#04
Hawa dingin yang ditawarkan alam pagi ini cukup membuat tubuh Laras menggigil. Suhu udara di dalam kamarnya terasa seperti suhu udara di puncak gunung di kejauhan sana. Berkisar di angka 19 derajat Celsius. Agaknya Laras harus meminta Bi Tinah agar menambahkan satu selimut lagi untuknya.
Mimpi buruk itu baru saja menyambangi tidur Laras dan membuat gadis itu terjaga sejak subuh. Memang itu bukan yang pertama untuknya. Tapi, mimpi buruk itu cukup menyiksa batin Laras. Seolah-olah kecelakaan hebat itu dialaminya lagi dan lagi. Rasa sakit yang mengimpit kedua kakinya, darah yang mengalir deras dari keningnya, dan juga percikan api yang muncul tiba-tiba dari bagian mesin mobilnya. Semua itu terulang kembali dan terasa begitu nyata bagi Laras.
Gadis itu hanya bisa tercenung di atas tempat tidur, menunggu pagi datang. Berharap sinar matahari segera menaikkan suhu di dalam kamarnya, juga mengenyahkan ingatan tentang mimpi buruk itu dari pikiran Laras.
Harapan itu belum sepenuhnya terwujud ketika Bi Tinah datang ke kamar Laras. Wanita itu bergegas membantu Laras pergi ke kamar mandi sesaat kemudian.
"Apa Non Laras ingin makan sesuatu? Nasi pecel mungkin? Di dekat sini ada warung nasi pecel yang baru buka belum lama ini," ujar Bi Tinah setelah Laras selesai dari kamar mandi. Wanita paruh baya itu mendorong kursi roda Laras ke depan meja yang berada di dekat dinding kaca yang masih tertutup selembar tirai berwarna krem. Rencananya ia akan meletakkan sarapan di meja itu nanti, bukan di meja kecil samping tempat tidur seperti yang Bi Tinah lakukan kemarin.
"Aku belum lapar."
Bi Tinah menatap gadis itu dengan kening berlipat-lipat. Jawaban gadis itu cukup membuatnya tercengang. Sejak Laras tiba kemarin, ia sama sekali tak menyentuh makanan yang disediakan Bi Tinah untuknya. Air minum dalam gelas juga tak berkurang sedikitpun.
"Tapi, Non ... " Bi Tinah sampai lupa untuk menyingkap tirai. Wanita itu menelan kembali kalimatnya. "Apa koper-koper itu mau dibongkar sekarang?" Bi Tinah tak membahas lagi soal sarapan. Keberadaan koper-koper milik Laras di atas lantai cukup merusak pemandangan. Ruangan itu juga tampak sempit dan mengganggu gerak kursi roda Laras.
"Ya." Urusan koper, Laras menganggukkan kepala. Ia juga harus berganti pakaian. Selain itu ia sendiri juga merasa risih dengan keberadaan koper-koper miliknya.
Bi Tinah mulai membongkar isi koper kepunyaan Laras satu per satu. Pakaian-pakaian milik Laras ia pindahkan ke dalam lemari sampai tak bersisa.
"Mas Pandu harus pergi ke sawah hari ini untuk mengawasi pekerja yang memanen padi. Mungkin pulangnya siang atau bisa agak sore," tutur Bi Tinah memberi tahu Laras. Tugasnya memindahkan pakaian-pakaian milik Laras belum selesai.
Laras tak menyahut. Ia bahkan tidak menanyakan keberadaan laki-laki itu. Pasalnya berada di dekat Pandu membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
Setelah selesai melakukan tugasnya Bi Tinah pergi meninggalkan kamar Laras. Namun, beberapa menit kemudian wanita itu kembali lagi dengan membawa sebuah nampan di tangan.
"Bibi bawakan sarapan untuk Non Laras." Bi Tinah meletakkan nampan itu di atas meja persis di depan Laras. Seolah tak peduli dengan perkataan Laras tadi.
Mana mungkin seseorang tak merasa lapar setelah lebih dari 14 jam tidak makan apapun? pikir Bi Tinah.
"Aku kan sudah bilang kalau aku tidak lapar, Bi," ucap Laras mengajukan protes.
"Non ... " Bi Tinah mencoba untuk merendahkan suara. "paling tidak Non Laras makan sedikit saja, ya? Apa Non Laras tidak kasihan pada Bibi yang sudah repot-repot memasak makanan itu?" Lagipula Pandu sudah berpesan padanya agar menyiapkan sarapan untuk Laras. Bi Tinah juga harus menyediakan air minum dan makanan kecil di atas meja kalau-kalau Laras merasa lapar atau haus.
Laras mendesah. Ia merasa agak kesal. Sebenarnya gadis itu tidak berselera untuk memasukkan apapun ke dalam mulutnya, tapi bujukan Bi Tinah tak bisa diabaikan oleh Laras begitu saja.
"Apa mau Bibi suapi?" tawar Bi Tinah ketika Laras belum juga menyentuh sendok.
"Tidak perlu."
"Kalau begitu, Non Laras makan, ya? Bibi akan tunggu di sini."
"Memangnya aku anak kecil?"
Bi Tinah mengurai senyum melihat wajah cemberut Laras. Bayi kecil yang dulu ia asuh sudah dewasa sekarang. Tapi, sifat kekanakan itu masih ada pada diri Laras.
"Baiklah. Kalau begitu Bibi tinggal ke dapur."
Laras tak menyahut. Gadis itu melempar tatapan sebal ke arah punggung Bi Tinah yang bergerak ke arah pintu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top