#08

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tatapan mata Laras terus saja mengarah ke samping. Apapun yang tersuguh di luar sana, entah itu sawah, ladang, pohon, rumah, warung-warung sederhana yang berdiri di pinggir jalan, tidak luput dari penglihatan gadis itu. Sejujurnya Laras hanya tak ingin ekor matanya menangkap bayangan wajah atau bagian tubuh Pandu yang lain.

Dokter yang mereka temui tadi mengatakan hal yang sama. Laras sudah pernah mendengar ini sebelumnya, lebih tepatnya tak lama setelah ia terbangun dari koma pasca kecelakaan. Bahwa peluang kesembuhannya sangat kecil sekalipun ia dirawat di rumah sakit yang canggih, semacam di Amerika atau Singapura. Apalagi di rumah sakit umum yang berada di sebuah kota kecil dan baru saja mereka kunjungi, jelas tidak memiliki alat-alat berteknologi canggih.

"Bagaimana kalau kita melakukan pengobatan alternatif?" Pandu memecah sepi. Laki-laki itu berusaha mengalihkan perhatian Laras dari luar jendela mobil.

"Bukankah sudah jelas aku tidak ada harapan?" Laras tak lantas menoleh mendengar ucapan Pandu.

"Paling tidak kita harus berusaha, Laras. Kita bisa membangun harapan dan berusaha untuk mewujudkannya. Aku akan membantumu."

Laras memutar kepala ke arah Pandu.

"Jangan terlalu berusaha keras untukku. Pada akhirnya kamu akan kecewa. Tidak, aku lah yang paling akan kecewa nanti."

"Kamu menyerah sebelum berusaha?"

"Karena aku tahu hasilnya nanti seperti apa," balas Laras percaya diri.

Keyakinannya justru menerbitkan senyum tipis di bibir Pandu.

"Kamu hanya menebak, Laras. Yang jelas kita tidak pernah tahu sebelum kita mencoba," kilah Pandu.

"Bagaimana kalau tebakanku tepat?"

"Kita akan berusaha lagi ... "

"Jangan bodoh. Berhenti saja. Tidak usah melakukan apapun. Jangan menjadikan aku beban untukmu."

Mulai lagi, batin Pandu kecewa. Ujung-ujungnya pasti Laras akan mengatakan sesuatu yang bernada pesimis.

Sisa perjalanan yang tinggal 15 menit lagi mereka lalui dalam diam. Pandu tak ingin mendebat gadis itu, sementara Laras kembali membuang tatapan ke luar jendela. Menikmati pemandangan alam yang tak sempat ia nikmati dalam perjalanan sebelumnya bersama Pak Atmaja.

Mobil yang dikemudikan Pandu mulai memelan ketika mereka hampir tiba di rumah. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya tak lagi segarang siang tadi. Angin yang bertiup dari areal persawahan terasa sejuk dan membawa aroma rerumputan. Di kejauhan terdengar suara anak-anak kecil yang sedang menerbangkan layang-layang.

"Mas Pandu!"

Pandu baru saja keluar dari dalam mobil dan belum sempat menutup pintu saat suara seorang perempuan memanggil namanya dengan nada bersemangat.

Seorang gadis yang mengenakan pakaian terusan bermotif bunga-bunga terlihat berjalan dari arah jalan. Rambut panjang nan hitam miliknya tergerai bebas dan tampak menari ditiup angin sore. Senyum lebar menghias wajah polos tanpa rias miliknya.

"Nurma?" Dengan spontan bibir Pandu menyebut nama gadis berparas cantik itu. Ia tak menduga jika Nurma akan mendatanginya tiba-tiba seperti ini, sementara Laras masih berada di dalam mobil. Laras pasti sedang menunggunya sekarang.

"Aku membawakan makanan untuk Mas Pandu," ucap Nurma seraya mengangsurkan sebuah kresek hitam ke tangan laki-laki berkulit sawo matang itu. "Kebetulan hari ini ada kenduri di rumahku," imbuh Nurma memberi tahu Pandu.

"Oh, terima kasih, ya," balas Pandu kaku. Ia merasa tidak enak telah membiarkan Laras menunggunya di dalam mobil.

"Kalau begitu aku pulang dulu ya, Mas. Masih banyak pekerjaan di rumah," pamit Nurma tak lama kemudian.

"Ya, ya." Pandu mengiyakan sampai dua kali. Untung saja Nurma segera berpamitan, batinnya lega.

Laki-laki itu buru-buru mengeluarkan kursi roda milik Laras dari dalam bagasi belakang mobil saat tubuh Nurma telah pergi menjauh.

"Maaf, aku sudah membuatmu menunggu," ucap Pandu setelah ia berhasil membuka pintu untuk Laras. Namun, gadis itu tak menjawab. Pandu segera memindahkan tubuh Laras ke atas kursi roda dan membawa gadis itu masuk ke dalam rumah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cinta