13. Di Mana-Mana Adalah Tempat Yang Sempurna
"Jangan bilang kamu kumat lagi, Ri."
Itu jelas bukan respon yang Eriana harapkan. Ketika ia sudah memasang pose semenarik mungkin dengan nampan camilan di kedua tangannya, bagaimana bisa Satria justru mengatakan hal tersebut?
Maka tidak aneh rasanya bila senyum dan gestur menggoda yang Eriana pasang menjadi hilang seketika. Tergantikan oleh sedikit cibiran yang membuat maju bibir bawahnya.
Satria makin menyipitkan mata. "Sepertinya diagnosa aku benar."
"Diagnosa diagnosa," gerutu Eriana sambil beranjak dari depan pintu. "Aku datang bawain cemilan buat kamu, eh ... malah didiagnosa kumat."
Ketika Eriana menaruh nampan di atas meja sofa, Satria melirik pada teh dan keik di sana.
"Kamu ini nggak bisa romantis dikit apa jadi cowok?"
Kembali menggerutu, Eriana menyajikan teh dan keik tersebut. Ia berpaling pada Satria dan membuang napas sekilas.
"Kita kan masih pengantin baru, Sat. Jadi nggak ada salahnya kan romantis-romantisan bentar?"
Satria tidak menjawab pertanyaan Eriana. Alih-alih hanya mengerutkan dahi. Seolah tengah memikirkan berbagai kemungkinan di benaknya.
Entahlah. Satria tidak yakin kata romantis termasuk dalam kamus hidupnya.
Ekspresi Satria membuat Eriana berdecak sekilas. Ia melirik pada teh dan keik sebelum kembali bicara.
"Sudahlah. Aku memang tau kamu nggak bisa romantis-romantisan. Tapi, nggak apa-apa. Yang penting bokong kamu seksi."
Satria membeku. Hanya bisa melongo ketika ia lihat Eriana yang tanpa dosa tampak biasa-biasa saja. Bahkan setelah mengatakan hal selugas dan sefrontal itu.
"Ini teh kamu diminum dulu, Sat. Sebelum keburu dingin. Abis itu baru kamu lanjut kerja lagi," ujar Eriana sambil tersenyum. Satu tangannya naik dan mendarat di bawah dagu tepat ketika ia mengedipkan mata sekali. "Aku perhatian kan?"
"Perhatian kamu justru membangkitkan sirine peringatan aku, Ri."
Kali ini Eriana tidak cemberut sama sekali. Alih-alih ia justru terkekeh. Karena kalau dipikir-pikir, menggoda Satria rasanya lebih menyenangkan untuk dirinya ketimbang mendapatkan sikap romantis cowok itu.
Satria bangkit dari duduknya. Terlepas dari dirinya yang harus waspada terhadap gejala-gejala Eriana yang mungkin akan kumat dalam waktu dekat, sebenarnya teh dan keik adalah godaan yang tak bisa ditepis begitu saja.
Itu adalah perpaduan yang amat sempurna. Minuman penenang, makanan pengisi energi, dan sore yang sejuk. Tapi, tidak termasuk dengan fakta di mana Eriana yang tiba-tiba mendadak menggeser duduknya. Tepat ketika Satria duduk di sofa maka cewek itu dengan segera menempeli dirinya.
"Sat."
Satria baru saja akan meraih cangkir tehnya ketika satu tangan Eriana mendarat di pundaknya. Alarm peringatan Satria kembali berdering. Makin berdering ketika tangan Eriana yang lainnya bergerak. Naik dan jari-jarinya mengusap dagu Satria.
Berpaling dengan ekspresi horor, Satria melihat dengan jelas bagaimana Eriana yang mengedip-ngedipkan matanya. Tidak ingin berlebihan. Tapi, Satria berani bersumpah. Bulu kuduknya benar-benar meremang.
Jakun Satria naik turun. Ia meneguk ludah seraya menahan napas. Satu pemikiran itu melintas dengan amat mengerikan.
Jangan sampe bulu yang lainnya ikut-ikutan meremang juga. Asli! Jangan sampe! Aku khawatir lutut aku bakal mengalami keroposan dini!
Pemikiran mengerikan itu berputar-putar di benak Satria. Apa kata dunia bila ia harus ke rumah sakit dan melakukan kontrol dengan dokter ortopedi di usia yang baru menginjak angka tiga puluh empat?
Tidak ingin, tapi mungkin seperti inilah kira-kira percakapan konsultasi Satria nanti.
"Jadi keluhan apa yang Bapak rasakan akhir-akhir ini?"
"Ehm ... saya nggak bisa berdiri lama, Dok. Kalau lebih dari sepuluh menit, kaki saya sudah gemetaran."
"Selanjutnya? Apa gemetarnya buat sampe Bapak benar-benar nggak bisa berdiri? Apa Bapak langsung jatuh?"
"Ehm ... nggak sampe jatuh, Dok. Biasanya kalau saya udah nggak kuat, saya langsung pegangan sama istri saya."
"Ah, dengan begitu Bapak jadi lebih kuat berdiri?"
"Benar sekali, Dok. Saat pegangan dengan istri saya, saya jadi lebih kuat berdiri. Bisa lebih sejam gitu, Dok."
"Kalau nggak pegangan sama istri?"
"Ambruk langsung, Dok. Jadi lemes. Jangankan mau berdiri, bangun aja nggak bisa."
T-tunggu dulu.
Satria mengerjap. Sepertinya ada yang aneh dengan skenario konsultasi itu.
Tidak.
Satria menggeleng sekali. Berusaha menyingkirkan pikiran aneh tersebut dari benaknya.
Namun, saat ini Satria menyadari bahwa mengendalikan pikirannya memang adalah hal yang sulit. Terlebih lagi ketika ia melihat gaun yang Eriana kenakan sedikit tersikap di bawah sana. Pahanya yang mulus samar-samar mengintip ketika ujung jari Eriana memberikan usapan ringan di sepanjang rahangnya.
Satria menggeram. Menarik turun tangan Eriana dari wajahnya dan melotot.
"Nggak lihat matahari masih terang di luar sana?"
Eriana mengerjap dengan mimik polos. Sekilas, ia melirik ke arah jendela. Mendapati kebenaran dari perkataan Satria. Tapi, Eriana tidak menemukan korelasinya.
"Hubungannya dengan matahari apa?"
Bola mata Satria berputar dengan dramatis. Decakan samar tak mampu ia tahan. Pun demikian pula dengan geraman yang menggetarkan tenggorokannya.
"Toh aku cuma mau ngucapin makasih saja sama kamu," ujar Eriana dengan sedikit bingung. "Apa harus nunggu matahari redup dulu?"
Sesuatu membuat Satria mengerutkan dahi. Tertegun sejenak seperti butuh waktu untuk menangkap kebingungan Eriana, ia pun akhirnya merasakan bingung yang serupa.
Satria masih memegang tangan Eriana. Menatap mata bening itu dan mengingatkan dirinya sendiri. Agar tidak tertipu sandiwara sok polos Eriana.
"Makasih?" tanya Satria mengulang satu kata itu. "Makasih buat apa?"
Tentu saja Eriana tidak bermaksud mengucapkan terima kasih untuk percintaan mereka semalam kan? Karena rasa-rasanya hanya itu yang terbersit di benak Satria.
Pose menggoda Eriana, camilan, dan juga gesturnya hanya memberikan satu indikasi untuk Satria. Bahwa cewek itu masih terbawa euforia percintaan semalam.
"Makasih karena udah perhatian banget sama aku."
Mata Satria mengerjap. Sepertinya dugaan cowok itu tidak keliru kan? Eriana berterima kasih untuk percintaan mereka.
Satria mendehem. Secercah rasa bangga itu muncul tanpa diminta. Meninggikan ego dan harga dirinya sebagai seorang pria yang sukses membuat pasangannya merasa senang.
"Aku udah dengar dari Pak Masdar."
Sebentar. Dugaan Satria dengan cepat menghilang. Ada hubungan apa antara Masdar dan percintaan mereka?
"Pak Masdar?"
Eriana mengangguk. "Katanya kamu nggak cuma nyari asisten pribadi," jelasnya. "Tapi, juga sekretaris kedua."
Wajah Satria seketika berubah. Ego dan harga diri yang sempat meninggi, ambruk seketika. Tergantikan perasaan tak enak.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau mau nyari sekretaris kedua juga?"
Satria membuang napas sekilas. Menjawab sekenanya. "Aku baru kepikiran semalam."
Jawaban itu membuat Eriana manggut-manggut. Memanfaatkan fakta di mana Satria yang sedikit tersita perhatiannya, ia pun menarik tangannya untuk lepas dari genggaman cowok itu.
Eriana dengan cepat membawa tangannya yang bebas untuk mendarat di dada Satria. Mengusapnya dengan lembut dan penuh irama. Sontak membuat Satria menunduk. Menatap jari-jari itu dengan kewaspadaan yang kembali muncul.
"Ehm ... Pak Masdar bilang kalau mau nyiapin pengganti aku secepatnya."
Satria mengangguk samar. Apa yang dikatakan Masdar memang benar.
"Pak Masdar bilang kamu mau aku keluar dari kantor secepatnya."
Kembali, Satria mengangguk. Apa yang dikatakan Masdar lagi-lagi adalah sebuah kebenaran.
"Aku nggak ngira aja kalau kamu seperhatian itu sama aku, Sat."
"Aaah!"
Lirihan itu terlontar begitu saja dari bibir Satria. Tepat ketika ia berhasil menemukan benang merah yang sesungguhnya.
Satria sadar bahwa dirinya belum memberi tahu soal itu pada Eriana. Lebih dari itu. Sebenarnya mereka pun belum sempat membahasnya. Tapi, dilihat dari respon Eriana sepertinya cewek itu tidak merasa keberatan sama sekali.
"Kamu nggak apa-apa kan kalau dalam waktu dekat kamu keluar dari kantor?" tanya Satria kemudian. Sempat mengabaikannya, ia pun tersadar akan sesuatu. Bahwa ia menikahi seorang wanita karier. Sedikit banyak harus ada kompromi di sana.
Usapan jari-jari Eriana di dada Satria berhenti. "Maksudnya?"
"Maksudnya ..."
Satria sedikit beringsut. Memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. Tapi, dengan Eriana yang menempel padanya praktis membuat Satria tidak bisa nyaman sama sekali.
"... kalau sekitar dua atau tiga bulan kamu resign gimana? Paling nggak sampe aku dapat sekretaris kedua dan dia sudah bisa menggantikan kamu."
Segera dan cepat, Eriana mengangguk. "Boleh-boleh aja."
"Kamu nggak keberatan?"
"Kenapa harus keberatan?"
"Ehm ... aku pikir kamu bakal keberatan kalau harus resign dalam waktu dekat. Kamu nggak apa-apa di rumah aja?"
Eriana melirih singkat. Sepertinya ia paham maksud Satria.
"Maksudnya," ujar Eriana berusaha untuk menebak pikiran sang suami. "Kamu takut aku nggak mau jadi ibu rumah tangga gitu?"
Satria mengangguk. Dan lantas Eriana terkekeh.
"Kamu kayaknya nggak tau sesuatu, Sat."
"Apa?"
"Tadi habis makan siang, Pak Masdar nemui aku," kata Eriana membuka penjelasannya. "Dan Pak Masdar ngasih aku setumpuk dokumen."
"Dokumen? Dokumen apa?"
"Dokumen apa-apa."
Menjawab sekenanya, Eriana memejamkan mata. Kali ini tanpa Satria minta, ia bahkan beringsut dengan sukarela. Tak mau, tapi ingatannya tertarik ke belakang.
"Aku bahkan nggak tau isinya apa aja. Yang pasti tadi aku ada lihat proposal kegiatan pameran lukisan, laporan pengeluaran sekolah yayasan, dan daftar acara dalam sebulan ini."
Satria mengangguk tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Terus bukan cuma itu aja. Tadi aku juga keliling rumah. Dan aku yakin jadi ibu rumah tangga di rumah ini sama dengan kerja di kantoran."
Satria tergelak. Dan itu membuat Eriana melongo. Ehm ... sepertinya tertawa bukanlah respon yang Eriana perkirakan akan ia dapatkan.
Namun, Satria benar-benar tergelak. Sesuatu yang membuat Eriana teringat akan satu hal. Heran. Hanya saja situasi itu sedikit tidak asing untuknya.
Seperti de javu, tapi Eriana yakin akan hal tersebut. Bahwa tampaknya Satria memang sering tertawa di waktu yang tidak tepat.
Eriana tidak akan lupa ketika ia membuat Mrs. Roberts marah lantaran tukasan Princess Syahrini dan Reino Barack kala itu. Kalau ada orang tawanya paling menggelegar ketika ia dimarah, itu pastilah Satria orangnya.
Sekarang? Hal serupa terjadi lagi.
Satria tertawa hingga matanya berair. Entah mengapa. Tapi, pikiran Satria tertarik ke belakang. Pada masa-masa Eriana yang sering kelelahan lantaran kelas pribadinya. Dan itu menyentil rasa geli Satria.
Persis seperti saat ini. Membayangkan Eriana akan repot hilir mudik dengan bertumpuk aktivitas dan tanggung jawab membuat ia tak bisa menahan tawa.
Eriana cemberut. "Kamu ini. Kayaknya senang lihat aku banyak kerjaan."
Ajaibnya. Sekarang Eriana justru menarik diri. Tidak lagi bersandar manja pada Satria, alih-alih duduk dengan sebagaimana mestinya.
"Bukannya aku senang," ujar Satria dengan tawa yang masih tersisa. "Cuma ...aku anggap itu sebagai hiburan."
Sudut bibir Eriana berkedut. Rasa ingin mengumpat, tapi pada akhirnya ia hanya mencibir.
"Karena untuk kategori cewek gila, ternyata kamu memang bertanggungjawab."
Cibiran Eriana berubah menjadi kuluman senyum malu-malu. Tak berniat, tapi ia spontan saja mengomentari sifat suaminya itu.
"Romantis dan ngomong pake kata-kata manis memang bukan sifat kamu, Sat. Tapi, aku pikir kamu memang perhatian banget sama aku."
Entahlah. Tapi, Satria memiliki kecenderungan untuk menuduh Eriana. Dari awal tragedi memalukan di hotel tempo hari, Satria sudah mendapatkan satu diagnosanya. Bahwa Eriana kerap berpikir dengan rute yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Apa hubungannya antara cewek gila, bertanggungjawab, kata-kata manis, dan perhatian?
"Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, Ri," ujar Satria memberi peringatan. "Atau jalan amannya, lebih baik kamu nggak usah mikir deh. Otak kamu itu cuma dibuat untuk mikir soal kerjaan aja."
Kekehan Eriana menyembur. Bertepatan dengan dirinya yang kembali bersandar pada Satria.
Eriana mengedip-ngedipkan mata. Dengan ujung jari telunjuk yang mencolek dagu Satria, ia bertanya.
"Gimana kalau hordengnya ditutup? Biar kita nggak lihat cahaya matahari lagi?"
Lantas bayangan dokter ortopedi kembali melambai-lambai di benak Satria.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top