#10
Laras menimang ponsel pemberian Pandu kemarin di kedua tangannya. Nilai benda itu memang tidak lebih besar dari sejumlah uang yang dikeluarkan ayah Laras untuk merawat dan menyekolahkan Pandu. Namun, benda itu memiliki banyak arti untuk Laras. Ponsel itu merupakan bukti ketulusan Pandu padanya.
"Apa kamu butuh sesuatu?"
Mendadak Pandu muncul dari belakang kursi roda Laras. Karena terlalu asyik melamun, telinga Laras tak menangkap suara derit pintu atau langkah seseorang masuk ke dalam kamarnya.
Apa Pandu menduga Laras akan meneleponnya mentang-mentang gadis itu memegang ponsel di tangan?
"Tidak," geleng Laras. Dulu ia suka sekali bermain ponsel selama berjam-jam lamanya, tapi sekarang tidak lagi. Ada beberapa hal yang berubah darinya pasca kecelakaan itu. "Kenapa kamu masih ada di rumah jam segini?" tanya Laras agak heran. Semenjak ia ada di rumah itu, Pandu selalu sibuk dan baru kembali setelah jam makan siang.
"Memangnya aku harus ke mana?" Pandu meletakkan pantat di kursi rias seperti biasanya dan menghadap ke arah Laras. Raut wajahnya menampilkan ekspresi bingung.
"Ke sawah atau ke penggilingan padi?"
Senyum tipis terukir di bibir laki-laki itu. Ia memang biasa melakukan rutinitas pergi ke sawah atau penggilingan padi setiap harinya.
"Aku akan pergi ke penggilingan padi nanti agak siang. Kalau di sawah tidak ada yang bisa dilakukan. Setelah panen sawah masih perlu diairi sebelum dibajak agar bisa ditanami kembali," jelasnya. Barangkali Laras lupa tahapan-tahapan dalam menanam padi.
"Oh, begitu?"
Pandu mengangguk.
"Kamu mau pergi keluar? Jalan-jalan di sekitar rumah mungkin?" tawar Pandu. Selama tinggal di rumah itu, Laras hanya sekali pergi keluar. Itupun saat ia harus pergi ke rumah sakit.
Namun, penawaran baik Pandu langsung ditolak Laras lewat gelengan kepala.
"Kenapa? Bukannya tinggal di dalam kamar terus terasa membosankan?"
Ya, tapi ...
"Aku tidak mau orang-orang melihat keadaanku seperti ini," ucap Laras dengan tertunduk. Gadis itu menatap ke arah kedua kakinya yang tertutup selembar kain tebal berwarna biru dongker.
Pandu paham situasi yang dialami gadis itu.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan di belakang rumah? Kamu juga perlu sinar matahari pagi, Laras." Pandu berusaha membujuk. "Di belakang rumah tidak akan ada yang bisa melihat kamu. Pagar yang mengelilingi rumah ini lumayan tinggi, kok."
"Tidak." Laras tetap menggeleng.
Mungkinkah Pandu akan memaksa Laras seperti yang ia lakukan saat pergi ke rumah sakit?
"Hmmm ... Baiklah. Aku tidak akan memaksa," putus Pandu setelah menimbang beberapa saat. Pergi keluar rumah tidak sepenting pergi ke rumah sakit, pikirnya. Masih ada waktu dan lain kali untuk membujuk Laras.
"Kamu tidak akan bisa melakukan ini selamanya padaku, Pandu."
Pandu menatap tajam ke arah manik mata gadis di depannya. Seraut wajah itu tak sepucat saat Laras tiba pertama kali ia datang. Sorot matanya lebih hidup dari sebelumnya.
Pandu tak berhasil mencerna ucapan Laras dengan baik. Namun, di sisi lain ia tidak tersinggung sama sekali tatkala Laras hanya memanggil namanya. Usia mereka terpaut tiga tahun saja.
"Maksudnya?"
"Sepertinya gadis itu sangat menyukaimu," ucap Laras membuat Pandu bertambah bingung. Apakah topik pembicaraan mereka telah berganti?
Pandu melepaskan tawa bodoh.
"Kamu bicara apa, Laras? Aku tidak mengerti sama sekali."
Laras menghela napas cukup dalam. Pandu perlu diberi penjelasan yang gamblang.
"Kamu juga perlu menikah seperti orang lain, kan?" tanya Laras, tapi tak mendapat respon dari Pandu. "Jika suatu hari nanti kamu menikah, kamu tidak bisa lagi memperlakukan aku seperti ini. Kamu harus berhenti merawatku."
Pandu membungkam bibir. Laki-laki itu paham apa yang dikatakan Laras. Benar-benar paham.
"Gadis itu sepertinya baik dan dia juga cantik. Kurasa dia cocok untukmu," imbuh Laras sembari mengumbar senyum. Di benaknya terbayang seraut wajah polos nan cantik milik Nurma.
"Aku belum berpikir untuk menikah."
"Kenapa? Umur kamu sudah 28 tahun, kan?"
"Iya, tapi aku belum berpikir ke arah sana. Masih banyak yang harus kulakukan, Laras." Laki-laki itu mengangkat tubuh dari atas kursi dengan gerakan cepat.
"Pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya, kamu tahu? Sawah itu akan terus ditanami lalu panen, begitu seterusnya ... "
"Aku akan pergi ke penggilingan sekarang," pamit Pandu sambil menepuk pundak Laras. Laki-laki itu buru-buru melangkah ke arah pintu seolah dengan sengaja menghindari percakapan dengan Laras.
Laras hanya bisa tertegun menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup dengan kasar oleh Pandu. Apakah ia marah? Atau ia tersinggung?
Yang jelas sikap Pandu benar-benar di luar kebiasaan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top