Chapter 8. Tamparan
"Jadi, tadi tuh bukan kakak kau?"
Aku menghela napas dan menggelengkan kepala. "Apa dia udah pindah ya?" tanyaku.
"Hmm, mungkin aja sih, toh kejadiannya, 'kan kau berasal dari 2016, dan sekarang kau di 2046. Ada beberapa kemungkinan kenapa kakak kau itu tak tinggal di sana seperti pindah atau sejenisnya dan mungkin kakak kau juga ...." Firma tidak melanjutkannya lagi. "Kau paham kan maksudku?" tanya Firma.
Aku hanya diam memaknai keadaan ini.
Firma segera bangkit, dan meregangkan badannya "Aku mau beli minum, kau mau apa?"
"Terserah," jawabku singkat.
Firma terdiam mendengar jawabanku yang sedikit tidak peduli. Beberapa detik kemudian, Firma meninggalkan aku sendiri di taman tanpa sepatah kata pun.
Aku merenung dan bertanya pada diriku sendiri di bawah naungan pohon rindang di taman. Berbagai macam spekulasi dan alasan melintas di benakku. Aku meraba kembali pipi kiriku bekas tamparan Firma.
Benarkah ini nyata? Lalu kenapa bisa seperti ini? Bagaimana aku bisa kembali? Bagaimana dengan diriku di 2016? Atau ini dunia paralel? Apakah aku memang tertidur selama 30 tahun? Lalu di mana kakakku? Apakah dia masih hidup? Kalau masih hidup, di mana dia tinggal? Lalu .... Jawaban dari setiap pertanyaan itu terus memunculkan pertanyaan lain yang membuatku pusing dan otakku menjadi kusut. Beberapa kali mencoba menjawab tapi semuanya tak masuk akal. Bahkan pertanyaan awal pun tak bisa kujawab dengan pemikiran logis.
Kenapa aku bisa ada di 2046?
Memang ada metode dalam dunia kedokteran yang intinya membekukan tubuh pasien dengan menaruh bongkahan es diseluruh tubuhnya dan diturunkan sampai lima belas derajat celcius guna menurunkan sistem metabolisme tubuh pasien. Tapi kayaknya gak mungkin sampai 30 tahun aku tertidur, gumamku pelan. Walau dalam Film Captain America itu benar adanya.
Alasan lain muncul yang kukaitkan dengan cerita guru agamaku dulu, yaitu Ashabul Kahfi. Dimana singkat cerita ada tujuh pemuda beragama Islam yang dikejar-kejar oleh pasukan Raja Diqyanus untuk dibunuh, sebab mereka tidak mau menyembah berhala. Lalu mereka bersembunyi di dalam gua. Atas kuasa dan kehendak Allah, mereka ditidurkan begitu lama sampai 309 tahun. Mereka terbangun seperti layaknya bangun semalam, dan ketika mereka merasa lapar, seseorang dari mereka bernama Tamlikha memberanikan diri untuk keluar dan membeli makan dengan membawa uang tiga dirham.
Tamlikha tidak menyadari jika ia dan saudaranya telah tertidur selama 309 tahun. Hal itu membuatnya sedikit bingung dan terjadi salah paham antara Tamlikha dan penduduk sekitar termasuk Raja yang memimpin di zaman itu. Setelah di jelaskan secara perlahan, tersadarlah mereka kalau mereka terbangun di zaman yang berbeda. Tamlikha segera kembali ke saudara-suadaranya membawa kabar jikalau Diqyanus telah wafat dan mereka hidup di zaman yang berbeda. Namun di akhir cerita dan atas izin Allah pula mereka wafat atas tanpa rasa sakit pada hari itu juga.
Aku memang mempercayai cerita Ashabul Kahfi, tapi aku berbeda seperti para sahabat Kahfi. Aku hidup pada tahun 2016, tidak merasa terancam atau status Islamku membahayakan nyawaku. Tidak ada pula segelintir orang yang hendak membunuhku, lantas kenapa Allah hendak menidurkanku? Aku menari dengan diri sendiri di atas pertanyaan atas peristiwa yang aku alami hingga tak sadar ada sesosok orang yang memerhatikanku.
"Kenapa?" tanya Firma yang duduk di seberangku.
"Ah, enggak." Firma hanya memandangku sambil meletakan beberapa makanan ringan dan minuman dari kantong kainnya.
"Tuh makan," ujar Firma sambil menaruh sekantong kain berwarna hijau. Terlihat beberapa jenis makanan ringan dengan hal berbau cokelat didalamnya.
"Kok banyak makanan berbau cokelat?" tanyaku pelan.
"Ah, itu karena aku lagi pengen ngemil cokelat, jadi ya pengen aja. Kalau kau mau ambil aja, kau tahu aku sangat menyukai cokelat. Bahkan dulu aku sempat membeli ...." Firma asyik bercerita tentang dirinya yang putus cinta dan sesekali menggaruk-garuk hidungnya.
Bohong, batinku pelan. Seseorang yang berbohong menurut buku yang pernah kubaca, secara reflek akan menyentuh bibir dan area di sekitar mulut mereka. Tujuannya adalah menutupi mulut dari lawan bicara. Mungkin memang ini untukku, gumanku dalam hati. Payah, malah bikin khawatir orang lain.
Beberapa penelitian mengatakan cokelat mampu menghilangkan rasa sakit di psikis kita dan itu memang benar. Beberapa kali akupun sengaja mengemil makanan yang berbau cokelat untuk menenangkan emosi dan pikiranku.
"Nih buat kau," tambahnya lagi seraya meletakan coffee kalengan di depanku.
Aku hanya terdiam, memandang dalam-dalam mata Firma. Kulihat ia tengah asyik melahap coklat batangan yang dia beli barusan.
"Mau? Ambil aja," ujar Firma yang sadar tengah diperhatikan olehku.
"Ngapain sih ...."
"Hah? Apa?"
"Pengen ngemil coklat? Gak usah bohong deh."
"Kau ngomong apa, sih?"
Aku tertawa sejenak menyadari betapa menyedihkannya aku. "Mari kira sudahi saja."
"Hah? Maksudnya?"
"Mungkin benar ini hanya mimpi."
"Hey, kau ngomong apa sih?"
"Firma, boleh minta tolong?"
"Apa?"
"Tampar aku lagi, yang lebih keras."
"Hah?"
"Tampar aku."
"Gak."
"Tampar."
"Kau kenapa sih?"
"Cepat! Tampar aku!"
"Kau gila ya?"
"IYA!!! GUE GILA!! GUE STRESS!!!" Aku berdiri dan melotot ke arah Firma. Terlihat Firma begitu kaget mendengan teriakanku, kupandang raut wajahnya berubah sedikit takut.
"Hey, kenapa? Tenang Dik."
"TAMPAR GUE!"
"Dik ...."
"TAMPAR GUE!"
"Hey, Dik tenang ...."
"TAMPAR GUE ...." Aku tergeming. Sebuah telapak tangan dengan cepat memberikan gaya yang cukup besar ke arah pipi kiriku, sehingga memaksaku untuk berhenti melanjutkan ocehanku.
Sebuah tamparan yang kuinginkan itu tidak menimbulkan rasa sakit yang berarti. Namun, kurasakan sebuah jarum yang terus menghujani berkali-kali di dada sehingga membuatku merasa sakit. Terlintas ada timbul pertanyaan, organ apa yang terasa sakit hingga membuatku takut untuk merasakannya lagi. Sekilas, kulihat raut wajah Firma yang kesal kepadaku sesaat setelah tangannya menyetuh pipiku. Bulir air matanya mencuat, membentuk parit kecil yang bermuara di dagu putihnya.
"KAU NGAPAIN SIH? HAH! KAU TUH INGIN MARAH TAPI GAK TAHU HARUS MARAH KE SIAPA, 'KAN?"
Aku tertunduk diam tak menjawab pertanyaan Firma. "Pergilah, pulanglah ... kamu sudah mengantarkanku ke sini. Kamu tak perlu memberikan bantuan apapun kepadaku."
"APA MAKSUDMU?"
"Aku baik-baik saja."
"APANYA YANG BAIK-BAIK SAJA! KAU ITU TAK TAHU MENAHU DENGAN KEADAAN KAU SEKARANG! KAU BAHKAN TAK BISA MELAKUKAN APA APA SEKARANG!"
"Kumohon."
"MANA MUNGKIN AKU BISA MENINGGALKANMU!"
"Pulanglah."
"CK!" Firma segera mengambil minumannya dan pergi meningalkanku di taman. Aku berdiri terdiam menerima semua hal yang terjadi saat ini.
Benar ini yang terbaik, ujarku dalam hati. Aku tak perlu membuatnya repot, aku tak mau tergantung padanya. Semua masalah biarkan aku yang menanggungnya, bukankah Tuhan memberikan cobaan kepada hamba-Nya yang sesuai dengan kemampuan hamba-Nya? Aku berdiri dengan tangan mengepal di samping pahaku, tak terasa setetes air mata membahasi pipiku.
"Bodoh ... bodoh ... bodoh ... ini yang terbaik bodoh! Jangan cengeng!" Hujan. Bagaikan hujan di tengah teriknya matahari, air mata ini keluar di saat yang salah. Terbesit rasa penyesalan karena mengucapkan hal yang tak pantas kepada perempuan yang dengan tulus membantuku. Perempuan yang selalu hadir dengan senyum mengembang saat terbaring di rumah sakit. Bukan ucapan tadi yang pantas kuucapkan padanya, tapi ucapan maaf dan terima kasih yang harus dia dengar.
"Tuhan ... maafkan hamba-Mu ini, adakah kesempatan kedua aku untuk bertemunya?" Angin menerpa wajahku dan meniup begitu kencang, membawa seripihan debu tak kasatmata sehingga aku berpaling ke arah berlawanan. Sekilas kudapati seorang wanita tengah duduk di sepedanya.
"Hey kau!" teriaknya. "Setidaknya tanggung jawab dong! Anak orang udah mau nganterin ke rumah kakak kau itu, masa disuruh pulang sendiri! Antarkan aku pulang, kau yang pakai nih sepeda! Aku akan duduk dibelakang!"
Aku hanya terdiam memandang sosok perempuan itu. Sepertinya Tuhan telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan dirinya. Ya, inilah takdirku. Aku percaya Engkau punya rencana lain dalam hidup hamba-Mu ini, segera aku melangkah mendekati dirinya. Jika aku memang harus terlempar ke tahun ini, atau bahkan zaman penjajahan sekali pun, aku percaya Engkau selalu punya rahasia di balik setiap rencana.
"Fir soal yang tadi ...."
Plak!
"Aku minta maaf ...
Plak!
"Fir maukan kamu ... maafin aku." Aku memejamkan mataku bersiap untuk bersiap dengan tamparan berikutnya, tapi tak ada tangan yang mendarat di pipiku. Kubuka perlahan-lahan mataku dan melihat Firma tengah menatapku dengan raut muka yang kesal, terlihat sedikit matanya berkaca-kaca.
"Nih helm-nya! Cepet buruan ah, entar keburu hujan lagi!" ujar Firma sambil duduk di kursi belakang.
Aku tersenyum melihatnya dan segera menaiki sepedanya. "By the wah, Fir ... kok semuanya dari helm sampai sepedanya warnanya pink?"
Plak!
***
Dipublikasikan pertama kali :
5 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan :
15 Agustus 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top