#32
"Mas Pandu sedang apa?"
Dengan kening berlipat, Bi Tinah menghampiri tempat Pandu berdiri di depan kompor yang sedang menyala dengan sebuah panci kecil berada di atasnya.
"Aku membuat bubur untuk Laras, Bi," jawab Pandu tanpa menatap ke arah lawan bicaranya. Sepasang mata laki-laki itu terus menekuri ponsel yang ada dalam genggamannya.
"Bubur?" ulang Bi Tinah dengan ekspresi heran bercampur bingung. Sebelumnya Pandu tidak pernah menyalakan kompor untuk memasak dan hanya membantu Bi Tinah memasang selang gas Elpiji. Tapi ini berbeda. Ini bisa disebut sebagai kejadian langka.
"Ya. Bubur beras merah," jelas Pandu. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah merasa yakin telah melakukan step by step petunjuk yang dilihatnya di YouTube.
"Kenapa tidak minta pada Bibi saja untuk membuat buburnya?"
"Tidak apa-apa, Bi. Aku sedang senggang, kok. Lagi pula ini hampir selesai."
"Oh ... " Bi Tinah hanya menganggukkan kepala dan memilih menghindari untuk berkomentar. Toh, bubur beras merah buatan majikannya juga hampir matang. Sudah terlambat untuk menawarkan bantuan, pikirnya.
Bi Tinah memutuskan untuk mengundurkan diri dari dekat Pandu dan mengerjakan pekerjaan lain.
Setelah matang, Pandu memindahkan bubur buatannya ke dalam sebuah mangkuk bening. Ia sudah mencicipinya tadi dan rasanya tidak mengecewakan. Dengan penuh percaya diri Pandu membawa bubur itu ke kamar Laras. Mumpung masih hangat, pikirnya. Kalau sudah dingin tentu rasanya akan berbeda.
"Laras, aku membuatkanmu bubur."
Pandu langsung menerobos masuk ke dalam kamar Laras tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Pandu terlalu antusias ingin segera memberikan bubur itu pada Laras, sehingga ia lupa dengan kebiasaannya sendiri mengetuk pintu sebelum masuk.
Laras tampak tertidur, tapi Pandu melihat ada sesuatu yang aneh pada gadis itu.
Kenapa wajahnya seperti itu? batin Pandu heran. Laki-laki itu meletakkan bubur buatannya di atas meja.
Samar-samar telinga Pandu menangkap suara Laras yang sedang mengigau. Ah, itu lebih terdengar seperti erangan. Seolah-olah dalam tidurnya Laras sedang merasa kesakitan.
"Laras." Pandu mencoba membangunkan gadis itu dengan menepuk-nepuk lengannya. Ia melakukannya lagi dan lagi ketika Laras tak kunjung membuka mata. Pandu terus memanggil nama Laras, tapi dengan suara pelan karena tak ingin membuat gadis itu terkejut.
"Laras."
Akhirnya setelah panggilan ke-empat barulah Laras membuka kedua matanya. Gadis itu tampak terkejut karena begitu terbangun sudah ada Pandu di dekatnya.
"Kamu baik-baik saja, Laras? Apa yang terjadi?" cecar Pandu khawatir. Wajah Laras terlihat pias dan sorot matanya kosong. Dari kedua pelipisnya mengucur keringat dingin. Sesuatu pasti telah terjadi padanya.
Laras mengerjapkan kedua matanya demi menyadarkan diri sendiri, bahwa mimpi buruk itu sudah berakhir sepenuhnya. Kecelakaan itu sudah berlalu beberapa tahun silam dan yang baru saja ia lihat hanyalah sebuah mimpi. Bukan kenyataan.
"Aku tidak apa-apa." Laras berbisik pelan seraya menyembunyikan wajahnya dari tatapan Pandu. Kenapa pula Pandu mesti memergokinya dalam keadaan seperti ini? sesal Laras dalam hati.
"Tidak apa-apa bagaimana? Aku melihatmu mengigau, Laras."
Laras bungkam. Ia tidak ingin berbagi mimpi buruk itu dengan siapapun, sekalipun itu dengan Pandu.
"Apa kamu bermimpi buruk? Apa kamu sering mengalaminya, hah?" desak Pandu seraya mengguncang kedua bahu Laras pelan. "Katakan padaku, Laras."
Guncangan pada kedua pundaknya memaksa Laras untuk menatap pada laki-laki itu. Tidakkah Pandu sadar jika sikapnya sangat berlebihan? Ia tampak begitu cemas dan justru sikapnya membuat Laras kian terluka.
"Itu tentang kecelakaan yang pernah kualami dulu," ucap Laras setengah berbisik. Peristiwa itu kembali melintas di benaknya.
Pandu terenyak. Ia tak pernah menduga jika kecelakaan yang dialami Laras begitu hebatnya, bahkan sampai menghantui tidur gadis itu. Perlahan laki-laki itu melepaskan bahu Laras.
"Kalau saja seseorang terlambat mengeluarkanku dari mobil itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi denganku. Mobil itu meledak sesaat setelah aku berhasil diselamatkan," tutur Laras dengan sepasang mata yang tiba-tiba meneteskan butiran-butiran bening.
Pandu menarik tubuh Laras sejurus kemudian ke dalam pelukannya.
"Sekarang sudah tidak apa-apa, Laras. Kamu sudah aman. Kecelakaan itu sudah berlalu," bisik Pandu sembari mengelus kepala Laras.
Seandainya Pandu tahu lebih awal betapa kecelakaan itu hampir merenggut nyawa Laras, mungkin ia bisa melakukan sesuatu untuk menghibur hati gadis itu lebih dari yang ia lakukan sekarang. Tapi, Pandu sangat bersyukur jika Laras berhasil selamat. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menatap dunia ini lagi.
Pandu melepaskan tubuh Laras beberapa menit kemudian setelah dirasa gadis itu sudah lebih tenang dari sebelumnya. Laki-laki itu membantu Laras mengeringkan air mata yang membasahi wajahnya.
"Aku membuatkanmu bubur beras merah. Tadi sudah kucicipi dan rasanya lumayan enak." Pandu memamerkan semangkuk bubur hasil kerja kerasnya. "Mau kusuapi?" tawarnya sembari mengambil mangkuk bubur dari atas meja.
Laras mengembangkan senyum mendengar tawaran manis Pandu. Tapi, ia tidak berniat untuk menerima penawaran itu.
"Aku akan makan nanti."
"Ini enak, Laras. Cobalah. Makan sedikit saja, ya?"
Laras sudah berusaha untuk menolak, tapi ia terpaksa membuka mulut saat Pandu menyodorkan sesendok bubur kepadanya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Pandu penasaran. Ia menunggu Laras mengunyah.
"Lumayan," ucap Laras padahal ia belum menelan kunyahan dalam mulutnya.
"Kalau begitu habiskan. Aku akan menyuapimu," paksa Pandu.
"Tapi aku bisa sendiri ... "
"Kamu tidak akan menghabiskannya kalau makan sendiri. Aku bisa membaca pikiranmu, Laras."
Laras merasa tidak punya pilihan lain kali ini dan menerima paksaan Pandu dengan lapang dada. Meski ini sangat memalukan, Laras harus rela disuapi Pandu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top