#06
Pandu memang tidak pernah akrab dan dekat dengan Laras sebelumnya. Meski mereka tinggal di bawah atap yang sama, Laras lebih suka mengacuhkan Pandu dan menganggapnya tak ada. Tapi, Pandu tidak bisa melakukan hal yang sama pada gadis itu. Terlebih sekarang. Rasa iba dan kasihan bertumpuk memenuhi relung hatinya. Laki-laki itu berjanji akan menjaga Laras dengan sekuat tenaga.
Pandu menarik sebuah kursi kayu dari depan meja rias lalu meletakkannya tak jauh dari kursi roda milik Laras. Ia menempati kursi kayu itu sejurus kemudian.
Di atas meja yang berada dekat dengan kursi roda Laras, terdapat sebuah piring kecil berisi mangga yang telah diiris dan siap santap. Bi Tinah memetiknya dari pohon mangga yang ada di samping rumah. Lalu di sebelahnya ada beberapa buah pisang raja yang sudah matang. Dan segelas penuh air putih.
Pandu melirik isi meja itu diam-diam.
"Apa makanan di sini kurang enak?" Pandu mengalihkan pandangan ke arah Laras. "Kudengar kamu cuma makan sedikit."
Laras menelan ludah. Bi Tinah pasti melaporkan semuanya pada Pandu, duganya.
"Apa kamu ingin makan sesuatu? Aku bisa membelikanmu nanti. Banyak warung makan tidak jauh dari sini ... "
"Hentikan." Laras menatap wajah Pandu lekat-lekat. Mereka tidak pernah duduk sedekat ini sebelumnya, apalagi berbincang akrab layaknya teman atau keluarga. Laras telah membangun benteng dalam dirinya agar tak dimasuki oleh laki-laki itu. Sayangnya, keadaan tak lagi berpihak padanya.
Pandu tercekat. Laki-laki itu membungkam bibir melihat reaksi Laras.
"Jangan sok akrab denganku. Kamu bukan siapa-siapa untukku. Jadi, jangan pedulikan aku dan jangan mengasihaniku."
Kedua mata Pandu terbeliak begitu ucapan kasar itu meluncur bebas dari bibir Laras.
"Laras ... "
"Jangan merasa bertanggung jawab atas diriku karena ayah membantumu di masa lalu," tukas Laras ketus.
Senyum getir terukir di ujung bibir Pandu. Laras bukanlah gadis sombong. Laras hanya menjaga jarak dengan dirinya. Tapi, apa yang gadis itu ucapkan cukup mengguncang perasaan Pandu.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Pandu berusaha bersikap tenang. Kesabaran benar-benar harus dipupuk dalam hatinya demi menghadapi sikap Laras. Pandu yakin Laras merasa kecewa dengan semua yang telah menimpa dirinya dan melampiaskannya pada laki-laki itu. "Apa kamu lebih suka kalau aku membiarkanmu terlantar di jalanan sendirian? Kamu lebih memilih kelaparan dan kedinginan di jalanan daripada berada di kamar yang nyaman dan ada seseorang yang merawatmu? Begitukah?"
Manik mata hitam milik Laras membulat. Ekspresi tenang yang ditangkapnya dari wajah Pandu kontras dengan ucapan yang terlontar dari mulut laki-laki itu.
Bagaimana bisa seorang anak laki-laki yang dirawat dan disekolahkan ayah Laras bisa berkata seperti itu padanya? Bukankah itu terlalu kejam?
"Aku tahu kamu sangat menderita, Laras," ucap Pandu kemudian. Di tengah-tengah kebisuan gadis berambut serupa kayu mahoni itu. "Kenyataan ini terlalu pahit untukmu. Tapi, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untukmu. Bi Tinah juga akan merawat kamu. Bukankah itu jauh lebih baik daripada kamu sendirian dan menanggung derita itu seorang diri?"
Laras terdiam. Dan sesaat kemudian ia beralih tatap. Pemandangan di luar sana telah berubah menjadi senja yang dramatis. Matahari telah bergeser dari tempatnya semula. Para petani juga tampak satu per satu meninggalkan areal persawahan.
"Kamu tahu," Pandu bersikeras untuk melanjutkan ucapannya. Tak peduli akan menyinggung perasaan Laras nantinya. "saat aku lahir ke dunia, aku telah menjadi anak yatim. Aku tidak pernah melihat ataupun mengenal sosok seorang ayah seumur hidupku. Aku hanya tinggal bersama ibuku di sebuah rumah yang nyaris roboh. Setiap saat kami merasa waswas kalau tiba-tiba atap rumah kami jatuh. Dan seperti yang kamu tahu, saat aku berumur sebelas tahun, ibuku meninggal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Pak Brata tidak mengajakku ke rumahnya kala itu. Mungkin aku akan mati kelaparan atau menjadi gelandangan."
Laras masih bergeming. Pandangan gadis itu masih terarah ke luar sana, tapi suara Pandu leluasa masuk ke dalam telinganya.
Lanjut Pandu lagi,
"Tapi, Pak Brata tidak membiarkanku sendirian saat itu. Dia mengajakku ke rumahnya, memberiku makan, memberiku sebuah kamar, dan merawatku seperti anaknya sendiri. Kamu tahu kenapa dia tidak membiarkanku terlantar di jalanan? Karena Pak Brata punya hati nurani. Dan aku ingin menunjukkan padamu kalau aku juga masih punya hati nurani, Laras. Dan Pak Brata-lah yang mengajariku tentang kehidupan."
Pandu mengakhiri penuturannya. Ia tidak yakin kalau ucapannya bisa menyentuh jauh ke lubuk hati Laras. Yang paling penting, ia sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk Laras.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top