10. Tempat Yang Seharusnya

Intan buru-buru menyusul Eriana ke kamar sementara Satria memutuskan untuk menunggu di ruang tamu. Mereka sudah menikmati makan malam yang terlambat. Dan maka dari itu Eriana pun akan segera meninggalkan tempat tersebut. Ia akan mengeluarkan barang-barangnya seadanya. Sisanya akan diambil oleh orang suruhan Satria besok.

"Ri! Eri!"

Eriana menoleh. Mendapati Intan yang turut masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan tergesa.

Intan mendorong Eriana dengan aman. Mendudukkannya di tempat tidur. Dan tidak heran bila mendapati kerutan di dahi Eri.

"Apa?"

Menahan tangan Eriana, jelas kebingungan masih menguasai Intan. Ia seolah sedang mengajak Eriana bertanding. Siapa di antara mereka yang memiliki kerutan di dahi paling banyak.

"Kamu beneran mau pindah malam ini?"

Eriana mengangguk dengan wajah sok polos. "Iya dong. Memangnya kamu nggak lihat gimana bentuk muka Satria sekarang? Dia udah di batas ambang kesabaran. Kalau aku nggak balik malam ini juga, ehm ... nggak tau deh dia bakal ngamuk pakai cara apa."

Memang Intan baru mengenal Satria malam itu. Masih dalam hitungan jam yang tidak seberapa. Tapi, sepertinya ia bisa menebak bagaimana sifat suami Eriana. Terlihat jelas dari wajahnya kalau Satria bukan tipe cowok yang penyabar.

"Memangnya kenapa?"

Ketika anggukan Eriana tidak mendapat respon balasan dari Intan, pada akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibirnya. Ia menangkap ada kesan bimbang dari wajah Intan.

"Ehm ... sebenarnya aku nggak mau ngomong ini sih."

Bola mata Eriana berputar dengan dramatis. "Kalau gitu," ujarnya seraya tersenyum. Bangkit dari duduknya. "Nggak usah diomongin."

Namun, Intan tidak membiarkan Eriana pergi. Alih-alih menahan tangannya. Membawa Eriana untuk duduk kembali di tempat semula.

"Tetap aku harus omongin," tegas Intan.

"Ya udah. Kalau gitu omongin aja."

Ada keragu-raguan di wajah Intan. Sepertinya memang sulit untuknya mengatakan hal tersebut. Tapi, pada akhirnya pertanyaan itu tetap meluncur dari bibirnya.

"Ehm ... kamu beneran mau nikah dengan Satria?"

Eriana melongo. Mengernyit bingung dengan pertanyaan itu.

"B-bukan maksud aku nggak setuju dengan pilihan kamu. Tapi, kayaknya Satria itu cowok pemarah deh. Tukang ngekang. Yakin kamu mau hidup dengan cowok yang begitu? Karena aku tau banget kamu gimana, Ri. Semua orang bisa emosi ngadepin tingkah kamu dan kamu orangnya nggak suka dikekang."

Eriana terkekeh. Hal yang tentu saja justru membuat Intan berdecak kesal. Ia mengatakan itu dengan serius dan niat baik, tapi Eriana malah menganggap itu hal lucu?

"Tan, aku bilangin ya," ujar Eriana sejurus kemudian setelah kekehannya berhenti. "Pertama, aku dan Satria itu udah nikah. Jadi ya ... kayak telat aja sih kalau kita bahas soal ini sekarang."

Intan manggut-manggut. Yang dikatakan oleh Eriana memang benar. Eriana sudah menikah dan tentunya tidak akan mundur sekarang. Tidak kalau Eriana tidak ingin menjadi janda dalam kurun waktu tidak sampai sebulan.

"Yang kedua ... sebenarnya Satria nggak semenakutkan itu deh."

Intan jelas tidak percaya. Belum ada satu jam ia duduk bersama dengan Satria, entah sudah berapa kali ia melihat Satria melirik tajam pada Eriana. Terlebih lagi dengan ekspresi wajahnya yang selalu terlihat kaku. Nyaris membuat Intan tersedak tulang ikan.

"Memang sih dia kayak yang mudah marah gitu. Mudah emosian. Ehm ... memang. Tapi, dia nggak bener-bener nakutin."

Bohong. Tentu saja Eriana bohong. Awal pertemuannya dengan Satria dulu, entah berapa kali Eriana gemetaran kalau sang bos marah.

"C-cuma ya itu. Aku udah yang expert gitu ngadepin dia. Ha ha ha ha."

Perkataan dan tawa Eriana yang terbata membuat keyakinan Intan semakin bertambah.

"Udah ah udah," lanjut Eriana kemudian dengan cepat. "Kamu nggak usah khawatirin aku. Aku yakin bakal baik-baik aja. Karena bukan cuma Satria satu-satunya hal yang perlu aku waspadai dalam pernikahan ini."

Mata Intan menyipit. "Keluarganya?"

"Ehm ... lebih tepatnya kehidupan di keluarganya. Kayak yang pernah kamu bilang kapan hari. Keluarga dia benar-benar ..."

Eriana berusaha mencari kata yang tepat. Yang tidak terkesan mencemooh. Tapi, rasa-rasanya sulit.

"... di luar logika kita yang golongan menengah ke bawah ini," lirih Eriana. "Aku aja masih butuh waktu buat adaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan mereka."

Untuk hal tersebut, Intan tidak bisa memberikan komentar apa pun. Jelas ia bisa menebak betapa drastis perubahan yang akan terjadi pada hidup Eriana.

"Tapi, kamu tenang aja. Walau kehidupan keluarga Satria yang begitu, juga ditambah sifat Satria yang gitu, mereka sebenarnya baik kok. Mama Satria walau terlihat keras, ternyata justru ibu yang bener-bener berpegang pada norma. Papa Satria juga. Memang jarang bicara, tapi dia perhatian. Apalagi Satria."

Eriana sama sekali tidak bermaksud membela atau justru memperlihatkan seolah-olah Satria itu 'wah' di depan Intan. Tapi, mungkin Intan sendirilah yang akan berpikir seperti itu.

"Dia sebenarnya cowok yang baik, tegas, dan penyayang."

Apa Eriana tidak salah bicara? Karena ketika mendengar itu, Intan sontak melongo dengan mulut membuka lebar.

"K-kamu serius?" tanya Intan dengan mata mengerjap-ngerjap tak percaya.

Eriana mengangguk. "Aku serius. Karena kalau kamu mau tau, sebenarnya ...."

Tak berpikir dua kali, Eriana pun menceritakan insiden yang terjadi di apartemen tadi. Yang melibatkan Jefri. Mantan yang ternyata sudah berniat menemui dirinya sejak beberapa waktu yang lalu. Dan tentu saja Intan terkesiap kaget.

"Kan?"

Eriana mengulum senyum dengan mata melirik geli. Tampak malu-malu.

"Aku yakin aku nggak bakal ketemu cowok kayak gini selain Satria, Tan."

Kali ini Intan tidak bisa membalas perkataan Eriana. Karena jangankan untuk mendebat, bahkan untuk sekadar bicara pun Intan sekarang merasa dirinya tak mampu. Lantaran melihat senyum malu-malu dengan mata yang berbinar-binar itu, Intan merasa perutnya mendadak mual.

Astaga.

*

Eriana buru-buru melepaskan tangannya ketika ia dan Satria sudah tiba di rumah. Seorang asisten rumah tangga membawa koper Eriana. Kala itu Satria menghentikan langkah kakinya. Tepat ketika Masdar menyambut kedatangan mereka berdua.

Satria melihat sekilas pada Lina. Gadis muda yang memang ditugaskan untuk melayani Eriana itu sudah berdiri di dekatnya.

"Lin," panggil Satria. "Kamu bantu Nyonya buat bersih-bersih. Dia capek dan jangan lupa siapkan teh lavender."

Lina mengangguk. Beranjak ke sisi Eriana. Tapi, sebelum Lina mengajak Eriana untuk pergi ke kamar, suara Satria kembali terdengar.

"Aku mau bicara dengan Pak Masdar dulu."

"Iya."

Mengatakan itu, Eriana mencoba menahan agar senyumnya tidak mengembang. Tapi, sulit sekali. Hingga Satria mendeham dengan mata yang sedikit melotot.

"Aku ke kamar dulu," kata Eriana pelan. Lalu ia beralih pada Lina. "Ayo, Lin."

Satria menunggu Eriana pergi lebih dulu. Barulah ia melihat pada Masdar. Sang kepala pelayan di rumahnya itu menghampiri Satria.

"Kita bicara di ruang kerja saja, Pak."

Sejurus kemudian, Satria dan Masdar sudah berada di ruang kerja. Satria duduk di kursinya. Mencoba untuk tidak menguap ketika rasa lelah menghadirkan kantuk.

"Bagaimana urusan di apartemen Eri tadi? Sudah beres?"

Masdar mengangguk. "Sudah saya atasi, Tuan. Dengan jalan damai."

"Jalan damai?" tanya Satria mengerutkan dahi. "Jadi Bapak nggak menuntut dia?"

"Maaf, Tuan. Tapi, saya pikir itu jalan yang terbaik. Mengingat rasanya tidak pantas kalau masalah ini tersiar keluar. Tuan dan Nyonya baru menikah. Dan saya rasa keluarga besar tidak ingin mengetahui soal ini."

Mata Satria memejam. Sepertinya kemarahan tadi benar-benar melumpuhkan akal sehatnya.

"Tidak seharusnya Tuan berkelahi seperti itu."

Memang. Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, memang tidak pantas bagi Satria berkelahi. Bertindak seperti itu jelas bukan tipikal Satria sama sekali. Tapi ....

"Dan dia juga nggak seharusnya sembarangan meluk Eri, Pak."

Masdar tersentak. Sontak meneguk ludah ketika Satria mengatakan itu dengan nada yang membuat jantungnya tersentil.

"B-benar, Tuan. Kalau begitu besok saya a---"

"Sudah!" potong Satria dengan wajah tak suka. "Aku nggak mau membicarakan soal itu lagi."

Satria memutuskan untuk tidak memikirkan masalah Jefri lagi. Setiap ia ingat hal tersebut, dadanya terasa panas dan perasaannya tak nyaman.

"Aku meminta Eri untuk nyari asisten pribadi untuk aku."

Satria memindahkan topik pembicaraan dengan sengaja. Membicarakan hal lain dengan harapan kejadian tadi bisa hilang dari dalam kepalanya.

"Jadi kalau ada sesuatu lagi yang terjadi, aku nggak perlu nyuruh Bapak untuk mengurusnya lagi."

Masdar mengangguk. Sepakat dengan keputusan Satria. Tapi, sesuatu membuat ia bertanya.

"Hanya asisten pribadi, Tuan?"

"Maksud Bapak?"

Sejenak, Masdar menarik napas terlebih dahulu. Di dalam hati ia berdoa agar usulannya kali ini tidak menyinggung Satria kembali.

"Bagaimana dengan sekretaris kedua, Pak?"

Dahi Satria sedikit mengerut. Jelas ia tengah memikirkan usulan itu dengan baik.

"Saya tau mengapa Nyonya belum bisa meninggalkan kantor untuk saat ini. Tapi, saya rasa tidak ada yang salah dengan sekretaris kedua. Saya hanya tidak ingin Nyonya kelelahan, Tuan. Terlebih lagi karena Nyonya tidak akan selamanya bekerja. Bukankah lebih bagus kalau menyiapkan pengganti Nyonya secepat mungkin?"

Satria tampak manggut-manggut. "Sepertinya yang Bapak bilang ada benarnya. Kalau aku mencari sekretaris kedua, artinya secara harfiah Eri masih bekerja. Tapi, ia tidak akan terlalu banyak bekerja."

"Benar sekali, Tuan."

Wajah suntuk Satria hilang seketika. Ia bangkit dari duduknya. Tersenyum puas dan mengangguk.

"Terima kasih. Bapak boleh istirahat sekarang."

Melepaskan napas lega, Masdar menunggu Satria untuk keluar terlebih dahulu dari sana. Tapi, langkah Satria terhenti di tengah jalan. Ia berbalik dengan kesiap yang tak mampu ditahan.

"Aku hampir lupa. Tolong besok Bapak carikan apartemen di kawasan kantor H&H untuk tempat tinggal teman Eri."

"Untuk teman Nyonya?"

"Dia sudah menemani Eri selama ini. Dan sepertinya Eri akan sering main dengan Intan. Jadi seenggaknya tempat tinggal Intan harus cukup layak untuk Eri."

Masdar paham. Menyanggupi perintah itu dan Satria benar-benar pergi meninggalkan Masdar di ruang kerjanya. Yang langsung geleng-geleng kepala dan menyeka keringat di dahinya dengan sehelai sapu tangan.

Sementara Satria, ketika ia tiba di kamar, aroma wangi seketika menyapa indra penciumannya. Berasal dari Eriana yang duduk di meja riasnya. Ia tampak segar dengan harus melati yang membungkus sekujur tubuhnya.

"Sat."

Eriana bangkit dari duduknya. Menaruh sisir dan langsung menghampiri Satria.

Pintu menutup di balik punggung Satria. Cowok itu melangkah dan menyambut Eriana yang tersenyum padanya.

Satria menyipitkan mata. Ketika Eriana memutari tubuhnya demi melepas jas yang ia kenakan, tak sengaja jari-jarinya menyentuh halus gaun tidur berbahan satin itu.

"Kamu mau mandi dulu?"

Mata Satria yang sudah menyipit, makin menyipit. Mengapa harus ada kata dulu di pertanyaan Eriana?

"Ehm!" dehem Satria. Mengangguk samar. "Iya."

Eriana kembali berdiri di hadapan Satria. Dengan tangan yang memegang jas, ia lantas menarik lepas dasi Satria. Tapi, ketika Eriana akan menyasar pada kancing kemejanya, tangan Satria dengan cepat bergerak. Menangkap jari-jari lentik itu. Matanya menggelep menatap pada Eriana.

"Aku yakin aku bisa buka baju sendiri, Ri."

Eriana mengulum senyum genit. "Iya iya. Kalau gitu, sana. Mandi dulu."

Satria hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Eriana. Walau jelas sekali. Dalam hati ia menggeram. Karena ketika ia beranjak dari sana, ada sesuatu yang mendadak menghambat langkah kakinya.

Ya Tuhan. Bahkan hanya dengan aroma wangi dan gaun tidur yang seksi, Satria mendapati dirinya yang tak berkutik.

Hormon pengantin baru memang nggak bisa diremehkan.

Karena jelas itulah yang pula dialami oleh Eriana. Ia sengaja memilih gaun tidur bewarna merah itu. Dengan tali tipis di pundaknya, Eriana terpaksa menaikkan suhu AC di kamar. Tidak ingin mengambil risiko kedinginan ketika dirinya berniat untuk menggoda Satria.

"Ehm ... dia mandi lama banget sih?"

Eriana melihat ke pintu kamar mandi. Dengan perasaan tak sabaran yang terasa semakin menjadi-jadi. Ya ampun. Ia benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Dan beruntung. Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Membuat punggung Eriana sontak menegap.

Satria keluar. Dengan handuk putih yang melingkari pinggangnya. Lalu beranjak. Jelas ingin beranjak ke ruang pakaian.

Berusaha untuk tidak menoleh dan berpaling pada Eriana, Satria jelas bisa merasakan bagaimana ada sepasang mata yang tidak lepas dari menatap dirinya. Tapi, Satria tidak heran sama sekali. Memang begitulah sifat Eriana.

Hanya saja ada satu yang tidak Satria perkirakan sebelumnya. Bahwa Eriana akan turut serta menyusul dirinya ke ruang pakaian.

Itu adalah ketika Satria baru saja mengenakan celana dalamnya. Ia melepas handuk dan nyaris mengumpat ketika kaget mendapati pantulan sosok Eriana di cermin lemari.

Satria membuang napas panjang. Berbalik dan geleng-geleng kepala melihat Eriana di ambang pintu. Ia menyandarkan tubuh di pintu dengan bersedekap santai. Rambut cokelat gelapnya terurai. Membiangkai wajahnya yang segar.

Eriana terlihat menggoda. Dengan gaun tidur bewarna merah dan terang-terangan melihat Satria dengan tatapan genit.

Maka rasanya wajar saja bila tubuh Satria memberikan respon untuk hal tersebut. Tak perlu jauh-jauh. Dengar saja saat ia menyebut nama Eriana.

"Eri."

Suaranya terdengar rendah, dalam, dan serak. Perpaduan yang sempurna untuk menimbulkan senyum merekah di wajah Eriana.

"Satria ..."

Tidak ada kata malu sama sekali, Eriana menundukkan pandangannya. Pada sesuatu yang terlihat mendesak di balik celana dalam bewarna hitam yang Satria kenakan. Dan Satria pun tidak berpikir untuk menutupinya sama sekali. Alih-alih entah mengapa ia justru merasa geli. Tepat ketika Eriana berseru dan menuju padanya dengan berlari.

Dan Eri melompat. Satria menangkapnya. Ketika Eriana sudah melingkarkan kaki di seputaran pinggang Satria, cowok itu menahan bokongnya. Mereka tertawa dan sepertinya Satria tidak butuh pakaian sama sekali.

"... kolor itam! I'm coming!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top