#26
"Apa itu sangat sakit?"
Tangan Laras terulur dengan hati-hati ke depan hingga menyentuh permukaan kain katun yang membungkus dada Pandu. Di balik kemeja itu ada sehelai kain perban yang berguna untuk menutup luka bekas peluru di dada Pandu.
Alih-alih menjawab pertanyaan Laras, tawa renyah lepas dari bibir Pandu.
"Tentu saja ini sangat sakit. Aku tertembak dan kehilangan banyak darah, Laras. Tapi, dokter memberiku obat pereda nyeri. Jadi sekarang sudah tidak terlalu sakit," urai Pandu menjelaskan.
"Oh." Laras menggigit bibir. Gadis itu menarik tangannya dari dada Pandu.
Selepas mereka berpelukan tadi, suasana tiba-tiba menjadi begitu canggung. Atmosfer yang aneh dan gerah menaungi atas kepala keduanya. Itu terjadi tanpa direncanakan. Pandu dan Laras tidak tahu kenapa mereka bisa bersikap seperti itu.
"Sebenarnya bagaimana kronologi kejadian itu?" tanya Laras ingin mendengar secara langsung pengakuan Pandu, meskipun ia sudah mengetahui garis besar ceritanya dari Pak Ahmad.
"Waktu itu rencananya aku hendak pulang karena mesin disel sudah selesai kuperbaiki. Aku berjalan dari pematang sawah menuju ke jalan aspal dengan maksud ingin mengambil motor. Saat aku hampir sampai di tempat motor terparkir, tiba-tiba saja ada sebuah motor yang melintas. Mereka berjumlah dua orang dan keduanya memakai jaket hitam. Mereka juga mengenakan helm teropong. Aku tidak menaruh kecurigaan apapun karena kupikir mereka pengguna jalan biasa. Laki-laki yang duduk di boncengan motor itu tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah pistol dari dalam jaketnya dan langsung menembakku," tutur Pandu menceritakan kronologi kejadian penembakan yang menimpa dirinya.
"Itu pasti sangat menyakitkan," gumam Laras. Mungkin rasa sakit yang dialami Pandu jauh lebih parah dari yang pernah dirasakan Laras ketika ia mengalami kecelakaan hebat itu. Tapi, mereka berdua sama-sama nyaris tak terselamatkan.
"Ya. Darah terus keluar dari dadaku."
"Apa kamu masih ingat bagaimana ciri-ciri pelakunya?"
"Ya. Aku melihat pelakunya sekilas. Tapi, sayangnya aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia memakai helm teropong."
"Bagaimana dengan plat motornya? Apa kamu juga melihatnya?" desak Laras penasaran. Banyak yang ingin didengarnya dari Pandu, khususnya tentang kejadian penembakan itu.
"Aku tidak yakin mengingatnya dengan jelas," jawab Pandu tampak ragu. Akan tetapi, ia sudah memberi keterangan pada pihak kepolisian semua yang diingatnya saat kejadian penembakan itu.
"Apa mungkin pelakunya sama dengan orang yang membakar gudang penggilingan padi kita?"
"Entahlah." Pandu mengedikkan bahu. Sekarang Laras bersikap seperti layaknya seorang detektif. Itu menggelikan, batin Pandu. "Sudahlah, percaya saja pada polisi. Mereka pasti bisa menemukan pelakunya."
Laras ingin percaya sepenuhnya pada pihak kepolisian. Mereka pasti akan mengusut tuntas kasus penembakan itu. Namun, Laras masih saja gelisah. Pasalnya ia dan Pandu tidak berada dalam posisi yang aman.
"Pandu ... "
"Ya?"
"Aku ingin pindah ke kamar bawah. Boleh, kan?" tanya Laras sedikit memohon.
"Kenapa? Bukannya di sini kamarnya lebih luas. Pemandangannya juga bagus. Lagi pula kamar ini dibangun Pak Brata khusus untukmu."
"Kupikir aku sangat egois saat meminta kamar ini. Aku sudah menyusahkan kamu dan Bi Tinah. Kamu juga sedang sakit. Aku merasa kasihan kalau kamu harus datang ke sini. Bi Tinah juga pasti lelah harus naik turun tangga."
Selain itu masih ada alasan dalam benak Laras, tapi tak disebutkan gadis itu. Sesekali ia ingin berkunjung ke kamar Pandu di saat laki-laki itu sedang sakit seperti sekarang. Laras juga tak bisa memutar ban kursi rodanya melewati tangga. Saat terjadi sesuatu dengan Pandu, ia bahkan tak bisa beranjak dari kamarnya.
"Tapi di lantai bawah kamarnya agak sempit, Laras. Di kamar itu juga tidak ada dinding kaca seperti di ruangan ini. Tidak ada yang bisa kamu lihat dari dalam sana. Kamu pasti akan sangat bosan nanti," ujar Pandu bermaksud melarang gadis itu untuk menempati kamar bekas milik Pak Brata. Kamar itu hanya mendapat sentuhan renovasi ala kadarnya. Mungkin karena Pak Brata tahu jika ia tidak akan menempati kamar itu suatu saat nanti. Dan dugaannya benar. Pak Brata tidak pernah menempati kamarnya lagi.
"Kalau aku bosan, aku bisa keluar kamar. Aku bisa berjalan-jalan di dalam rumah. Aku bisa membantu Bi Tinah memasak juga nanti," ucap Laras dengan bersemangat.
Kamu juga tidak perlu menggendongku saat naik atau turun tangga, kata Laras dalam hati.
Pandu menghela napas begitu dalam. Ia tak yakin dengan apa yang dikatakan Laras. Pandu bahkan berani bertaruh jika Laras akan merasa kelelahan jika harus memutar ban kursi rodanya sendirian. Lengan kecil gadis itu tampak lemah dan rapuh. Bi Tinah sudah memberitahunya jika Laras jatuh sakit saat Pandu dirawat.
Tapi, apa boleh buat. Rengekan manja gadis itu tak bisa ditolaknya.
"Baiklah. Kapan kamu mau pindah? Biar nanti aku menyuruh seseorang untuk memindahkan barang-barangmu ke bawah," ucap Pandu akhirnya menuruti keinginan Laras.
"Sekarang. Tapi, pakaianku jangan dibawa ke bawah semuanya. Kamu tahu kan, ada beberapa jenis pakaian yang tidak bisa kupakai?"
Celana jins, misalnya. Laras hanya butuh rok panjang untuk dipakainya sebagai bawahan karena jenis itu praktis bagi penyandang cacat seperti dirinya.
"Baiklah, Tuan Putri."
Gadis langsung mengembangkan senyum dipanggil dengan sebutan 'Tuan Putri' oleh Pandu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top