#11
Apakah Pandu benar-benar semarah itu?
Jam yang terpasang di dinding kamar Laras telah menunjuk ke angka tiga. Biasanya Pandu sudah tiba di rumah jam segini. Tapi, Laras belum mendengar suara deru motor yang biasa dipakai Pandu. Mungkinkah ia belum kembali?
Tak ingin diliputi rasa penasaran lebih lama, Laras berusaha mencari tahu dengan upayanya sendiri. Gadis itu memutar roda kursinya keluar dari kamar.
Dari tempatnya berada sekarang Laras bisa melihat ke seisi ruang tengah dan ruang tamu. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Sayangnya Laras tidak bisa pergi ke lantai bawah. Jika ia bisa pasti gadis itu akan menerobos keluar rumah untuk mencari tahu keberadaan Pandu.
Tapi, kenapa ia bersikap seperti ini? Entah Pandu marah atau tidak, itu semestinya tidak penting bagi Laras. Toh, hubungan mereka tidak terlalu dekat. Bahkan dulu Laras lah yang sengaja merentangkan jarak di antara mereka. Kenapa sekarang ia malah kebingungan saat Pandu belum pulang? Laras juga merasa cemas kalau-kalau Pandu benar-benar marah padanya.
"Non Laras sedang apa di situ?!"
Alih-alih Pandu yang muncul, justru Bi Tinah yang berteriak dari lantai bawah. Suaranya menggema ke seisi rumah.
Wanita itu tampak tergopoh-gopoh menaiki tangga menuju ke tempat Laras memarkir kursi rodanya.
"Jangan keluar kamar sendirian seperti ini, Non. Bahaya, tahu? Kalau Mas Pandu tahu Non Laras keluar kamar, nanti Bibi yang dimarahi," omel wanita tua itu seraya mendorong kursi roda milik Laras kembali ke dalam kamar.
"Tidak mungkin dia memarahi Bibi seperti itu," balas Laras.
"Non Laras memangnya tidak tahu kalau Mas Pandu sangat memperhatikan Non Laras? Mulai dari makanan, Mas Pandu menyuruh Bibi untuk menyediakan makanan sehat untuk Non Laras. Saat itu juga Mas Pandu langsung menyuruh Bibi membeli keperluan untuk Non Laras begitu tahu Non Laras tidak membawa apa-apa selain pakaian. Setiap Mas Pandu di luar rumah, dia selalu menelepon Bibi dan bertanya apa Non Laras sudah makan atau belum," celoteh Bi Tinah seketika membuat Laras ternganga.
Masa Pandu seperti itu? batin Laras sama sekali tidak percaya. Bi Tinah pasti melebih-lebihkan cerita tentang Pandu.
"Tidak mungkin Pandu seperti itu," sangkal Laras setengah bergumam.
Bi Tinah menghentikan kursi roda Laras di dekat tempat tidur.
"Bibi tidak bohong, Non. Tadi Mas Pandu juga menelepon Bibi. Mas Pandu itu orangnya sangat baik. Yang jadi istrinya kelak, sangat lah beruntung," puji Bi Tinah dengan mengukir senyum bangga di wajahnya.
Mungkin itu karena Pandu merasa berhutang budi pada Pak Brata, simpul Laras. Wajar lah jika Pandu memperlakukannya begitu baik.
"Pandu belum pulang, Bi?"
"Belum. Mungkin dia masih sibuk di penggilingan. Atau mungkin dia mampir ke warung? Kadang-kadang Mas Pandu berkumpul dengan teman-temannya di warung sekalian ngopi," papar Bi Tinah.
Prediksi Bi Tinah sangat masuk akal. Kaum pria dan kopi adalah sebuah perpaduan alami yang sangat lumrah.
"Apa Non Laras mau mandi sekarang?"
Laras mengiyakan. Tubuhnya sedikit berkeringat hari ini karena cuaca yang panas. Musim kemarau agaknya lebih panjang dari biasanya.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Laras memilih untuk duduk di atas tempat tidurnya. Terlalu lama duduk di kursi roda membuatnya merasa lelah. Gadis itu menyibukkan diri dengan membaca sebuah novel yang dibeli Pandu kemarin.
Sesungguhnya Laras bukan pecinta novel atau seseorang yang hobi membaca, makanya baru menyelesaikan beberapa lembar halaman saja gadis itu jatuh tertidur. Barisan huruf yang tercetak di atas lembaran kertas seolah deretan mantra penghantar tidur bagi Laras.
Namun, ketika gadis itu terjaga sejam kemudian, ia mencium aroma wangi cokelat yang menggiurkan datang dari samping tubuhnya. Begitu dilihat, ada sebuah kotak berisi martabak manis cokelat di atas meja dekat tempat tidurnya.
Pasti Pandu yang menaruhnya di sana. Tapi, kenapa ia tidak membangunkan Laras? Sudah tidak marahkah ia pada gadis itu?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top