#05

"Mas Pandu sudah datang?"

Dengan langkah tergesa Bi Tinah menghampiri Pandu yang baru saja turun dari atas motor. Sejak tadi Bi Tinah tak sabar menunggu kepulangan Pandu dari sawah. Ada sesuatu yang ingin wanita itu sampaikan pada majikannya.

"Apa Laras sudah makan, Bi?" Pandu melepaskan topi dari kepalanya dan berjalan ke teras diikuti Bi Tinah. Semenjak Pak Brata pindah ke kota, majikan Bi Tinah ganti Pandu.

Jam menunjuk angka tiga ketika Pandu mengintip ke arah jam digital yang tertera di layar ponselnya. Sudah lewat jam makan siang, batinnya. Pekerjaan di sawah cukup menyita waktunya hari ini sehingga ia belum sempat melihat Laras.

"Sudah, Mas. Tapi, Non Laras makannya sedikit sekali. Itupun harus Bibi paksa," lapor Bi Tinah sejujurnya.

Pandu menghela napas cukup dalam ketika mendengar aduan Bi Tinah. Laki-laki itu memahami situasi Laras. Wajar jika gadis itu tidak berselera makan. Tubuhnya yang kelewat kurus mengindikasikan jika Laras kurang asupan nutrisi. Apa yang dialami Laras bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk diterima.

"Bibi tetap siapkan saja makanan untuknya."

"Baik, Mas Pandu."

Pandu hendak melangkah masuk ke dalam rumah saat Bi Tinah memanggilnya.

"Ada apa, Bi?" Pandu menghentikan gerakan kakinya.

"Tadi Bibi membongkar koper-koper milik Non Laras. Bibi merasa heran karena tidak ada barang-barang lain di dalam koper-koper itu. Isinya cuma pakaian semua," ungkap Bi Tinah dengan menampilkan mimik serius. Ia tak merendahkan suara karena yakin Laras tidak bisa mendengar ucapannya.

Seketika Pandu membisu. Benarkah hanya pakaian yang ada di dalam koper-koper milik Laras?

"Apa tidak ada ponsel atau benda berharga lain?"

"Tidak ada," sahut Bi Tinah yakin 100 persen. "Non Laras benar-benar diusir dari rumah itu," gumam wanita itu dengan suara pelan. Gurat kecewa dan sedih membaur di kedua mata tuanya.

Pandu lantas mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.

"Tolong Bibi belikan keperluan Laras di toko. Bibi yang paling tahu kebutuhan wanita," ucap Pandu seraya menyodorkan beberapa lembar uang kertas ke tangan Bi Tinah.

Wanita itu melongo melihat reaksi cepat Pandu.

"Sebanyak ini?" Bi Tinah menatap bingung ke arah lembaran uang kertas di dalam genggamannya.

"Nanti kalau habis, Bibi bilang saja padaku."

Pandu menepuk pundak Bi Tinah sebelum pergi meninggalkan wanita itu yang masih bengong menatap uang kertas di tangannya.

Meskipun terdengar kasar, ucapan Bi Tinah ada benarnya. Laras telah dibuang oleh keluarganya.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Pandu naik ke lantai dua untuk mengunjungi kamar Laras.

Ketika Pandu tiba di sana, ia melihat Laras tampak sedang termenung sendirian di dekat dinding kaca yang tirainya telah tersingkap penuh. Pandangan mata gadis malang itu menerawang jauh, entah ke arah padi yang menguning ataukah pada puncak gunung yang selalu tertutup kabut tipis berwarna putih. Mungkin lamunannya terbang menembus ke langit. Siapa yang tahu?

"Laras?"

Pandu memelankan langkah begitu jarak antara dirinya dengan Laras semakin dekat. Ia tak ingin mengejutkan gadis itu dan mengacaukan lamunannya.

Yang dipanggil tak menunjukkan reaksi apapun. Sepasang mata Laras masih menerawang kosong ke depan. Membuat Pandu menjadi ragu apakah gadis itu mendengar suaranya atau tidak.

"Laras?" Pandu menyebut nama gadis itu sekali lagi ketika ia telah sampai di samping kursi roda.

Barulah Laras mengerjapkan mata lalu menoleh ke arah Pandu.

"Maaf aku baru bisa menemuimu sekarang. Ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan hari ini," ucap Pandu seakan-akan ia telah melakukan sebuah kesalahan. "Apa kamu sudah makan?" basa basinya kemudian.

Gadis itu mengangguk lemah. Pandu melihat wajah Laras masih sepucat kemarin. Sorot matanya tampak kosong tak bercahaya. Kulitnya kering dan seperti akan layu. Kedua tangan kurusnya juga begitu kentara sekalipun ia mengenakan sebuah cardigan berlengan panjang. Laras benar-benar sedang tidak sehat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cinta