aku kelewatan," ujar Satria sejurus kemudian. "Tapi, gimana kalau kita pergi bulan madunya setelah aku dapat asisten pribadi dan sekretaris kedua?"

Kembali, pertanyaanlah yang menjawab pertanyaan Eriana. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Sesuatu yang membuat ekspresi tak terima Eriana perlahan memudar. Tergantikan mimik penasaran.

"Kenapa?"

Karena tentunya bukan tanpa alasan mengapa Satria berpikir untuk menunda bulan madunya. Itu karena ia menyadari betapa besarnya tanggung jawab dirinya dan Eriana. Mengurus satu perusahaan bukanlah hal enteng.

"Aku cuma kepikiran kayaknya terlalu berat untuk Yuda handle perusahaan selama kita pergi. Dan kalaupun Papa ngawasin ... rasanya agak kurang pantas."

Yang dikatakan oleh Satria memang benar. Semula mereka memang berencana untuk menyerahkan kepentingan perusahaan pada ayahnya yang bernama Sigit Wijaya Djokoaminoto dan asisten pribadinya, Yuda. Lantaran godaan bulan madu benar-benar membuat pikiran jernih Satria sempat mengabur.

Namun, sekarang Satria berpikir sebaliknya. Ini pasti berkat puasa intim yang terpaksa ia lakukan selama delapan hari. Sehinggga membuat otaknya bisa kembali jernih dan berpikir dengan lebih rasional.

"Yang kamu bilang memang benar sih."

Mata Satria mengerjap sekali. Di luar dugaannya, ternyata Eriana menerima alasan itu dengan pikiran terbuka.

"Ehm ...."

Eriana melirih. Menganggukkan kepala berulang kali seraya berpikir. Lalu ia turun dari tempat tidur dengan senyum penuh tekad di wajahnya.

"Oke. Kalau gitu ntar aku langsung ke HRD. Hari ini lowongan harus segera dibuat."

Sekarang adalah Satria yang melotot. Ketika ia merasa lega bahwa Eriana menerima keputusannya, ia justru dibuat syok dengan rencana sang istri.

"Hari ini?"

"Iya," angguk Eriana. Rencana itu dengan cepat tersusun di kepalanya. Dengan runtun dan sistematik. "Hari ini. Biar kamu semakin cepat dapat sekretaris kedua dan asisten pribadi. Jadi kita semakin cepat juga buat bulan madu. Aku bakal rombak jadwal dan lihat kapan bisa wawancara. Ehm ... kayaknya rapat divisi harus dimundurkan. Atau dimajukan?"

Itu jelas adalah tekad yang benar-benar beralasan. Sesuatu yang mau tak mau membuat Satria takjub pula. Tapi, belum begitu takjub sampai Eriana meraih tangannya.

"Ayo, Sat. Ini udah jam berapa? Buruan mandi. Kita harus ke kantor."

Satria tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata bulan madu bisa memberikan efek senyata ini pada Eriana.

Seakan ingin membuktikan perkataannya, Eriana bergegas. Dengan ringkas dan praktis. Pun ketika ia menyiapkan keperluan Satria, ia melakukannya dengan cekatan.

Terlepas dari fakta bahwa Eriana termotivasi oleh bulan madu, Satria memang harus mengakui sesuatu. Bahwa itulah yang menjadi alasan mengapa pada saat penerimaan sekretaris dulu Eriana bisa masuk ke dalam dua besar.

Eriana memang memiliki pemikiran yang akan selalu membuat Satria takjub. Tapi, untuk urusan bekerja, ia memang bisa diandalkan. Sangat bisa diandalkan.

"Ehm ...."

Eriana mengusap dada Satria. Memastikan jas yang suaminya kenakan rapi dan penampilannya tak ada cela sedikit pun.

Senyum puas tersungging di wajah Eriana. Mundur selangkah, ia menatap Satria. Ibu jarinya teracung pada cowok itu.

"Cakep."

Satria mengamati penampilannya. Tampak mengangguk dan memuji pemilihan Eriana pagi itu. Warna biru tua dan dasi bercorak tampak sempurna di tubuhnya.

Menyingsingkan sedikit lengan jas, Satria melihat pada jam tangannya. Ia berkata.

"Bentar lagi kita berangkat."

Eriana mengangguk. Tapi, ketika Satria akan beranjak dari sana, ia menahan tangan cowok itu.

"Apa?"

Menatap Satria, Eriana terlihat mengulum senyum malu-malu. Tidak masuk rencana pagi itu, tapi sepertinya euforia bahagia selama tiga malam memang masih tersisa.

Eriana persis seperti seekor kucing betina yang masih ingin bermanja. Ketika musim kawin telah terlewati dan ia masih ingin merasakan kebahagiaan lebih lama. Sekedar bersandar dan menjilat bulu.

Untuk kasus Eriana, mungkin tidak sampai menjilat bulu. Tapi, nyaris sama. Ia ingin memberikan dan mendapatkan bentuk perhatian yang manis. Dan mungkin itulah satu-satunya alasan paling logis mengapa dari mereka bangun tadi Eriana kerap bermanja pada Satria. Terkesan menggoda.

"Penampilan aku gimana?" tanya Eriana seraya mengedip-ngedipkan matanya. Dalam jarak yang tak seberapa, ia terlihat sedikit menggoyang-goyangkan tubuh.

"Penampilan kamu?"

Satria mengerutkan dahi. Bingung. Untuk apa Eriana menanyakan penampilannya pada dirinya? Terlebih lagi dalam gestur yang membuat ia terlihat menggelikan.

"Ehm ...."

Dengan tangan yang masih ditahan Eriana, Satria memerhatikan sang istri. Dari atas hingga ke bawah. Ia menjawab.

"Rapi."

Gestur manja-manja kucing Eriana menghilang seketika. Tergantikan oleh longoan spontan. "Rapi?"

"Iya," angguk Satria. "Rapi."

"Ehm ... maksud aku---"

"Aku tunggu di bawah."

Satria ingin beranjak. Tapi, Eriana belum melepaskan tangannya.

"Sat."

"Apa?" tanya Satria.

"Aku cantik nggak?"

Tanpa berpikir, Satria mengangguk. "Iya, kamu cantik."

Eriana kembali melongo. Jawaban yang Satria berikan benar-benar tidak sesuai dengan harapannya. Dan mungkin itulah mengapa pada akhirnya ia menggerutu. Tepat ketika Satria menarik lepas tangannya dari Eriana dan ia melangkah.

"Dia ini bener-bener nggak bisa romantis apa?"

Gerutuan itu terdengar jelas di telinga Satria. Sontak membuat langkahnya terhenti seketika. Tepat di ambang pintu dan ia memutar tubuh.

Semula Satria ingin membalas kata-kata Eriana. Tapi, cewek itu sudah keburu beranjak. Melewati dirinya dengan gerutuan yang masih sempat Satria dengar.

"Atau jangan-jangan romantis Satria ini cuma sebatas bercinta aja?"

*

bersambung ....

Btw. Makasih untuk semua pembaca aku yang tersayang. Makasih banyak untuk pengertiannya selama dua hari ini :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top