#34
"Jadi, bukan Sandra pelakunya?" Kedua manik mata Laras membulat usai mendengar keterangan yang disampaikan Pandu barusan.
Laki-laki itu mengangguk.
"Polisi mengatakan kalau itu murni rencana Raya."
Tubuh Laras membeku. Bibirnya tak bisa berkata-kata.
Sejak pertama kali Laras tiba di rumah itu sekitar enam tahun lalu, Raya memang sudah menunjukkan gelagat tidak suka padanya. Raya merupakan putri sulung Sandra, wanita yang dinikahi ayah Laras. Sementara Nadia, putri kedua Sandra, menunjukkan sikap tak jauh beda.
Saat itu, Nadia terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka pada Laras. Sementara Raya lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Laras. Gadis itu masih belum bisa menerima pernikahan kedua ibunya meskipun waktu berjalan hingga beberapa tahun. Tapi Laras tidak pernah menduga jika Raya akan berbuat sejauh itu. Raya tidak tampak sebagai orang yang jahat.
"Aku tidak akan terkejut jika pelakunya adalah Sandra," gumam Laras seolah menyesal telah menuduh Sandra. "Lalu kecelakaan itu, apa dia juga pelakunya?"
Bagaimanapun juga Laras tak pernah bisa berhenti untuk menduga-duga kalau kecelakaan yang menimpa dirinya merupakan sebuah rekayasa seseorang.
Meski dengan berat, Pandu harus mengiyakan pertanyaan Laras. Polisi menginformasikan padanya bahwa Raya telah mengakui semua perbuatannya. Termasuk peristiwa kebakaran itu. Raya juga yang menjadi dalangnya.
"Ya. Dia yang merekayasa kecelakaan itu."
"Lalu ayah? Apa dia juga yang sudah ... "
"Tidak. Raya tidak pernah melakukan apa-apa pada Pak Brata," jelas Pandu.
Laras terdiam.
Informasi yang disampaikan Pandu membuatnya terguncang hebat. Bagaimana bisa Raya bertindak begitu kejam pada dirinya?
Laras tahu jika Raya tak pernah menampilkan sikap baik terhadapnya, tapi apa yang dilakukan gadis itu sangat tidak manusiawi. Setelah gagal melenyapkan Laras, gadis itu ingin menyingkirkan satu-satunya orang yang paling berharga untuk Laras. Dan satu lagi, Raya telah menyuruh seseorang untuk membakar gudang penggilingan padi peninggalan Pak Brata. Raya benar-benar ingin menghancurkan hidup Laras.
Pandu menepuk-nepuk pundak Laras dengan gerakan lembut. Pandu tahu jika hati Laras sangat terluka dan ia hanya bisa menghibur gadis itu dengan caranya sendiri.
"Semua sudah berakhir sekarang. Kamu tidak perlu mencemaskan apapun, Laras. Gadis itu akan menerima hukuman setimpal atas perbuatannya," ucap Pandu demi menenangkan kegundahan hati Laras.
Pandu benar. Semua telah berakhir. Tapi, Raya telah menyisakan sebuah luka yang teramat dalam untuk Laras. Raya sudah merenggut masa depan gadis itu. Bagaimana Raya akan menebus kesalahannya? Apa ia rela menukar kedua kakinya untuk Laras?
"Aku ingin istirahat. Bisakah kamu membantuku?"
Laras meminta Pandu agar membaringkannya di atas tempat tidur.
"Apa kamu baik-baik saja? Apa kepalamu sakit?" cecar Pandu seraya mengamati setiap detail wajah Laras yang sudah sepucat bulan kesiangan. Ia takut jika gadis itu akan jatuh sakit seperti beberapa hari lalu.
"Aku hanya lelah."
Pandu tak ingin bertanya lebih banyak lagi dan segera mengangkat tubuh Laras dari atas kursi rodanya. Laki-laki itu membaringkan tubuh Laras di atas tempat tidur dengan hati-hati.
"Aku ingin sendiri," ucap Laras saat Pandu sedang membentangkan sehelai selimut di atas tubuhnya.
Laki-laki itu menatap Laras lekat-lekat. Ini bukan kali pertama Laras mengusirnya.
"Apa kamu yakin?"
Laras mengangguk pelan. Ia ingin meratapi semua ini dengan menumpahkan tangis, tapi tidak di depan Pandu. Laras tak ingin membuat laki-laki itu mencemaskan dirinya.
"Baiklah. Kalau kamu butuh sesuatu hubungi aku," pesan Pandu seraya melirik ke arah ponsel milik Laras di atas meja di samping tempat tidur. "Aku akan pergi." Tanpa menunggu jawaban Laras, Pandu mulai mengambil langkah menuju ke arah pintu kamar.
Setelah pintu kamar itu tertutup rapat dan Laras yakin jika Pandu telah pergi, barulah tangis gadis itu pecah. Air mata yang tadi susah payah dibendungnya karena ada Pandu, kini jatuh berhamburan keluar sederas air hujan yang turun di musim penghujan.
Namun, tanpa sepengetahuan Laras, nyatanya Pandu masih berdiri di balik pintu kamar itu. Hati Pandu ikut tersayat ketika samar-samar telinganya menangkap suara isak tangis dari dalam kamar Laras. Akan tetapi, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk dapat meredakan tangis gadis itu. Biarlah saat ini Laras menumpahkan tangis sepuasnya. Dan setelah ini Pandu akan membuat gadis itu tersenyum bahagia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top