#14

"Non Laras, Non Laras!"

Bi Tinah tergopoh-gopoh menaiki anak tangga yang menjadi penghubung lantai bawah dan atas seraya memanggil nama Laras berulang-ulang.

"Non Laras!"

Begitu membuka pintu kamar Laras, Bi Tinah kembali memanggil nama majikannya. Raut wajah yang dihiasi keriput di sana sini itu terlihat tegang. Seolah-olah hal yang buruk sedang terjadi di luar sana.

Laras yang sedang asyik menekuri novel yang dibeli Pandu untuknya, seketika meletakkan benda itu di atas pangkuan. Ekspresi cemas yang ditangkapnya dari wajah Bi Tinah mengindikasikan sesuatu yang buruk sedang terjadi.

"Ada apa, Bi?" Dengan buku yang masih ada dalam pangkuan, gadis itu memutar ban kursi rodanya.

"Ada tamu, Non," beritahu Bi Tinah setengah tersendat.

Laras menarik napas dalam-dalam. Tadinya ia sempat mengira jika sesuatu yang buruk telah terjadi. Namun, setelah mendengar pengakuan dari wanita itu, Laras langsung merasa lega. Setidaknya Pandu baik-baik saja.

"Tamu? Siapa?" desak Laras penasaran. Mungkinkah teman-temannya yang datang dari kota?

"Anu Non ... " Bi Tinah tampak kesulitan menyebutkan siapa tamu yang datang ke rumah itu.

"Ini aku, Laras."

Sebuah suara yang tidak asing di telinga Laras terdengar tiba-tiba dibarengi dengan sesosok wanita yang muncul dari balik pintu. Bak adegan dalam sinetron, wanita itu datang di waktu yang tepat. Seperti telah diatur sebelumnya.

Seorang wanita berusia akhir 40-an yang masih terlihat cantik tampak mengenakan perpaduan atasan berwarna kuning kunyit dengan bawahan bermotif bunga warna-warni, masuk ke dalam kamar Laras. Sebuah kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya. Rambutnya yang ikal bergelombang digerai, membuat penampilannya terkesan elegan.

"Sandra?"

Bibir Laras bergumam lirih. Nyaris tak terdengar. Gadis itu tak bisa menutupi keterkejutannya ketika melihat Sandra, ibu tirinya, yang tiba-tiba muncul seperti baru saja jatuh dari langit.

"Apa kabar, Laras?" sapa Sandra usai menurunkan kacamata hitamnya. Wanita itu bergerak menghampiri kursi roda Laras. Kedua ujung bibirnya ditarik ke atas membentuk sebuah senyum.

Laras menelan ludah.

Setelah Sandra mengirimnya kembali ke desa, Laras tidak pernah berharap akan bertemu dengan wanita itu lagi. Laras telah merelakan harta peninggalan ayahnya untuk dimiliki Sandra dan kedua putrinya. Laras hanya ingin hidup tenang tanpa terlibat masalah dengan mereka.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Hei, aku hanya bertanya kabarmu, Laras. Haruskah kamu sekasar itu padaku? Bagaimanapun juga aku pernah menikah dengan ayahmu. Kamu tidak boleh lupa itu," ujar Sandra tak terima.

Tidak mungkin wanita itu datang menemuinya tanpa alasan yang pasti, batin Laras berprasangka buruk.

"Kalau itu tujuanmu datang ke sini, kamu sudah melihat sendiri keadaanku. Sekarang kamu boleh pergi ... "

"Laras!" Sandra menukas ucapan Laras yang terkesan mengusirnya dengan tidak sopan. "Aku tahu apa yang kulakukan padamu tidak adil. Tapi kamu tahu sendiri aku sibuk dan kedua saudarimu juga tidak punya waktu untuk merawatmu. Itulah kenapa aku mengirimmu kemari. Aku tidak bermaksud jahat padamu, Laras."

Laras terdiam. Ini lebih pantas disebut sebagai penggalan adegan sinetron ketimbang realita. Sandra adalah wanita yang penuh tipu muslihat. Sampai sekarang Laras masih meragukan insiden kecelakaan yang menimpanya.

"Kenyataannya kamu jauh lebih baik tinggal di sini, bukan? Ada seseorang yang merawat kamu dan kamu juga tinggal di rumah yang bagus." Sandra mengoceh sementara pandangan matanya beredar ke sekeliling ruangan. Di luar tadi ia juga sudah melihat lahan pekarangan rumah yang ditempati Laras. Nyatanya tanah yang dimiliki Laras jauh lebih luas dari yang diperkirakan oleh Sandra.

"Sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku?" Laras mulai tak tahan dengan keberadaan Sandra di dalam kamarnya. Wanita itu membuat emosi Laras naik turun.

"Apa kamu bisa membantuku?" Sandra kembali mengarahkan pusat perhatiannya pada gadis yang duduk di atas kursi roda itu.

Laras bergeming. Ia menunggu Sandra melanjutkan kalimatnya.

"Kamu tahu, usaha yang dibangun ayahmu terancam bangkrut. Aku tidak tahu jika ayahmu punya utang yang cukup banyak. Dua milyar, Laras. Dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk membayarnya. Kamu juga tahu sendiri biaya pengobatanmu pasca kecelakaan itu juga tidak sedikit. Lalu dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk melunasi utang ayahmu, hah?"

Sandra berakting, batin Laras. Wanita itu menginginkan aset yang dimiliki Laras dengan dalih utang piutang peninggalan ayahnya.

"Aku tidak punya uang sebanyak itu ... "

"Kamu bisa menjual rumah ini, Laras. Nanti kamu bisa tinggal bersama kami lagi. Bukannya kamu juga punya penggilingan padi dan sawah?"

Laras tercekat. Sandra telah menyelidikinya diam-diam. Pak Brata, ayah Laras tidak pernah memberitahu Sandra tentang aset yang dimilikinya kecuali rumah yang ditinggali Laras sekarang. Dan kini Sandra mengincar harta yang telah menjadi milik Laras.

"Semua itu sudah dijual untuk membiayai pengobatanku," ujar Laras sengaja mengumbar dusta. Laras terpaksa melakukan hal itu untuk melindungi apa yang menjadi haknya. Lagipula Laras butuh sesuatu untuk masa depannya kelak mengingat ia tidak akan bisa bekerja untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

"Benarkah? Apa kamu yakin?" Wanita itu mendelik curiga. Informasi yang ia dapatkan berbeda dari yang apa yang dikatakan Laras.

"Tentu. Sekarang pergilah. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dariku," usir Laras.

Sandra membuang napas kuat-kuat. Upayanya untuk mengelabui Laras bisa dikatakan gagal total. Gadis itu bahkan berani mengusirnya.

"Laras!"

Sontak teriakan itu membuat Laras dan Sandra memalingkan wajah ke arah pintu kamar yang telah dibuka lebar dari luar. Pandu datang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cinta