#25
Lima hari berselang.
Laras sengaja tak membuka buku bacaannya pagi ini. Ia sudah tidak tertarik untuk membaca novel lagi. Pemandangan di luar sana juga tak menarik minat gadis berambut serupa kayu mahoni itu. Ponselnya mati dan terkapar di atas tempat tidur. Laras tak mengisi daya ponselnya semenjak dua hari terakhir karena merasa kecewa berat pada Pandu. Pasalnya setelah laki-laki itu sadar, ia justru melarang Laras untuk menjenguknya. Paling tidak, Laras ingin mendengar suara Pandu melalui sambungan telepon. Itu pun juga tak dapat ia lakukan. Apa pihak rumah sakit tak bisa memberi sedikit kelonggaran untuk Pandu?
Dan hari ini, Laras mendapat kabar dari Bi Tinah kalau Pandu akan keluar dari rumah sakit. Konon pihak kepolisian yang akan mengantar Pandu pulang ke rumah. Jadi, Bi Tinah tidak perlu repot-repot menyuruh seseorang untuk menjemput Pandu.
Namun, hingga jam menunjuk angka sembilan, mobil yang mengantar Pandu belum juga tiba. Apa ia akan pulang setelah jam makan siang? batin Laras bertanya pada diri sendiri dan sepasang matanya mengarah ke jam yang tergantung di dinding.
Suara deru mobil yang sejak tadi diharapkan Laras akhirnya tertangkap oleh kedua telinganya. Pasti itu mobil yang membawa Pandu, tebak Laras dengan keyakinan 100 persen. Akan tetapi, setelah menunggu selama sepuluh menit dengan terus menatap ke arah pintu, sosok Pandu tak kunjung muncul seperti yang dibayangkannya.
Ah, iya. Bukannya Pandu masih sakit? Pasti laki-laki itu langsung menuju ke kamarnya untuk beristirahat, pikir Laras menduga-duga. Laras saja dilarang untuk menjenguknya di rumah sakit, wajar jika Pandu tak langsung menemui gadis itu. Mungkin juga ia masih berbincang dengan Bi Tinah atau orang lain yang kebetulan datang untuk menyambut kepulangan Pandu. Semua hal bisa menjadi kemungkinan, kan?
Laras mengalihkan pandangan dari arah pintu. Lehernya bisa kram jika ia terus menoleh ke satu arah. Terlebih lagi harapannya sia-sia. Pandu akan menemuinya nanti. Atau lain kali.
"Laras?"
Laras yang nyaris jatuh tertidur, dikejutkan oleh suara laki-laki yang sudah akrab di telinganya. Tadi ia sudah cukup lama terdiam tanpa melakukan apa-apa dan rasa kantuk tiba-tiba menyerang kedua matanya.
Pandu melangkah masuk usai menutup pintu kamar dan Laras hanya bisa terpaku menatap ke arah laki-laki tampan itu. Seminggu tak melihat Pandu membuat rasa rindu bertumpuk di dalam dada Laras. Bagaimana jika ia kehilangan Pandu di hari penembakan itu?
"Apa kamu menungguku?" tegur Pandu seraya mengurai senyum. Pertanyaan dan senyumnya seolah ingin menguji kesabaran Laras.
Laras balas menyunggingkan senyum getir. Pandu hampir saja kehilangan nyawa, tapi masih bisa menggodanya. Bukankah itu namanya keterlaluan? Apa ia tahu bahwa sikapnya telah melukai hati Laras?
Pandu langsung duduk di atas kursi kayu yang posisinya sama sekali tak berpindah sejak terakhir kali ia menempatinya. Mereka saling berhadapan sekarang, tapi Laras masih diam.
"Maaf, aku melarangmu pergi ke rumah sakit waktu itu." Seolah bisa membaca kemarahan di mata Laras dan penyebabnya, Pandu berinisiatif meminta maaf lebih dulu. "Aku hanya tidak mau kamu kecapekan karena harus pulang pergi ke rumah sakit, Laras. Lagi pula ada perawat yang menjagaku di sana."
"Apa karena aku cacat?"
Kedua mata Pandu membeliak. Bukannya dimaafkan, kata-kata yang dilontarkan Pandu justru membuat Laras dua kali lipat bertambah marah.
"Sungguh, aku tidak bermaksud begitu ..."
"Kamu tidak tahu kalau aku sangat mencemaskanmu, kan?" tukas Laras dengan sepasang mata yang siap menumpahkan hujan.
"Aku tahu," timpal Pandu. "Aku minta maaf."
Pandu mendekat lalu menarik tubuh Laras ke dalam pelukannya. Hujan air mata menderas di kedua mata Laras sesaat kemudian.
"Aku sangat takut kehilanganmu, Pandu," bisik Laras di tengah isak tangisnya. Sementara laki-laki itu membelai punggung Laras dengan lembut.
"Aku sudah kembali, Laras. Kamu masih ingat kan, kalau aku pernah mengatakan akan selalu menjagamu?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top