#12

Laras telah berhasil menandaskan beberapa potong martabak manis cokelat yang ditinggalkan Pandu di atas meja di samping tempat tidur. Rasanya sudah lama sekali ia tak menikmati makanan yang biasa dijual di pinggir jalan itu.

Dan hingga sekarang Laras masih terjaga padahal jam telah menunjuk angka sepuluh malam. Tadi sore ia begitu gampang terlelap setelah membaca beberapa lembar halaman novel, tapi kini rasa kantuk justru enyah dari kedua matanya. Semestinya perut kenyang berbanding lurus dengan datangnya rasa kantuk. Tapi Laras tidak merasakan hal itu.

Mungkin Laras harus menerapkan metode yang sama seperti tadi. Gadis itu membuka kembali halaman terakhir yang ia tinggalkan dan  meneruskan bacaannya. Berharap kantuk akan segera menyambangi kedua matanya usai membaca barisan huruf yang tercetak rapi di atas lembar-lembar halaman novel.

Laras menutup novelnya semenit kemudian.

Apa ia harus mengucapkan terimakasih pada Pandu karena sudah membelikannya martabak manis?

Laras meletakkan novelnya di atas bantal kosong di samping kepalanya lalu mengambil ponsel yang berada di meja. Apakah mengucapkan terimakasih lewat pesan singkat terkesan aneh mengingat ia dan Pandu tinggal di bawah atap yang sama? batin Laras yang jari jemarinya telah siap mengetik sebuah pesan.

Ah, masa bodoh.

Laras mengenyahkan pikiran semacam itu dari kepalanya dan mulai mengetik sebaris ucapan terimakasih untuk Pandu.

'Martabak manisnya enak. Thanks.'

Pesan berhasil terkirim.

Semenit, dua menit, belum ada balasan masuk. Bahkan hingga bermenit-menit kemudian tidak ada balasan yang dikirim Pandu ke nomor Laras.

Apa Pandu sudah tidur? Besar kemungkinan iya. Jam sepuluh di pedesaan terasa seperti jam dua dini hari di kota. Jalanan di depan rumah itu pun sudah sepi selepas petang. Rata-rata orang pedesaan tidur lebih awal ketimbang masyarakat kota. Mereka juga punya kebiasaan bangun sejak subuh, sementara orang-orang kota lebih suka bangun ketika matahari telah meninggi. Tuntutan jam kerja orang kota membuat mereka melakukan kebiasaan berbeda dari orang desa.

Pandu pasti sama dengan orang-orang desa lainnya, pikir Laras yang akhirnya menyerah menunggu balasan dari Pandu. Ia memutuskan untuk menaruh kembali ponselnya di atas meja, lalu bersiap tidur kembali.

Ketika pagi tiba dan matahari mulai menyembul dari ufuk timur, saat itulah Laras membuka kedua matanya. Hal yang paling awal ia lakukan kali ini adalah memeriksa ponsel. Mungkin saja Pandu membalas pesannya begitu ia terjaga semalam atau pagi ini ketika ia membuka mata dan mendapati sebuah pesan dari Laras, pikir gadis itu.

Itu hanya khayalan, batin Laras seraya kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Layar ponsel itu sama sekali tak berubah. Hanya jam digital yang tertera di bagian atas saja yang terus berganti angkanya tiap semenit sekali. Pandu tidak membalas pesan Laras semalam.

Laras sedikit kecewa, tapi jika dipikir kembali, pesan yang ia kirimkan semalam hanyalah berisi ucapan terimakasih. Pandu tidak harus membalas pesan itu, bukan? Ia cukup membacanya saja.

Bi Tinah ke mana? Biasanya di jam segini wanita itu sudah bertandang ke kamar Laras. Tapi, hingga detik ini Bi Tinah belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal Laras ingin sekali pergi ke kamar mandi.

Untungnya tak berapa lama kemudian Bi Tinah datang. Jadi, Laras tidak perlu menunggu wanita itu lebih lama.

Setelah keluar dari kamar mandi, Bi Tinah mendorong kursi roda milik Laras ke tempat biasa, tepatnya di dekat dinding kaca berhadapan dengan sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan sarapan, makan siang, dan makan malam.

"Apa Pandu sudah pergi, Bi?" tanya Laras sebelum wanita itu pergi meninggalkan ruangan.

"Belum. Memangnya kenapa, Non?"

"Tidak apa-apa. Aku cuma ingin tahu."

"Apa Non Laras kangen sama Mas Pandu?" ledek Bi Tinah seraya mengerling genit. Wanita itu tahu tidak ada hubungan darah antara Laras dan Pandu. Pak Brata juga tidak pernah mengangkat Pandu sebagai anak angkatnya. Jadi, jikalau timbul perasaan antara keduanya itu merupakan hal yang wajar.

"Siapa yang kangen? Bi Tinah jangan sembarangan," tukas Laras sewot bukan main. Tapi, tiba-tiba saja gadis itu merasakan kedua pipinya menghangat. Entah apa sebabnya.

"Kangen juga boleh kok, Non. Mas Pandu kan orangnya baik dan ganteng lagi. Cocok dengan Non Laras," ujar Bi Tinah mengumbar pujian untuk Laras dan Pandu. Satu jempolnya teracung ke atas.

Namun, pujian itu justru membuat hati Laras menciut seketika. Bukankah ia cacat dan tak punya harapan? Sekalipun untuk bermimpi, Laras tak berani. Apalagi mengharap untuk dicintai oleh seseorang. Laras tidak seberani itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cinta