Ma Seule Musica

Gramofon yang Rinie ciptakan selalu kuletakkan di tempat yang sama, di pojokan ruang tidur, di samping vas bunga kosong yang sudah retak tepian atasnya.

Dari pagi hingga petang, alat musik aneh itu tidak pernah bisa diam. Saat suaranya menghilang, aku pasti akan lekas memutar tuasnya, menghidupkan kembali suara yang hampir sekarat, dan membuat piringan hitam berputar-putar seperti pedansa andal.

Meskipun kesal dengan suaranya, tapi gramofon itu adalah satu-satunya barang yang Rinie buat khusus untukku. Dia bilang, dia sangat suka mendengarkan musik yang mampu mengiringinya berdansa. Ia juga suka mendengar seseorang bernyanyi hingga menyentuh hatinya.

Dulu, saat kami masih tinggal bersama di Baford, ia akan mengajakku melihat pertunjukkan penyanyi baru yang sering diikuti macam-macam ras dari benua lain. Ia akan mengharu biru setiap kali ada bakat asing yang mampu memanjakan telinganya.

Pada akhir acara, ketika musik dansa dimainkan, Rinie akan menggandeng tanganku. Dengan wajah ceria yang berminyak, ia akan menggerakkan kedua kakinya seirama lagu. Bahkan sebagai kekan yang jarang mau berinteraksi di keramaian, yang hanya tau menancapkan senjata di jantung orang lain, aku tidak bisa melepas genggaman Rinie begitu saja.

Kami akan berdansa, berputar-putar di lantai balok yang tidak rata. Rinie tertawa, dan aku terpesona.

Selalu begitu, selalu begitu bertahun-tahun lamanya.

Akan tetapi, sekarang yang kulakukan hanya mengenakan pakaian biru. Bahkan setelah pergi dari Baford, pakaianku selalu berwarna biru.

Rekan-rekanku bilang, pakaian biru tidak cocok untuk seorang kekan. Warna itu terlalu cerah, terlalu menarik mata, sehingga akan menyulitkanku setiap kali melakukan misi.

Lalu, apa peduliku?

Setelah Rinie tiada, yang ingin kukenakan hanya warna biru, warna pakaian yang bagi orang-orang di Alterium adalah lambang untuk berduka. Sebab nyatanya, memang aku sedang berduka. Meskipun sudah lima tahun berlalu, aku terus menerus berduka.

Pemandangan berbunga-bunga di kaki gunung Enyll sama sekali tidak mampu membuatku ingin mencoba warna baru.

Apalagi dengan sebuah surat di atas meja yang sedari malam terus menerus kubaca dengan pikiran mengawang, kegelisahanku bertahun-tahun yang kucoba lepaskan, kini kembali menghujam.

Itu adalah surat dari kepala desa, yang mengutusku untuk pergi ke Alterium dan melihat kondisi yang sedang terjadi. Lebih spesifik lagi, di antara para kekan yang diutus untuk menjadi mata-mata, dia dengan sengaja memberiku perintah untuk pergi ke Baford.

"Jika begini terus, kapan aku bisa mencoba pakaian dengan warna yang lain?"

.

.

.

Namun, meskipun dengan rasa enggan yang mendayu-dayu, aku tetap sampai di Baford.

Seperti tempat di benua Alterium yang lain, Baford pun terisi dengan bangunan-bangunan tinggi yang kusam. Asap mengepul dari berbagai sudut, dari berbagai mesin bergerak otomatis.

Hanya saja, tempat ini tidak sehidup dulu. Kota yang sedang sekarat ini menjadi sangat sepi dan dingin. Orang-orang yang selamat melarikan diri ke benua lain, itu pun hanya dari Pulau Ayre yang jauh. Sementara penduduk Baford sudah lenyap entah karena apa.

Sebenarnya, aku tidak begitu peduli. Urusan orang lain adalah sesuatu yang rumit untuk dicampuri, terlebih semua ini menyangkut keselamatan benua lain. Enggan sekali untuk bisa peduli. Namun, meskipun bukan untuk melakukan pembunuhan, bayaran dari kepala desa kali ini cukup menjanjikan. Setidaknya, aku bisa membeli beberapa tanaman beracun langka dari seorang kolektor jika misi pengintaian ini sukses kujalankan.

Bahkan, meskipun aku seorang melankolis yang selalu mengenang masa lalu, bayaran yang menggiurkan itu mampu menggerakkan kakiku sejauh ini.

"Uang adalah hal yang berbahaya."

"Kau juga berpikir begitu?"

Hah?!

Aku berbalik, menatap seorang gadis muda dengan tudung kepala berwarna coklat kusam.

Padahal, sejak tadi langkahku sudah sangat hati-hati, melewati tepian tembok dan bersembunyi di balik bayangan. Namun, apa-apaan ini? Mengapa ada gadis asing yang semudah ini berdiri di belakangku, menyapu cerah, dan bahkan tidak kusadari keberadaannya.

Merasa orang itu berbahaya, tanpa sadar aku pun menjauh dengan cepat.

"Tenang ... tenang, aku tidak akan menyakitimu. Aku juga ke sini, untuk melihat kondisi Alterium."

Aku hanya menyipitkan mata. Tanpa ingin peduli, aku berbalik, memilih bergerak dengan cepat dan menghilang dari hadapan orang asing itu.

Pada akhirnya, aku memilih bersembunyi di salah satu rumah penduduk, di sebuah kamar lantai dua yang sudah tidak ada isinya. Ini adalah kamarku di masa lalu, kamar yang sering digunakan Rinie untuk mengutak-atik besi. Bahkan dia juga membuat gramofon di kamar ini.

"Orang aneh ... orang aneh. Kenapa aku malah kembali ke tempat ini."

"Ooh, kau pernah ke sini? Apa dulu kau tinggal di sini?"

Mendengar seseorang tiba-tiba menimpali, aku pun reflek melangkah mundur. Sial! Mengapa aku selalu tidak bisa menyadari keberadaan gadis ini?! Bagaimana bisa ia tiba-tiba berdiri di sampingku seperti hantu.

"Kulihat, kau seperti punya banyak kenangan di sini?" tanya gadis itu seenak hati. Ia bahkan tanpa sungkan berjalan ke setiap sudut untuk melihat-lihat tembok yang wallpapernya sudah mengelupas karena lembap.

"Maaf saja, keberadaanmu membuatku kesal," ujarku.

Namun, gadis bertudung itu malah terkekeh ringan. Ia pun membuka tudungnya, memperlihatkan wajah bulat dan rambut pendek berwarna hitam. Matanya beriris coklat, dan bersinar paling terang di antara debu yang kusam.

"Ha ha ha, aku tidak bermaksud menakutimu. Kukira aku bisa bersamamu, mengingat kita di sini sama-sama orang asing yang sedang mencari petunjuk."

Tidak peduli, sama sekali tidak peduli. Orang yang seenaknya sok akrab begini, sangat membuatku jengkel.

"Aku Geara, siapa namamu?" tanyanya.

Menghela napas, akhirnya aku menjawab, "Hydo."

"Dari mana asalmu? Aku utusan dari Vultassa." Geara tak berhenti mengoceh. Jika tahu begini, seharusnya tidak kusebutkan namaku.

"Authere." Bodohnya, malah kujawab dengan jujur.

Tanpa meminta persetujuanku, Geara yang suka bertindak seenaknya itu kini dengan sangat santai membuka satu demi satu lemari kosong di dalam ruangan. "Authere adalah tempat yang bagus. Jika misi ini selesai, mungkin aku juga akan pergi ke sana. Apakah kau bersedia memanduku nanti?"

Aku hanya mendengkus, tetapi Geara malah terkekeh ringan, seolah menganggap sikap burukku ini suatu hal yang lucu. Ia pun kembali merecoki sudut-sudut kamar, dan akhirnya membuka kain penutup cermin yang terpajang di tembok. "Wah, cermin yang bagus," celetuknya.

"Memang cermin yang bagus, dan juga sangat bagus ketika memantulkan bayanganmu yang dipenuhi dosa dan rasa bersalah." Saat mengatakan hal itu, aku ada di belakang Geara. Berdiri dengan cengiran aneh yang aku sendiri pun merasa sangat asing.

Geara tampak terpaku di depan cermin, tidak dapat bergerak seperti orang yang hilang kewarasan.

Tanpa bisa kukendalikan, mulutku kembali bicara. "Oh, bukankah itu kau yang melumuri tanganmu dengan darah dan tangisan teman-temanmu? Gara-gara kau yang keras kepala, teman satu regumu harus mati ketika berburu. Sedangkan kau, yang menjadi momok dari semua masalah itu, malah selamat dan bisa hidup sampai sekarang? Keterlaluan, sangat keterlaluan."

Sial, siapa yang membuatku bicara seperti itu. Tidak, tidak, aku tidak ingin bicara begitu. Bahkan aku tidak tahu masa lalu Geara, mengapa aku bisa seenaknya mengucapkan kalimat yang sangat sok tahu.

"Tidak punya perasaan. Lihatlah orang tua teman-temanmu sekarang. Mereka depresi dan hidup dengan suram. Bahkan ayah dan ibumu harus menanggung hinaan karenamu. Mengapa kau bisa semudah ini berjalan-jalan dan menikmati sisa hidupmu? Tidak punya perasaan."

Itu pasti bukan aku, itu bukan aku.

Yang bicara di dalam cermin adalah rupaku, tetapi mengapa aku tidak memiliki kendali atas diriku sendiri?!

Apalagi, sekarang yang kulihat adalah Geara dan tangisannya yang begitu pilu. Gadis itu terus menangis dan menangis, sedangkan diriku terus meracau seperti kerasukan.

Ini seperti ... seperti ketika Rinie menemui ajalnya. Yang kulakukan pada Geara, sangat mirip dengan yang terjadi pada Rinie beberapa tahun silam.

Aku ... aku tiba-tiba bicara dengan aneh. Bicara dengan penuh hasutan dan bisikan mematikan.

Semua itu terjadi setelah beberapa tahun lalu aku dan Rinie mengejar meteor jatuh sampai ke hutan. Kami yang memang biasa bersenang-senang dengan melakukan hal-hal seperti itu, tentu tidak berpikir panjang ketika melakukannya.

Akan tetapi, batu meteor yang jatuh saat itu sama sekali tidak berupa batu. Bentuk fisiknya telah habis terbakar dan meninggalkan gumpalan asap berwarna hitam.

Akulah yang menyentuh asap tersebut sampai akhirnya menghilang.

Lalu, lalu beberapa hari setelahnya ... aku menjadi sering bicara aneh pada Rinie. Aku selalu membisikkan hal-hal yang menyakitkan di telinganya. Padahal kesadaranku tidak menghilang, tetapi tubuhku bergerak tanpa bisa kukendalikan.

Hanya ketika Rinie memutar gramofon untuk menenangkan hatinya, kesadaranku biasanya akan kembali seperti semula.

Namun, itu sudah bertahun-tahun silam. Kukira, aku sudah tidak seperti itu lagi. Namun, mengapa aku kembali seperti ini?

Sejak kapan aku berhenti menjadi aneh? Apakah karena setiap hari kuputar gramofon yang diberikan Rinie sehingga kesadaranku lebih terkontrol?

Apakah karena aku ke Alterium dan meninggalkan gramofon di rumah, sehingga kini aku jadi seaneh ini?

Apa ... apa yang harus kulakukan sekarang?

Mungkinkah, kerusakan yang terjadi padaku, sama halnya dengan 'sesuatu' yang merusak Alterium?

Jika benar, aku harus bagaimana? Aku harus bagaimana?

Bahkan aku tidak bisa menghentikan Geara yang kini berdarah-darah. Seluruh lubang di tubuhnya mengeluarkan darah.

Di mana, di mana gramofon pemberian Rinie? Aku membutuhkan itu sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top