12. Maklumi Saja Ya?

Suara lenguhan samar terdengar. Seiring dengan pergerakan lembut yang terjadi di sepasang mata itu. Bulu mata yang lentik bergoyang perlahan ketika si empunya membuka mata.

Cahaya matahari yang cerah langsung menyapa. Membuat dahi mulus itu mengerut dan mengerang tak suka.

"Kamu udah bangun, Ri?"

Suara berat bernuansa maskulin itu membuat Eriana mengerjap sekali. Sebelum pada akhirnya ia berpaling. Dan ia menemukannya. Sosok yang bertanya padanya itu tengah duduk bersantai di sofa. Satu koran membuka di atas pangkuannya.

"Udah."

Eriana mengernyit. Tenggorokannya terasa kering dan tubuhnya tidak nyaman.

"Kamu baik-baik aja kan?"

Pertanyaan kedua membuat Eriana memutuskan untuk bangkit dari tidurnya. Duduk dengan menahan selimut di depan dada, ia tampak tak yakin.

"Kayaknya nggak, Sat."

Mendengar jawaban bernada lirih itu membuat Satria sontak melipat kembali korannya. Menaruhnya di atas meja dan beranjak menghampiri Eriana.

Sekilas melihat sepertinya Satria tidak perlu bertanya dua kali mengenai keadaan istrinya itu. Dengan rambut yang kusut dan wajah letih, bahkan seharusnya Satria tidak perlu bertanya sama sekali.

Satria duduk di tepi tempat tidur. Melihat bagaimana Eriana yang memijat tubuhnya sendiri di beberapa tempat.

"Badan aku rasanya remuk. Kayak abis dikeroyok orang satu kampung."

Satria meringis. Itu tentu saja hiperbola. Tapi, rasanya tidak berlebihan sama sekali bila dirinya berada di posisi Eriana.

"Malam tadi---"

"Malam tadi aku nggak apa-apa," potong Eriana cepat. "Yang jadi masalah itu yang subuh tadi."

Memejamkan mata, Eriana berdecak samar. Kilasan percintaan yang terjadi membayang di benaknya. Tak ingin. Tapi, cemberut yang lantas tercetak di wajahnya cukup menjadi bukti.

Itu bukanlah cemberut kesal. Alih-alih cemberut tidak berdaya. Ada keinginan untuk mengeluh. Hanya saja sepertinya tidak adil untuk protes.

"Tapi, rasa sakitnya sebanding dengan rasa enaknya."

Satria sontak terbatuk. Kekhawatiran yang sempat ia rasakan sontak hilang dalam sekejap mata.

"Wah!"

Untuk beberapa detik, Satria tidak bisa berkata apa-apa. Bukan hal yang aneh memang. Lantaran sudah menjadi sesuatu yang wajar sepertinya bila melihat Satria kehabisan kata-kata setiap kali mendengar perkataan Eriana. Yang selalu saja berhasil mengejutkannya.

"Kalau kamu masih bisa ngomong gitu ..."

Suara Satria membuat Eriana membuka mata. Dilihatnya cowok itu membuang napas dengan sekilas kelegaan yang masih bisa Eriana tangkap.

"... artinya kamu masih baik-baik aja."

Cemberut Eriana berubah menjadi kuluman senyum. Ia mengangguk.

"Sebenarnya badan aku memang berasa remuk banget. Tapi, kayaknya aku memang masih baik-baik aja."

Eriana membuang napas panjang. Ia tidak merasa heran bila pagi itu ia terbangun dengan rasa sakit di beberapa tempat. Pegal dan persendiannya seolah akan copot.

"Hari ini aku mau tidur aja, Sat."

Mata Satria menyipit. Eriana yang menyadarinya sontak mendengkus geli.

"Maksud aku tidur beneran tidur."

Tampak sekali bahwa Satria meragukan perkataan Eriana. Terbukti dengan respon Satria yang sedikit menarik tubuhnya. Menciptakan jarak ala kadarnya dan ia bertanya.

"Malam tadi kamu juga ngomong mau tidur kan? Sebelum tangan kamu meraba ke mana-mana?"

Dengkusan geli Eriana berubah menjadi tawa. Tentu saja ia tidak akan lupa soal yang satu itu.

"Aku bukannya meraba, Sat. Aku tuh cuma mau memperbaiki posisi," kilah Eriana dengan penuh percaya diri. "Soalnya itu kamu nyelip di bokong aku."

Wajah Satria sontak membeku. Sama seperti Eriana yang tidak lupa, ia pun tentu saja ingat dengan jelas kejadian itu.

Tidak bermaksud apa-apa, itu sebenarnya ketidaksengajaan. Setelah takjil manis itu mereka nikmati bersama, rencana Satria semula adalah ingin tidur. Tubuhnya lelah dan adanya gangguan emosi membuat tenaganya seperti terkuras.

Namun, rencana hanya tinggal rencana. Ketika Satria yang dengan mata sayu menarik Eriana ke dalam pelukannya tidak mempertimbangkan beberapa kemungkinan, maka itulah yang terjadi. Pelukan intim dari belakang itu justru awal dari menu inti yang pertama.

T-tunggu dulu. Ehm ... yang pertama?

Oh, tentu saja. Itu bukan satu-satunya menu yang akhirnya dinikmati Eriana dan Satria.

"Sudahlah!" tukas Satria seraya bangkit dari duduknya. "Lebih baik kamu mandi dan terus makan. Abis itu langsung tidur."

Mendapati penekanan di kata tidur, Eriana terkekeh kembali. Tawanya berderai di saat Satria memilih untuk beranjak. Keluar dari kamar demi memberikan kesempatan untuk Eriana membersihkan diri.

Namun, tak langsung melakukan apa yang menjadi rencananya, Eriana justru merebahkan kembali tubuhnya di tempat tidur. Ia menatap langit-langit dan memutuskan akan memanggil Lina sekitar sepuluh menit lagi.

Eriana masih perlu mengumpulkan keping-keping nyawanya yang masih berceceran. Masih perlu menarik napas dalam-dalam demi menghimpun tenaga. Sekaligus membayangkan kembali percintaan semalam.

"Ehm ... tiga kali? Empat kali? Atau ...."

Tawa Eriana menghilang. Tergantikan senyum malu-maluin yang membuat ia memukul-mukul kasur dengan gemas.

"Seandainya subuh tadi aku masih sanggup ... wah! Pasti sekarang aku harus dibawa ke rumah sakit."

Tawa Eriana membahana. Terpingkal parah dan ia menyadari sesuatu. Bahwa bukanlah hal yang aneh bila ia terbangun di jam setengah sebelas siang dengan keadaan yang menyedihkan. Tapi, ya seperti kata Eriana tadi. Itu benar-benar adalah hal yang setimpal.

Amat sangat setimpal malah.

*

Matahari sudah tidak seterik tadi. Ketika jam sudah menunjukkan pukul empat sore, Eriana berkeliling. Melihat keadaan rumah dan melakukan pengecekan berkala dengan didampingi oleh Masdar.

"Apa Nyonya baik-baik saja?"

Eriana dan Masdar baru keluar dari dapur. Tidak ada yang penting sebenarnya. Hanya saja Eriana yang merasa masih letih memutuskan bahwa daging adalah menu yang tepat.

Memang terkesan berat untuk makan malam. Tapi, Eriana yakin Satria tidak akan mendebatnya kali ini. Dengan satu alasan. Pemulihan stamina pasca kerja romusha.

"Ehm!"

Eriana mendeham. Mencoba untuk tidak mendadak tertawa di depan Masdar ketika kilasan percintaan lagi-lagi melintas di benaknya.

"A-aku?"

Eriana melirik ke belakang. Pada Masdar yang sebenarnya sedari tadi menatap dirinya dengan sedikit kekhawatiran.

"Aku baik-baik saja," jawab Eriana. "Memangnya kenapa, Pak?"

Masdar terlihat sedikit tidak yakin dengan jawaban Eriana. "Nyonya terlihat letih dan kurang sehat."

"Ah ...."

Eriana tersenyum lebar. Ia mengusap tekuknya dan bola matanya membesar. Buru-buru ia menarik tangannya kembali seraya merutuk di dalam hati.

Jangan asal megang, Ri. Ntar kalau concealer-nya kehapus gimana? Kan bisa gawat.

Eriana yakin. Satria pasti akan benar-benar memanggil Mrs. Roberts lagi kalau ia sampai mempertontonkan jejak merah di tubuhnya ke mana-mana.

"Apa perlu saya panggil dokter?"

"Nggak usah, Pak. Nggak usah," geleng Eriana cepat. "Aku baik-baik saja. I-ini cuma kurang istirahat saja."

Masdar tampak belum yakin sepenuhnya.

"Bapak nggak perlu manggil dokter. Karena aku yakin. Keberadaan dokter dan infus nggak berdampak baik untuk aku."

Entah itu memang kebenaran atau kebetulan. Tapi, Eriana tidak akan lupa setiap tragedi yang terjadi bila dirinya diinfus.

"Kalau aku diinfus, aku jamin. Aku pasti bakal lebih kurang istirahat dari ini."

Dahi Masdar mengerut. Apa ia yang sudah tua sehingga tidak mengerti perkataan Eriana? Atau sebaliknya? Perkataan Eriana memang sulit untuk dimengerti?

"Sudahlah, Pak. Intinya aku cuma perlu istirahat saja. Ehm ... maklum. Kerjaan aku akhir-akhir ini memang sedikit lebih banyak dari biasanya. Jadi mau nggak mau aku harus lembur."

Itu karena perencanaan bulan madu yang sudah Satria susun. Mereka tidak mungkin meninggalkan kantor begitu saja. Praktis beberapa pekerjaan harus segera diselesaikan sebelum mereka bisa bersantai menikmati waktu berdua.

Ehm ... Satria mau ngajak aku ke mana ya? Keliling Eropa? Keliling Asia? Atau ... keliling surga dunia?

Sebelum tawanya kembali mengancam untuk meledak, Eriana buru-buru mendehem lagi. Tepat di saat Masdar berkata padanya.

"Untunglah Tuan memutuskan untuk mencari sekretaris kedua. Semoga ke depannya Nyonya tidak perlu lembur lagi."

Sesuatu membuat Eriana menghentikan langkah kakinya. Ia memutar tubuh dan melihat pada Masdar dengan sorot tak yakin.

"Sekretaris kedua?"

Masdar mengangguk hanya untuk menyadari sesuatu. "Sepertinya Tuan belum mengatakan ini pada Nyonya."

"Belum," geleng Eriana. "Kemaren kami baru bahas soal asisten pribadi. Kalau untuk sekretaris kedua ... belum."

Eriana merenung sejenak. Apa Satria ada membahas sekretaris kedua dengannya? Sepertinya tidak.

Eriana yakin itu. Karena walaupun otaknya sering dicap bermasalah oleh orang-orang, sebenarnya ingatan Eriana adalah hal yang cukup membanggakan. Ia jarang lupa dan ingatannya kerap benar.

"Memang sebelumnya Tuan hanya membahas soal asisten pribadi."

Tuh kan.

Di dalam hati Eriana memuji ingatannya. Ternyata apa yang ia ingat memang benar.

"Tapi, kemudian Tuan pikir ada baiknya mempersiapkan pengganti Nyonya secepatnya. Karena bagaimanapun juga akan lebih baik kalau Nyonya bisa secepatnya meninggalkan kantor."

Eriana mengangguk. Senyum terbit di bibirnya dengan satu pemikiran yang seketika memenuhi benaknya.

Segitunya Satria sampe nggak mau nyuruh aku kerja lagi. Biar aku jadi ibu rumah tangga yang khusus kerja buat dia aja kali ya?

Pemikiran itu berputar-putar di kepala Eriana. Nyaris tidak mengira, tapi rasa senang seketika memenuhi dadanya.

Di luar Satria itu kelihatan nggak peduli. Suka marah-marah. Bahkan terkesan ketus. Tapi, siapa yang ngira kalau di dalam justru sebaliknya? Hangat. Keras, tapi lembut. Dan yang pastinya tahan lama.

Eh?

Eriana mengerjapkan mata.

Apa sih yang aku pikirin?

Astaga!

"Ehm ... sekarang Satria ada di mana?" tanya Eriana mencoba untuk mengalihkan pikirannya yang mulai ngawur. "Di ruang kerja?"

Masdar mengangguk. "Iya, Nyonya. Apa Nyonya mau ke sana?"

Tanpa ragu, Eriana membenarkan perkataan Masdar. Tapi, alih-alih langsung menuju ke ruang kerja, Eriana justru memilih untuk kembali ke dapur. Ia bertanya pada Masdar yang turut mengikuti dirinya.

"Apa diet Satria? Apa dia bisa minum teh sore ini?"

Masdar tersenyum. Jelas bisa menebak pikiran sang nyonya rumah.

"Teh biasa dan sedikit keik diperbolehkan, Nyonya."

"Bagus. Aku mau buatin dia teh."

*

Satria tengah fokus dengan laptopnya. Sembari melihat pada berkas di tangannya. Membandingkan dokumen cetak dan grafik yang tengah ia pelajari. Tapi, satu ketukan membuat konsentrasinya terganggun.

Mata Satria mengerjap. Meninggalkan layar laptopnya, ia melihat ke pintu. Tak butuh waktu lama, pintu pun terbuka. Menyilakan seseorang untuk masuk ke ruang kerjanya.

Itu adalah Eriana. Berbalutkan gaun santai selutut dengan rambutnya yang terurai feminin. Ia membawa nampan yang berisi secangkir teh dan sepiring keik.

"Eri."

Satria melepas kacamata anti radiasi yang kerap ia kenakan tatkala bekerja. Menaruhnya dengan asal di meja ketika Eriana menutup pintu di belakang punggungnya.

"Sat."

Mendengar Eriana yang turut menyebut namanya membuat Satria mengerutkan dahi. Tak ingin, tapi sirine mendadak berdering di benaknya.

Satria menyipitkan mata. Melihat pada Eriana yang tak langsung menghampirinya dan menyajikan cemilan sore itu. Alih-alih ia masih berdiri di depan pintu.

Bergeming di tempatnya, Eriana menatap pada Satria. Dengan sorot menggoda dan ia mengedipkan mata. Tanpa lupa untuk memberikan senyum di bibir merah meronanya.

"Aku bawain teh dan keik buat kamu."

Mengabaikan nampan di tangan Eriana, Satria justru terpaku melihat istrinya. Ia menarik napas. Lalu ekspresi waspada itu tercetak jelas di wajahnya.

"Jangan bilang kamu kumat lagi, Ri."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top