#07
Hari telah berganti. Pagi ini tak jauh berbeda dari pagi sebelumnya. Hawa dingin masih terasa menggigit persendian ketika dini hari hingga subuh tiba. Pemandangan di luar dinding kaca juga serupa kemarin. Langit, matahari, persawahan, dan gunung yang kebiruan di kejauhan sana, nyaris sama dengan yang dilihat Laras kemarin.
"Aku membawakanmu nasi pecel."
Suara Pandu terdengar tiba-tiba dan seketika mengusik ketenangan di dalam kamar Laras. Gadis itu tampak sedang duduk di kursi rodanya dan menghadap dinding kaca.
Pandu meletakkan sebuah nampan ke atas meja yang berisi peralatan makan dan dua bungkus nasi pecel yang dibungkus menggunakan daun jati.
Laras terbengong-bengong melihat tingkah Pandu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" hardik Laras setengah emosi.
"Aku ingin makan denganmu. Apa tidak boleh?"
Sekalipun Laras mengatakan 'tidak', apa Pandu akan pergi? Tidak. Pandu telah menyiapkan nasi pecel di atas piring untuk Laras dan untuk dirinya sendiri.
"Kenapa melakukan ini padaku? Kenapa tidak membiarkanku sendiri, hah?" Laras tampak marah, tapi ia tak bisa meninggikan suara. Gadis itu terlalu lemah meski hanya untuk berteriak.
"Makanlah. Kamu tidak bisa terus-terusan bersikap seperti ini, Laras. Aku sudah mengatakan padamu kalau aku akan merawatmu. Kamu bisa membagi deritamu denganku."
Bagaimana mungkin bisa seperti itu? batin Laras menjerit. Yang dialami Pandu hanyalah kehilangan kedua orang tuanya. Itu saja. Tapi Laras? Ia kehilangan segalanya!
"Aku tidak tahu kenapa Tuhan menyelamatkanku saat kecelakaan itu ... " Bibir Laras gemetar. Hatinya serasa tercabik kala ia mengenang kembali peristiwa kecelakaan yang nyaris membuatnya meregang nyawa. Seseorang telah mengevakuasi tubuh Laras tepat sebelum mobilnya meledak.
Air mata mendadak turun membasahi pipi gadis itu. Laras sudah berusaha membendungnya, tapi sikap Pandu justru membuatnya kembali mengingat peristiwa kecelakaan itu.
Pandu segera mendekat lalu merengkuh kepala Laras.
Untuk beberapa saat Pandu mengusap kepala Laras dan membiarkan gadis itu menumpahkan tangisnya. Mungkin setelah itu beban dalam hati Laras sedikit berkurang. Butuh beberapa lama bagi Laras untuk kembali menata perasaan.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," ujar Pandu usai Laras menyeka air matanya. Laki-laki itu kembali menempati kursi kayu yang berada di seberang kursi roda milik Laras. Mereka mulai menikmati nasi pecel yang dibeli Pandu.
"Aku tidak ingin pergi ke mana-mana," balas Laras mengecewakan hati Pandu.
"Tapi kamu harus ikut, Laras."
"Ke mana?"
"Ke rumah sakit."
Sekujur tubuh Laras membeku. Mendengar kata 'rumah sakit' membuat gadis itu kembali merasakan hatinya tercabik. Sebulan terbaring di rumah sakit merupakan mimpi buruk bagi Laras pasca kecelakaan itu. Ia sempat koma selama beberapa hari lalu terbangun dan mendapati kenyataan pahit yang menyakitkan. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan hingga kini Laras masih bisa mencium aroma obat di sekeliling tubuhnya. Bagaimana mungkin ia akan kembali ke tempat serupa walaupun cuma sebentar?
"Aku tidak mau." Laras langsung meletakkan sendoknya.
Pandu sudah mengira ini akan terjadi. Tidak akan mudah untuk membujuk Laras agar mau diajak ke rumah sakit meski hanya untuk sekadar memeriksakan kondisinya. Rasanya aneh jika Laras tidak mengonsumsi obat apapun dalam keadaan seperti ini. Minimal vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya. Tapi, Pandu tidak melihat sebutir obat pun yang diminum Laras.
"Kita hanya akan minta vitamin pada dokter, Laras." Pandu mencoba membujuk.
"Aku tidak butuh vitamin atau apapun. Aku baik-baik saja," tandas Laras tegas.
"Kalau kamu baik-baik saja, kamu tidak akan sepucat dan sekurus itu, Laras. Lihat diri kamu. Apa seperti itu tampang orang yang baik-baik saja?"
Laras terdiam. Lagi-lagi Pandu berusaha mendebatnya.
"Aku tahu kakimu sedang sakit, tapi kamu tidak boleh mengabaikan kesehatanmu, Laras. Kamu harus sehat dan bahagia, kamu mengerti?"
Senyum getir tersungging di sudut bibir Laras.
Sehat dan bahagia kata Pandu? Omong kosong!
"Habiskan makananmu dan setelah itu kita ke rumah sakit. Aku tidak mau mendengar penolakan," tegas Pandu memaksa.
Memangnya Laras bisa apa? Menolak? Ia bahkan tidak bisa menggerakkan kedua kakinya, apalagi melarikan diri dari Pandu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top