Chapter 9. Stasiun Hijau

Selama perjalanan berkali-kali kunyalakan bel sepeda dengan jempol kiriku. Hal itu memang sengaja kulakukan walau tanpa alasan.

"Ngapain coba? Kaya yang baru liat bel atau jangan-jangan ...." Firma tak melanjutkan perkataannya.

"Jangan-jangan apa?"

"Di zamanmu bel sepeda belum ada?"

Segera aku menambah kecepatan dan menabrakan sepeda yang kukendarain ke polisi tidur yang ada di jalan.

"Aww!" ringgis Firma. "Sakit tau!"

"Ya kali tahun 2016 belum ada bel sepeda.
Pak Habibie bisa-bisa nangis di balik rerumputan."

"Jangan bawa-bawa nama pak presiden. Gak ada hubungannya sama dia dan kau yang keliatan norak banget sampe ngebunyiin berkali-kali."

Aku hanya mendengus kesal dan menambah kecepatan kembali.

"Aww ... sakit!"

"Sorry deh kalau aku emang agak ... aw!" Tanpa kudadari terdapat polisi tidur yang tidak sengaja kutabrak

"Kau ...."

"Ahh itu gak disengaja. Sumpah gak nyadar ada dua polisi tidur maaf," belaku yang memang kejadian kedua itu di luar rencanaku.

Firma hanya cemberut melihatku.

"Lucu juga liat kamu cemberut," tambahku lagi.

"Lucu ya? Emang aku lucu kok orangnya, cantik lagi!" ujar Firma sambil tertawa pelan.

"Idih, ada kaca gak dirumah? Ngaca dong ngaca," ejekku sambil mencibir.

"Udah ah, berisik! Fokus aja kedepan! Jangan sampe nabrak polisi tidur lagi! Kalau sampe nabrak lagi ...," ujar Firma sambil memperlihatkan telapak tangan kirinya yang mengepal hingga menimbukan suara "kretek".

Aku terdiam melihat kepalan tangan Firma dan hanya menelan ludah.

"Paham?"

"Pa-paham-paham!" jawabku seraya mengangguk cepat.

Di tengah perjalanan, memang terasa berbeda bagiku. Bahkan aku yang bukan asli Jakarta atau Betawi pun bisa mengetahui perbedaannya. Jakarta sangatlah nyaman. Mobil dan motor cukup senggang berlalu lalang, hanya berkisar dua puluh mobil sejauh mata memandang. Begitu pula kendaraan roda empat berplat kuning dan transJakarta yang begitu sering aku dapati. Bahkan pengguna sepeda sepertiku juga cukup banyak dan melaju di tempat terpisah. Di tengah perjalanan, aku melihat ada orang yang tengah sibuk di depan bangunan berwarna hijau itu.

"Fir?" tanyaku. "Itu lagi ngapain?"

"Mana? Ah itu lagi mau nyewa sepeda."

"Sepeda?"

"Iya, beberapa kota sekarang tengah dilakukan sosialisasi 'Sepeda hijau' oleh pemerintah, beberapa kota lainnya sudah di aplikasikan. Jadi setiap radius 10 km akan ditemukan 'Stasiun Hijau' nah itu yang disebut Stasiun hijau," jelas Firma, "ini juga sepeda hijau yang aku sewa."

"Ini pink bukan ijo," celetukku pelan yang hanya dibalas cekikikan Firma.

"Tapi lumayan lho, banyak turis asing yang menggunakan ini juga. Makannya selain MRT, sepeda hijau juga sering digunakan oleh turis asing."

"Lho tunggu, mereka kan gak punya E-KTP?" tanyaku pelan, "ah maksudku KTP-E."

"Mereka pakai passport biasanya, dengan membayar berkisar Rp12.000."

"Maksudnya?"

"Kalau emang mau pakai ke perpustakaan maka kalau udah sampai ya diberikan kembali ke stasiun hijau terdekat."

"Rugi dong?"

"Iya, makanya kebanyakan turis ngambil paket."

"Paket?"

"Iya ada paket yang satu hari full, ada yang satu minggu full, ada yang satu bulan full."

"Bedanya?" tanyaku lagi.

"Sama aja sistemnya, kalau abis pakai simpan, bedanya pas mau ngambil gak usah bayar lagi."

"Oh ...." Aku mengangguk paham sambil membayangkan apa yang dibicarakan Firma, "Eh, kalo kamu ngambil yang mana?"

"Aku? Akukan WNI, gratis lah!"

"Gratis?"

"Iya dong!" jawab Firma cepat.

Mendengar jawaban Firma yang cepat aku menghela nafas. "Perasaan makmur banget ya, sepeda gratis, transportasi murah, biaya rumah sakit ditanggung pemerintah ... kok bisa sih?"

"Entahlah, mungkin karena 'Gunung Emas' Irian dikelola oleh anak-anak Indonesia sepenuhnya."

"Bentar 'gunung emas' itu pertambangan yang ada di Papua itu ...."

"Iya bener!" ujar Firma memotong perkataannku. Aku seketika mengerem sepedanya sehingga Firma terperosok kedepan dan menabrak punggungku.

"Serius itu yang di Papua dikeola anak Indonesia?"

"Iya ... aduh sakit nih dahiku. Oh iya, disini juga kamu harus biasain buat bilang Irian, bukan Papua."

"Emangnya?"

"Irian itu kepanjangan dari Ini Republik Indonesia Anti Netherlands."

"Aku baru tahu. Tapi soal itu bener serius?"

"Iya ... ah! Pasti zaman kau masih ada ikatan kontrak ya?" tanya Firma.

Aku hanya mengangguk.

"Ketahuilah sekarang rakyat Indonesia lebih dihargai baik di dunia maupun di negaranya sendiri. Bahkan, kalau ada perusahan asing yang hendak berusaha di Indonesia ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya pajak lebih besar 4%."

"4% bukannya kecil?"

"Maksudku misal, perusahaan A pajaknya sekitar 30%, ditambah dengan 4% yang tadi menjadi 34%. Bagian itu digunakan untuk membantu saudara kita yang terkena musibah atau sejenisnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Terus penggunaan robot hanya boleh 30% dari sistem kerja mereka, maka 70% dari sistem kerja mereka menggunakan tenaga manusia yang berasal dari Indonesia."

"Buruh maksudmu?"

"Iya, sehingga lapangan kerja terbuka lebar. Tidak lupa ada badan lain yang mengawasi limbah juga turut diperhatikan. Dan untuk perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam seperti pohon, maka diwajibkan melakukan penanaman satu juta pohon diberbagai titik," jelas Firma. "Entah kenapa kebanyakan perusahaan asing itu menyanggupi semua syaratnya itu dan beberapa tahun kemudian mereka mengaku senang dengan konsep yang negara kita berikan."

"Hmm ... terus terus?"

"Ya, intinya mereka mengaku senang melakukan kerja sama dengan negara kita. Banyak perusahaan yang ingin bekerja sama, tapi semua harus lulus seleksi juga."

"Seleksi?"

"Iya, semacam tes awal mungkin. Entahlah. Pabrik-pabrik juga di turut diperhatikan, lho! Setiap pabrik didirikan sejauh radius 10 km dengan proses dan pembuangan limbah yang sangat ketat. Aku hanya tahu kulitnya aja, itu pun kutahu saat aku masih menginjak bangku SMA. Jadi, jangan nanya yang aneh-aneh kau! Aku gak tahu detailnya."

"Hmm," keluhku sambil melihat kesekeliling. Memang terasa lebih nyaman dengan kondisi sekarang. Tiba tiba terdengar suara gaduh dari atas.

"Tuh MRT lewat," ujar Firma pelan.

Aku segera menengok ke atas dan melihat MRT berwarna merah putih. "MRT ya," ujarku sambil tersenyum pelan. "Eh," ujarku tersadar akan hal ganjil. Jalur MRT perasaan cuma jalur pusat atau jantung kota deh. Kok bisa ngelewat ke Kampung Rawa ya? Aku berguman dalam hati.

"Rumahmu kan kalau gak salah di Kampung Rawa ya?"

"Iya."

"Terus kenapa jauh ya? perasaan Kampung Rawa deket deh. Lagian kok bisa nemu MRT di jalur yang bukan jantung kota Jakarta."

"Iya emang sengaja kita ke bundaran HI[1] dulu, 'kan aku peka kamu pengen liat MRT."

Sekita aku menangkap rem depan dengan tangan kananku.

"Aduh kenapa sih?"

"Hapemu mana?" Firma segera memberikan handphoneya, dengan cepat aku membuka aplikasi Google Maps di handphonenya untuk mencari kantor Kecamatan Johar Baru sebagai patokan.

"Serius!" gumamku tak percaya melihat jarak yang harus kutempuh.

"Yasudah, kita ...."

"Diem! Pegangaan yang erat!"

"Eh tunggu-tunggu!"

***

Catatan:
[1]HI = Hotel Indonesia

Dipublikasikan pertama kali :
6 Juni 2016
Dengan sedikit perubahan :
19 Agustus 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top