#21
Laras tidak pernah mengira jika ia akan jatuh hati pada Pandu semudah dan secepat ini. Pandu memang baik. Dan seperti kata Bi Tinah, laki-laki itu sangat perhatian padanya. Malah bisa dikatakan jika perhatian Pandu terhadap Laras berlebihan. Semua itu karena Laras tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Ruang geraknya yang terbatas membuat gadis itu tidak bisa berlari menjauh dari Pandu seperti yang ia lakukan dulu. Ibarat bunga, Laras terikat pada tangkai. Sedang Pandu adalah kumbang yang bebas mendekat kapan saja ia mau. Karena kumbang itu punya sayap. Dan Pandu memiliki kedua kaki untuk berlari menghampiri tempat Laras berada. Ruang dan waktu-lah yang telah berjasa besar menumbuhkan cinta dalam hati gadis itu untuk Pandu.
Laras menatap langit pagi di kejauhan sana melalui dinding kaca yang terpasang di kamarnya. Namun, pemandangan di luar agak berbeda dari biasanya. Segumpal awan keabu-abuan tampak menggantung di sudut langit. Bukan awan yang berpotensi menimbulkan hujan. Karena sekarang masih musim kemarau.
"Non Laras mau membawa pakaian ganti?"
Bi Tinah yang sejak tadi sibuk memasukkan pakaian bersih ke dalam lemari, sempat terabaikan oleh Laras.
"Apa perjalanan ke sana sangat jauh?"
"Satu setengah jam. Tapi, pasien yang berobat ke sana cukup banyak, Non. Jadi, lumayan lama antreannya," jelas Bi Tinah.
"Terserah Bibi saja," ucap Laras pasrah. Lagi pula kalau hanya membawa beberapa lembar pakaian, tidak akan merepotkan. Toh, Bi Tinah bisa meletakkan tas jinjing milik Laras di jok belakang mobil.
"Bagaimana kalau Non Laras membawa cardigan atau jaket?"
"Boleh."
"Selimut juga, ya, Non. Kalau nanti pulangnya kemalaman bisa digunakan untuk menutup tubuh Non Laras. Udara di pedesaan kalau malam sangat dingin, Non. Apa lagi di luar," usul Bi Tinah.
"Terserah Bibi saja." Laras memercayakan perbekalannya pada Bi Tinah. Wanita itu memang agak cerewet, tapi ia sangat memerhatikan Laras.
"Non Laras suka warna apa?" tanya wanita itu lagi. Karena ia tak kunjung menemukan pakaian yang menurutnya cocok dibawa Laras nanti. Pasalnya jumlah pakaian yang dimiliki Laras cukup banyak dan Bi Tinah merasa sedikit kebingungan.
"Apa saja."
Bi Tinah memutuskan untuk mengambil sebuah jaket tebal berwarna merah muda dari dalam lemari Laras dan selembar selimut bermotif kotak-kotak.
"Nanti berangkat jam berapa, Non?"
"Setelah Pandu pulang, kami akan segera berangkat."
Bi Tinah memasukkan barang-barang milik Laras ke dalam sebuah tas jinjing kulit berwarna cokelat tua.
"Bibi berdoa supaya Non Laras segera sembuh dan bisa berjalan lagi."
Laras hanya mengulas senyum tipis mendengar sebaris doa Bi Tinah.
"Kalau begitu Bibi ke dapur dulu. Bibi mau menyiapkan makanan untuk dibawa Non Laras nanti," pamit Bi Tinah setelah rampung mempersiapkan tas jinjing yang akan dibawa Laras nanti.
Bi Tinah telah pergi. Suasana di kamar itu kembali hening. Novel yang biasa dibaca Laras ada di atas tempat tidur. Selama menunggu Pandu, ia bisa membaca beberapa halaman, pikir Laras seraya menggerakkan ban kursi rodanya ke dekat tempat tidur.
Jam telah menunjuk angka sepuluh pagi ketika Laras menengok ke arah penunjuk waktu tersebut. Ia telah melahap banyak halaman selama sejam terakhir. Tapi, Pandu belum menunjukkan tanda-tanda kalau ia sudah sampai di rumah. Sejak tadi telinga Laras tak menangkap bunyi mesin motor yang biasa dipakai Pandu masuk ke halaman rumah.
Mungkin sebentar lagi, batin Laras. Gadis itu kembali melanjutkan bacaannya yang terjeda selama beberapa saat.
Selang lima belas menit, keasyikan Laras membaca novel terusik oleh suara gaduh yang datang dari luar rumah. Gadis itu terkesiap dan spontan menutup buku bacaannya.
Indra pendengaran Laras menangkap sebuah suara motor memasuki halaman, akan tetapi bukan milik Pandu. Bunyi motor Pandu terdengar lebih halus, sementara suara motor yang didengar Laras terkesan lebih kasar dan tampaknya jenisnya bebek keluaran belasan tahun lalu.
Suara orang memanggil Bi Tinah berbarengan dengan ketukan pintu terdengar sesaat kemudian.
Apa yang terjadi? batin Laras khawatir. Perasaannya tiba-tiba tidak enak, seakan itu merupakan sebuah firasat bahwa sesuatu yang buruk menimpa Pandu. Gadis itu kian gelisah saat menyadari jika ia tak bisa apa-apa. Ia bahkan tidak bisa pergi ke lantai bawah dan mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Selang beberapa menit kemudian, pintu kamar Laras terkuak dengan kasar dari luar. Rasa penasaran Laras akan terjawab sebentar lagi.
"Non Laras ... "
Wajah Bi Tinah terlihat pucat dan bibirnya gemetar. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Isak tangis berkepanjangan seakan siap tertumpah detik itu juga.
"Apa apa, Bi?" Rasa takut dan cemas telah melebur jadi satu dalam dada Laras. Tubuh Bi Tinah mengatakan bahwa firasat buruk itu menjadi kenyataan.
"Mas Pandu, Non."
"Pandu kenapa? Ada apa dengan Pandu, Bi? Katakan, Bi!" Laras berteriak nyalang.
"Mas Pandu tertembak, Non."
"Tertembak?"
Tapi bagaimana bisa itu terjadi? Kenapa mesti Pandu? Lantas siapa yang telah melakukannya? Apa pelaku penembakan itu sama dengan orang yang telah membakar gudang penggilingan padi mereka?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top