Chapter 6. Berbeda

"Waw!" teriakku seraya melihat pantulanku di kaca. Sebuah kemeja lengan pendek bermotifkan baju tentara, celana jeans hitam, dan cardigans hitam berbentuk jas melekat di tubuhku. Dengan langkah mantap, aku melangkah keluar dari toilet layaknya seorang tentara.

"Fir! coba ...." Aku terdiam menyapu setiap sudut ruangan. Namun, sepertinya Firma belum kembali dari urusan pribadinya.

Pandanganku berhenti tatkala aku melihat objek tinggi dengan puncak berwarna emas dari balik jendela. Walau aku hanya bisa melihat sebagian—karena cukup jauh—aku mampu mengenali objek tersebut. Tugu yang menjadi kebanggaan rakyat Indonesia—khususnya masyarakat kota Jakarta—hasil karya Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono : Tugu Monas. Samar-samar, kulihat pantulan sosok wanita di jendela yang datang menghampiriku dari belakang.

Aku berbalik dan melihat Firma tengah memandangiku dari bawah sampai atas. Sejenak aku terhenyap melihat teman ruangannku. Sosok yang hampir beberapa hari bertemu dan bercengkerama, kini tengah berdiri dengan anggun di depanku.

Kini, Firma terlihat begitu berbeda. Kerudung biru tua yang digelung melingkari lehernya, menambah aura kecantikannya. Di bagian atasnya, terlihat satu jarum pentul yang membuat kerudungnya—tampak dibiarkan—jatuh menutupi tengkoraknya. Tidak lupa kemeja kotak-kotak biru, cardigan panjang hitamnya, dan terusan rok berwarna gelap, ikut berpartisipasi dalam memberikan kesan "berbeda".

"Wah, baju kau mirip tentara!"

"Ah, apa?" tanyaku yang yang tidak fokus dengan perkataannya.

"Itu soal baju kau. By the way, gimana aku? Cantik, gak?"

"Lu-lumayan," jawabku pelan sedikit ragu seraya mengalihkan pandanganku.

"Yey! Tegas dong! Lagian gak ada kata lumayan juga," protes Firma seraya melepaskan sandal rumah sakit dan memakai sepatunya.

"Lho? Aku kira itu rok, ternyata celana panjang?"

"Lagi trend model beginian, lagian dikasihnya emang begini, ya sudah terima aja. Bener, 'kan?"

Aku mengangguk pelan.

"Assalamualaikum," sapa kakak suster sambil memasuki ruangan kami, "udah siap?"

"Udah kak," jawabku pelan.

"Sip! Semoga gak terjadi kecelakaan lagi, ya. Oh iya, tahu 'kan nanti harus ke mana?" tanya kakak suster itu sambil membenarkan kacamatanya.

Firma mengangguk pelan seraya mengikat tali sepatunya.

"Baiklah, selamat jalan dan hati-hati juga." Aku mengangguk pelan dan kembali melihat Firma yang—masih—mengikat sepatunya. Tidak lama kemudian, Firma segera berdiri dan berpamitan ke kakak suster. Begitu pun denganku.

"Fir," bisikku pelan, "emang kamu tahu kita bakal ke mana?"

"Tahu lah, kita ke operator di lantai ini."

"Buat?"

"Ngambil barang-barang kita dulu lah," jawab Firma singkat.

Oh iya bener juga, gumamku sambil menepuk jidatku. Tidak sampai dua menit aku dan Firma sampai di sebuah tempat dengan beberapa kursi berjajar. Di depannya, terdapat sebuah meja berbentuk setengah lingkaran berwarna putih dengan nuansa merah turut mempercantik tampilan meja. Sebuah tulisan "Operator & Staff" terpampang jelas dan besar di atas meja.

"Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang wanita ramah.

"Kami ingin mengambil barang pasien," jawab Firma pelan.

"Baik. Nomor ruangannya, maaf?"

"12-C5."

"Baik, mohon ditunggu sebentar ya, silahkan duduk," ujar operator sambil mempersilahkan kami untuk duduk. Aku dan Firma segera duduk di tempat yang disediakan.

"Fir ... ngambil barangnya gini?" bisikku pelan.

"Iya, emang gimana lagi?"

"Kalau gitu, 'kan gampang kalau orang lain yang pura-pura jadi kita ngambil?"

"Gak bakal ini lah. Lagian ada CCTV ini," jawab Firma sambil menunjuk beberapa CCTV yang ada di pojok-pojok lantai ini.

"Ya, tapikan ...."

"Saudara Maulana dan Firma dari 12-C5!" panggil wanita itu lagi. Segera aku menghentikan perkataanku. Firma dan aku segera berjalan menghampiri meja operator. "Ini, silahkan diperiksa terlebih dahulu barang-barangnya," ujar wanita itu sambil menyerahkan dua dus kecil kepada kami.

Aku dan Firma memeriksa kelengkapan barang kami masing-masing. Aku mengangkat satu alisku kala menyadari dompetku hilang. Namun, sejenak aku teringat akan penjelasan Firma jika kepolisian pun tidak menemukan dompet di sekitar kejadian. Kayanya ada orang yang lewat terus ngambil dompetku saat aku masih pingsan di sana.

"Baiklah, lengkap!" jawab Firma mantap.

"A ... aku juga."

"Mohon untuk menunjukan KTP-E-nya[1] masing-masing," ujar wanita itu.

KTP-E? tanyaku dalam hati. Kulihat Firma mengeluarkan KTP-E miliknya. Wanita itu dengan sigap meng-scan KTP-E itu dan kembali menatap komputer hitam di bawah meja. Oh ... E-KTP toh? gumamku.

"Baik, ini terima kasih. Lalu, saudara Maulana?" tanya wanita operator lagi.

"Ah maaf, sepertinya saya kehilangan dompet saya."

"Lho? Tadi katanya lengkap?"

"A ... maksudnya, saya kehilangan dompet itu ketika kecelakaan. Kebetulan E-KTP saya juga tidak ada."

"E-KTP?"

"E-KTP."

Wanita itu mengangkat satu alisnya. "KTP-E?"

"Iya itu," jawabku.

"Kalau begitu, sistem pembayarannya pakai cash ya?"

"Pembayaran? Hubungannya sama E-KTP?" tanyaku sedikit bingung. Wanita itu mengerutkan dahinya, kembali. "Ah maksud saya KTP-E?"

"Bagi pasien yang dirawat bisa menunjukan KTP-E dan terdaftar di database kependudukan di pemerintah, maka semua biaya rumah sakit yang sesuai persyaratan dan kondisi ditanggung oleh pemerintah."

Aku dan Firma saling pandang satu sama lain.

"Cash-nya berapa?" tanyaku pelan. Dengan sigap wanita itu segerap mengotak-atik komputer yang ada didepannya. Tak lama sebuah kertas kecil seperti struk harga mencuat dan diserahkan kepadaku. Aku terdiam melihat nominal yang tertulis. Jujur, nominal ini tidaklah besar, tapi dengan keadanku yang bahkan dompetku hilang termasuk nominal yang besar. Ditambah kartu ATM milikku pun—yang ada di dompetku—ikut menghilang.

"Gimana Dik? Ada gak? Kalau enggak ...."

"A–anu kak," panggilku kepada wanita yang tengah memperhatikanku. "Boleh saya memberitahu keluarga saya terlebih dahulu?" tanyaku sedikit ragu-ragu. Ia hanya mengangguk pelan.

"Kenapa?" bisik Firma.

"Aku gak punya duit! Jadi mau minta kakakku kesini, buat bayar."

"Ya sudah kalau gak ada biar pake ...."

"Saudara Maulana!"

"Ya!" jawabku cepat sekaligus kaget karena lagi-lagi namaku dipanggil oleh operator.

"Pembayarannya sudah ditanggung oleh dokter yang merawat anda."

"Dokter?" tanyaku bingung. Kulirik Firma namun raut bingung tergambar di wajahnya. "Maksudnya?"

"Iya, untuk pasien bernama Maulana semua pembayaran ditanggung oleh dokter yang merawat anda."

Aku mengangguk pelan walau rasa bingung masih menghantui pikiranku.

"Baiklah, semoga lekas sembuh, terima kasih atas kepercayaannya kepada kami." Aku dan Firma mengangguk bersamaan dan kembali berjalan ke arah Lift.

"Dokter itu baik banget mau ngebayarin kau," ujar Firma.

"Itu serius?" tanyaku memastikan.

"Iyalah! Kau pikir itu bercanda?" Aku mengangguk pelan mulai paham akan situasi yang terjadi.

"'Mungkin," ujarku sejenak terhenti sambil melihat Firma, "rejeki anak sholeh," tambahku sambil tertawa, "oh sebentar." Aku segera berlari kecil ke operator.

"Permisi, boleh saya tahu di mana saya bisa menemui dokter yang membayar saya?" Tampak wanita yang menanganiku tadi sedikit bingung. "Ah, maksud saya, yang membayar pembiayaan saya?"

"Oh, beliau sedang berada di Bandung."

"Oh ... baiklah, terima kasih." Aku segera berjalan ke arah Firma yang tengah berdiri di depan Lift.

"Ngapain?" tanya Firma sambil
memijit tombol lift dengan tangan kanannya. Sekilas kulihat sebuah cincin melekat di jari tengahnya dan sebuah jam tangan putih di pergelangan tangannya.

"Abis minta informasi buat dimana bisa bertemu dengan dokter itu. Mau ngucapin terima kasih, tapi lagi di Bandung."

"Ya sudah kenapa gak telepon aja? Kau 'kan dikasih nomornya."

Ah, iya bener juga, aku segera mengambil handphoneku lalu berusaha mencari-cari kertas nomornya. "Dimana ya?" kataku sambil meraba.

"Memang kau simpan dimana?"

"Di saku celana ... pasien."

"Sudah kuduga."

"Arghh... malah lupa gak diambil, bego banget."

"Udah-udah doain aja semoga si dokter dikasih kesehatan dan rejeki yang lebih besar."

"Aamiin." Tak lama pintu lift terbuka, aku dan Firma segera masuk. Kita di lantai dua belas toh, gumanku dalam hati sambil melihat angka yang menyala di lift bersamaan dengan itu Firma memijit lantai dasar.

Kucoba menghubungi Kakakku, namun berkali-kali nada pemberitahuan bahwa nomor tujuan tidak ada. Hingga tanpa kusadari pintu lift terbuka. Aku segera mengekori Firma berjalan keluar dan berhenti di luar RSNI. "Kita ke rumah kakak kau pake Taksi aja ya?"

"Eh? Tunggu? Bukannya mahal ya?"

"Murah kok, cuma Rp20.000," jawab Firma. "Taksi!" teriak Firma memanggil taksi yang lewat tanpa mempedulikan nasihatku.

"Ayo masuk!" Aku mengangguk dan mengikuti perkataannya.

"Kenapa bisa murah banget taksinya? Lagi ada promo?" bisikku kepada Firma.

"Ish, bukan, tapi emang sesuai harganya."

"Lah ... 'kan bensin mahal?"

"Orang gak pakai bensin. Taksi 'kan sekarang ada yang pake energi matahari, ada yang pake air, banyak sih, jadi gak mahal kan?"

"Tunggu, bukannya mahal buat beli mobil gitu?"

"Mobil ramah lingkungan ini semuanya milik pemerintah, kita cuma membayar dari hasil pendapatan kita per harinya sebesar 30%. Tapi, memang ada sih beberapa perusahaan swasta yang mulai beralih ke mobil ramah lingkungan," jawab Firma.

Aku mengangguk paham. Rupanya Jakarta sudah berubah ya, gumamku pelan sambil melihat jalan.

"Semenjak beberapa tahun terakhir, khusus kendaraan transportasi umum di darat lebih dimaksimalkan di beberapa kota seperti bus tingkat, transJakarta, angkot, taksi, apalagi bajaj sebab itu ada daya tarik tersendiri khususnya bagi turis."

"Ya, benar! Pertama kali aku naik bajaj juga seru," ujar sambil tertawa. "Tapi bajaj juga yang kadang bikin macet."

"Yang bikin macet itu bukan bajaj, tapi kendaraan pribadi yang membludak. Ditambah sistem kredit membuat mereka lebih mudah untuk mendapatkan kendaraan pribadi. Tapi sekarang lebih ketat."

"Ketat gimana? Perasaan masih sama ah."

"Orang satu keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu kendaraan roda empat dan dua kendaraan roda dua. Jika mereka memiliki lebih dari ketentuan, pajak akan naik tiga kali bahkan lima kali lipat."

"Oh, iya tahu-tahu." Wacana ini pernah aku dengar sejak SMA dari guru pendidikan lingkungan hidup. Sangat jelas bagaimana mimik wajah guru itu dengan tegas mengatakan bahayanya bumi karena polusi dari kendaraan bermotor. Lalu untuk mencegah kemacetan adalah memberikan fasilitas umum yang nyaman sehingga semua orang mau menggunakannya.

"Dik! Lihat ada mural[1]!" ujar Firma. Aku segera menoleh dan tersenyum melihat mural-mural yang bertemakan jiwa nasionalisme juga pesan-pesan sosial yang tersirat disetiap gambarnya.

"Eh itu kok aneh?" tanyaku sambil menunjuk ke arah salah satu mural yang bertuliskam "HUT RI" dan angka 100 di sampingnya.

"Oh ... itu yang tahun kemaren, sekarang 'kan harusnya 101. Lagi pula belum resmi 101 juga. Nanti menjelang bulan Agustus baru diganti lagi," jawab Firma pelan. Aku mengerutkan dahiku bingung.

"Maksudmu?"

"Iya, harusnya 'kan tahun ini HUT RI-101, jadi sengaja mural yang itu belum diganti." Aku terdiam mendengar perkataannya.

"A-pa? Seratus satu?"

"Iya."

"Coba, aku pinjam hape-mu?"

"Kenapa?"

"Aku ingin memastikan sesuatu."

Firma menyerahkan handpone-nya. Dengan cepat aku langsung membuka kalender yang ada di handphone-nya. Di sana terpampang jelas bahwa hari ini adalah tepat tujuh hari pasca aku kecelakaan, atau lebih tepatnya tujuh hari tiga puluh tahun pasca aku kecelakaan.

"Hari ini ... se-sembilan belas ... Januari ...2046?" Aku memandang Firma.

"Iya, terus?" tanya Firma heran. Aku kembali melihat tanggal yang tertera di kalender handphone Firma.

"Hey, ini bukan January Mop atau January Fools kan?" tanyaku sambil menelan ludahku sendiri.

"Yey! Gak ada kali, adanya cuma April Mop! Emang kenapa ngomong gitu?"

"Aku ... kecelakaan tanggal 12 Januari 2016," ujarku sedikit ragu-ragu.

"Hah?"

***

Catatan :
[1] Mural = Gambar yang ada di dinding dengan mengedepankan nilai keindahan, juga pesan yang ingin disampaikan.

Dipublikasikan pertama kali:
1 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
8 Agustus 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top