#24
Peluru itu menyasar bagian dada kiri Pandu. Untuk ukuran jarak tak kurang dari lima meter, si pelaku penembakan itu cukup tepat sasaran. Hanya saja, peluru itu bersarang satu sentimeter di atas jantung Pandu. Dokter yang merawatnya sempat memuji keberuntungan Pandu. Tapi, ia akan jauh lebih beruntung seandainya insiden penembakan itu tidak pernah terjadi. Sayangnya, hingga dua hari kemudian Pandu masih belum sadarkan diri sekalipun peluru yang bersarang di tubuhnya berhasil dikeluarkan. Meski kondisinya stabil, laki-laki itu belum juga membuka mata.
Keadaan Pandu yang belum menunjukkan perkembangan signifikan, membuat Laras merasa sedih. Nafsu makannya yang sempat bagus, kini menurun kembali. Ia juga mengalami gangguan tidur dan mimpi buruk tentang kecelakaan itu kembali menyambangi Laras. Bahkan pagi ini ia enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya.
"Non Laras."
Bi Tinah datang dengan membawa semangkuk bubur untuk Laras, pasalnya gadis itu hanya makan sedikit semalam.
"Apa Pak Ahmad sudah memberi kabar, Bi?"
Bi Tinah meletakkan mangkuk bubur yang dibawanya ke atas meja dekat tempat tidur. Tiap kali ia masuk ke dalam kamar Laras, gadis itu pasti akan menanyakan hal yang sama.
"Belum, Non."
Padahal Bi Tinah sudah mewanti-wanti pada Pak Ahmad agar segera memberi kabar seandainya Pandu sudah sadar. Selain Pak Ahmad, Bi Tinah juga menyuruh orang lain untuk berjaga di rumah sakit. Soal bayaran, Bi Tinah sengaja mengambilnya dari uang tabungan yang ia sisihkan dari gaji bulanannya.
"Kenapa Pandu belum sadar juga, Bi?"
Bi Tinah menggeleng pelan. Mana wanita itu tahu? Ia bukan dokter atau perawat. Bi Tinah cuma asisten rumah tangga yang melayani Laras dan Pandu.
"Kita berdoa saja ya, Non. Semoga Mas Pandu cepat sadar," ucap Bi Tinah seperti biasa. Karena tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan untuk meredakan kegelisahan yang dirasakan Laras.
Sesungguhnya Bi Tinah pun merasakan kegelisahan yang sama seperti yang dirasakan Laras. Namun, ia tak ingin menunjukkannya di depan Laras. Ia harus kuat karena mesti merawat Laras yang kondisinya sedang tidak sehat.
Bi Tinah juga merasa takut jika terjadi sesuatu pada Pandu. Kalau Pandu tidak ada, bagaimana keadaan rumah itu kelak?
Di tengah kegalauan yang melanda benak Bi Tinah, suara seseorang yang memberi salam di luar sana terdengar samar-samar. Berbarengan dengan ketukan di pintu.
Sebenarnya Pandu sudah merencanakan untuk memasang bel pintu, tapi selalu tertunda karena berbagai alasan.
"Ada tamu, Non. Bibi keluar dulu." Setelah pamit pada Laras, Bi Tinah bergegas keluar meninggalkan ruangan dan tergopoh-gopoh menuruni tangga.
Jika tidak salah dengar, sepertinya suara yang ia dengar adalah milik Pak Ahmad. Semoga ada kabar bagus, harap Bi Tinah ketika menapaki ubin keramik ruang tengah.
Sedang Laras hanya bisa menunggu di kamarnya dengan harap-harap cemas. Doa-doa untuk kesembuhan Pandu terus ia ucapkan dalam hati.
Lima belas menit kemudian, Bi Tinah kembali menemui Laras di kamarnya. Gadis itu sudah tidak sabar ingin mendengar kabar terbaru dari Pandu.
"Apa ada kabar, Bi?" serbu Laras dengan wajah tegang.
Bi Tinah langsung menghampiri tempat tidur Laras.
"Mas Pandu sudah sadar, Non," beritahu wanita itu dengan menahan decak bahagia.
"Benarkah?" Kebahagiaan serupa tampak menghias wajah Laras. Doa-doanya terkabul. "Ayo kita ke rumah sakit, Bi. Aku ingin segera menemui Pandu. Cepat panggil Pak Ahmad," suruh Laras bersemangat. Ia sudah tidak sabar ingin melihat wajah Pandu yang sangat dirindukannya.
"Tapi, Non ... " Wajah bahagia Bi Tinah seketika berubah kecewa.
"Kenapa, Bi? Ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan Pandu?" desak Laras dengan tangan mencengkeram ujung pakaian yang dikenakan Bi Tinah.
"Bukan itu, Non." Wanita itu menggeleng.
"Lalu?"
"Mas Pandu melarang Non Laras pergi ke rumah sakit," ungkap Bi Tinah mengejutkan Laras.
"Apa?" gumam Laras spontan. Mustahil Pandu mengatakan hal itu. "Kenapa?" Ia merubah pertanyaan.
"Mas Pandu tidak ingin merepotkan Non Laras. Dia juga tidak mau Non Laras melihatnya terbaring di rumah sakit."
Gadis itu terperangah usai mendengar alasan yang disampaikan Pandu melalui Pak Ahmad kemudian pada Bi Tinah.
"Tidak mungkin Pandu mengatakan itu."
"Benar, Non. Mas Pandu menyuruh Non Laras untuk tinggal di rumah. Mas Pandu akan pulang beberapa hari lagi."
Dasar, maki Laras dalam hati. Ia merasa kesal bukan main. Selama dua hari ini Laras menderita karena Pandu, tapi laki-laki itu malah melarangnya untuk berkunjung ke rumah sakit.
Apakah Nurma juga dilarang untuk mengunjunginya di rumah sakit?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top