Chapter 40.0 - Love, Friends, Fact, and Hope

"Jadi saudara Maulana itu kebetulan ada di dekat kejadian, lalu berlari menghampiri dan mencoba melakukan pertolongan pertama, begitu?" tanya pak polisi bernama Ahmad.

Aku mengangguk pelan.

"Anda ahli di bidang kesehatan?"

Aku menggelengkan kepala.

"Terus kenapa anda berani untuk memberikan pertolongan pertama?"

"Saya pernah diajari tentang pertolongan pertama pada kecelakaan walau hanya sebagian kecil. Dalam kecelakaan ada dua kemungkinan, selamat atau tidak. Tindakan yang saya lakukan itu merupakan upaya agar korban selamat. Lagipula ...." Sejenak bayangan Firma yang tengah tergeletak membuat bibirku kelu.

"Lagipula ... apa?" tanya Pak Ahmad yang membuat bayang-bayang Firma sirna bersama dengan kerjapan mataku

"Ah, enggak, Pak. Maksud saya anu ... lagipula ...." Aku kembali teringat perkataan Kak Rizal. "... kita harus tetap menolongnya, 'kan? Apalagi korban beragama Islam. Sebab, pada saat-saat terakhir pun setan masih berusaha merebut keimanan kita."

Pak Ahmad tidak merespon perkataanku. Ia hanya menatapku dengan tatapan yang sama—tajam, tapi tidak dingin—seperti sebelumnya.

"Menurut saksi katanya anda mencari sesuatu di tas milik korban, apa itu?"

"KTP-E."

"KTP-E?"

"Iya."

"E-KTP maksudmu?"

Aku hanya mengusap wajahku dengan tangan kiri secara perlahan. "Iya, Pak, maksud saya itu," ujarku lirih.

"Memang kenapa dengan KTP korban?"

"Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada dua kemungkinan pada setiap kecelakaan, selamat atau tidak. Kita harus bisa menyelamatkan korban sekaligus mencoba membimbingnya jika memang korban ... bapak tahu maksud saya, 'kan?"

"Iya, lalu?"

"Dari KTP-E milik korban, saya tahu korban bernama Rani, beragam Islam, golongan darah B. Karena Rani beragama Islam, saya bisa membimbingnya jika ...." Aku berhenti sejenak dan memilih tidak melanjutkan perkataanku. "... maaf, lalu, golongan darah korban adalah B. Maka, ketika ambulan datang saya bisa langsung memberi tahukan pihak medis kalau korban memilik golongan darah B. Dengan begitu akan lebih cepat dalam proses penyelamataan. Walaupun untuk memastikan golongan darah dari kartu identitas hanya diperlukan lima sampai delapan detik. Tetapi, hitungan tersebut sangat berarti bagi korban. Mengingat ada beberapa penyakit yang begitu berpacu pada waktu atau saya juga mengenal istilah Golden Hours."

"Tapi, bisa saja anda mengambil beberapa uang atau harta benda milik korban?"

Mendengar tuduhan itu, kursakan darahku bergejolak. Ada perasaan yang sama kala aku dituduh menggunakan narkoba sesaat setelah Firma masuk ke rumah sakit. Namun, tiba-tiba kepalaku mendengar suara yang amat kurindukan.

Dik, kau itu kalau nyelesein masalah pake kepala dingin! Jangan biarkan setan yang menyelesaikan masalahmu. Seketika aku teringat akan perkataan Firma tempo hari. Suaranya yang lembut tengiang-ngiang di pikiranku.

Kutarik napas panjang-panjang dan kuembuskan lewat mulut secara perlahan. Firma, kau benar, batinku. Kupandang mata Pak Ahmad dan kulemparkan senyumanku kepadanya.

"Selama saya di sana, saya tetap berada di dekat korban dan tidak meninggalkan TKP sampai saya dibawa ke sini. Silahkan geledah saya sekarang dan temukan barang serta uang, lalu cek 'adakah barang atau uang yang terdapat sidik jari dari korban' dengan begitu bisa dipastikan kalau itu adalah uang milik korban."

"Tapi anda bisa saja menghapus ...."

"Benda itu bukan hanya disentuh oleh pemiliknya saja, apalagi uang," potongku, "jika saya menghapusnya, maka, semua sidik jari orang lain akan hilang. Maksud saya, uang itu selalu berputar maka bisa ditemukan lebih dari dua sidik jari milik orang. Dan bila saya menghapus, maka tidak akan ditemukan sidik jari siapa pun, sebab saya menggunakan sarung tangan."

"Kenapa anda pakai sarung tangan?"

"Hanya ingin. Lagipula saya memakai bukan karena ada kecelakaan. Sebelumnya ada kecelakaan pun, saya memang sudah memakainya. Sahabat saya bisa membenarkannya," ujarku sambil
menunjuk ke arah Aldena yang menunggu di luar.

"Baiklah terima kasih atas bantuannya, kalian bisa pulang," ujar Pak Ahmad seraya berdiri.

"Jika ada perlu ditanyakan, saya bersedia untuk membantunya, Pak." Kujabat tangan Pak Ahmad dan segera berjalan keluar. Kulihat Aldena tengah sibuk memperhatikan berita di televisi.

"Liat apa?" tanyaku. Aldena hanya menunjuk televisi yang ada di sudut ruangan. "Iye, tahu gue juga tapi 'kan lagi iklan," keluhku seraya mengistirahatkan pantatku di kursi kayu.

"Oh ... kebetulan adanya berita sih, jadi ya udah, remote-nya gak tau di mana."

"Soal apa?"

"Tadi sih ... soal kasus pelecehan seksual. Bayangin satu cewek diperkosa sama empat belas orang. Edan, 'kan?" Mataku terbelalak mendengar perkataan Aldena. Beberapa detik kemudian bayangan Firma yang memarahiku tempo hari secara tiba-tiba melangkahi alam bawah sadarku. Layaknya sebuah bioskop pribadi, aku seolah-olah melihat film dokumenter yang diperankan oleh diriku sendiri. Lagi, ada perasaan yang memberontak dari dalam hatiku. Bersamaan dengan itu bisa kulihat teriakan Firma yang menentangku untuk mengarak sepasang muda-mudi yang saling bersenandung dalam lingkaran syahwat.

"Dik," panggil Aldena yang memaksaku untuk meninggalkan "bioskop pribadiku".

"Apa?"

"Udah selesai, 'kan? Yuk pulang. Walau gak bersalah tetep aja ngerasa aneh di sini."

Aku menghela napas pelan dan kuangkat pantatku dari kursi kayu. Kami memutuskan untuk jalan kaki menuju taman Raflesia, mengingat jaraknya cukup dekat. Selama perjalanan, Aldena menceritakan hal-hal yang terjadi ketika aku terbaring koma. Korupsi, anak SMP yang positif menggunakan narkoba, pelaku curanmor hanya untuk membeli miras, seorang wanita yang diperkosa dan dibunuh soleh mantannya, lalu ditemukannnya ganja di bagasi motor saat razia KJUN[1].

"Beda banget ya." Kubuka mulutku sesaat setelah kami sampai di taman Raflesia.

"Apanya?"

"Semuanya ...." Kuembuskan napasku secara perlahan dan kupandang sahabatku sebelum aku melanjutkan perkataanku. "... mungkin agak aneh, tapi ada perbedaan yang kurasa. Seperti yang pernah kuceritakan, Firma nekat menolongku dan mengorbankan dirinya sehingga ia tak sadarkan diri. Memang, kebetulan aku bersama seorang Kak Rizal dan istrinya. Kak Rizal langung membawa Firma ke rumah sakit dan menyuruhku beberapa hal untuk menolongnya.

"Bahkan di rumah sakit, semuanya dengan sigap dan membawa Firma ke ruangan IGD. Begitu pula kepolisian yang sudah melakukan olah TKP. Dan yang lebih parahnya lagi, kata polisi supir truknya masih ada di TKP untuk memberikan penjelasan." Kuembuskan napasku untuk kedua kalinya dan kuarahkan pandanganku ke arah air mancur di tengah taman Raflesia.

"Tapi, tadi aja kita mau minta tolong buat bawa korban ke rumah sakit gak ada yang mau. Sebagian besar masyarakat belum tahu call center kepolisian. Sekalinya kita tahu, gak nyambung. Diminta bantuan untuk jadi saksi pun, pada ngeles kaya bajaj. Bahkan, evakuasi pun terganggu karena banyak masyarakat pengen lihat secara langsung.

"Soal kasus yang tadi kamu ceritakan, tentang ... pelecehan seksual, ah tentang korupsi pun, di mana letak moral mereka? Kau tau, Den? Aku bersama Firma pernah mendapati sepasang muda-mudi tengah mesum. Awalnya aku berniat membawa warga untuk mengarak pasangan tersebut untuk mengelilingi kampung, tapi Firma bersih keras untuk tidak melakukannya. Ia tidak mau membuat mereka menjadi malu karena kebodohan dan kebutaan mereka akan nafsu ...." Aku bercerita sambil membayangkan raut wajah Firma yang marah kepadaku. "... dan aku paham maksud perkataannya."

"Apa itu?"

"Perbedaan adalah pasangan yang mesum serta pemerkosaan itu ada tidaknya korban. Memang, pasangan yang mesum itu sepenuhnya salah. Tapi, untuk kasus pemerkosaan, jelas ada korban dan pelaku. Kau ingat pertanyaan yang paling sering dilontarkan pada korban pemerkosaan? Kamu pake baju apa? Emang kamu gimana? Keluar malem-malem mau ngapain? Semua itu seolah-olah korban yang disalahkan atau disudutkan. Bahkan ada yang terang-terangan ada yang berkata 'Gak bakal ada asap kalau gak ada api'.

"Emang bener, cewek yang berpenampilan seksi dan terbuka bisa mengundang hal ini. Tapi di kasus yang tadi, 'kan ... dia cuma lewat pulang sekolah, ketemu empat belas cowok terus diperkosa. Para pelaku pemerkosaan itu, hanya orang yang betul-betul dikuasai oleh nafsu dunia sehingga ia bertingkah layaknya hewan. Tidak! Ia bertingkah lebih rendah daripada hewan!"

Aldena hanya memandangku dengan tatapan datar tanpa merespon setiap perkataanku.

"Mungkin emang udah pada bejat semuanya," imbuhku lagi seraya duduk dan memandang air mancur. Masih bisa kurasakan perasaan yang bergejolak di dalam hatiku. Kupejamkan mataku dan merenung meratapi semua yang terjadi di negeriku ini.

Aku takut jika besok aku sendiri. Aku takut besok mentari tak akan terbit. Aku takut jika Indonesia, bahkan tak akan memiliki cahaya lagi. Aku terdiam kala mengingat perkataan Firma di mimpi. Semakin lama mata dan mulutku terbuka lebar tidak percaya.

"Oy, lu kenapa kaya yang kaget?" tanya Aldena.

"Aku tahu ... arti mimpi terakhirku dengan Firma."

Aldena hanya mengangguk dan bergeser mendekatiku. "Coba gimana?"

"Sebelumnya aku 'kan sendiri tengah menatap puluhan juta bintang di langit, tapi tak kudapati bulan yang menyertainya. Lalu, tiba-tiba Firma datang kepadaku dan mengajakku ke taman untuk melihat matahari terbenam. Bersamaan dengan matahari terbenam, Firma menghilang.

"Sekarang, ibaratkan matahari itu seorang ayah, bulan seorang ibu, dan bintang seorang anak. Ketika matahari terbenam, dan bulan tidak pernah mengiringi bintang maka hanya ada bintang sendiri di langit, lalu bintang tersebut lenyap artinya ...."

"Artinya jika kedua orangtua tidak ada, tidak menjalankan tugasnya dan tidak mendidik anaknya, maka anak mereka tidak menjadi orang yang berguna," potong Aldena.

Aku mengangguk pelan. "Matahari dan bintang pada dasarnya sama, artinya seorang anak akan mejadi orang tua kelak. Sama seperti aku anak dari ayahku, aku menjadi ayah bagi anakku, dan anakku kelak menjadi ayah dari cucuku." Aldena mengangguk pelan.

"Firma berkata sesaat sebelum matahari terbenam 'Aku takut jika besok aku sendiri. Aku takut besok mentari tak akan terbit. Aku takut jika Indonesia, bahkan tak akan memiliki cahaya lagi' artinya adalah ...."

"Bila memang kedua orangtuanya tidak bisa mendidik anak mereka, maka Indonesia akan menuju keterpurukannya dari hari ke hari."

"Benar!"

"Dan memang benar, mengingat generasi selanjutnya lah, yang akan memimpin masa depan Indonesia," imbuh Aldena lagi.

Aku termenung dan teringat perkataan Firma saat kami berdua berada di taman rumah sakit. Saat itu, Firma bertanya kepadaku, "Menurutmu masa depan itu seperti apa, Dik?"

"Den, menurutmu masa depan seperti apa?" tanyaku kepada Aldena.

"Hmm ... mungkin kendaraan mobil yang berterbang, virtual reality game kaya anime Sword Art Online, mobil transparan, atau robot di setiap sudut kota." Aku tertawa mendengarnya, sama seperti Firma tertawa mendengar jawabanku tempo hari.

"Dika, aku pernah baca di sebuah buku, si tokohnya berkata soal masa depan ...." ujar Firma pelan.

"Masa depan itu bukan sebuah teknologi yang di luar jangkauan kita di masa sebelumnya, tapi ...." Aku menujukan ke tepat ditengah dadaku. "... masa depan itu saat di mana penduduknya memiliki hati yang penuh dengan nilai keagamaan, bersikap adil, berjiwa nasionalisme, menjunjung tinggi perbedaan, dan menghormati orang lain," ujarku mengikuti gaya bicara Firma. "Itulah masa depan yang benar. Bukan masalah teknologi suatu negara yang menentukan masuk tidaknya negara tersebut di masa depan, tapi kita selalu penduduk suatu negara yang menentukannya."

Aldena hanya tersenyum dan menepuk pundakku. Tidak lama kemudian air mancur yang sedari tadi mati tiba-tiba menyala. Percikan air yang membiaskan cahaya matahari sehingga, bisa kulihat indahnya pelangi tengah mengitari air mancur itu.

"Aku akan membuat buku," ujarku pelan.

"IYKWIM?"

"Bukan, tapi soal kejadian ini semua. Tentang Firma, tentang teman-temanku, tentang harapan, tentang kenyataan dan tentang cinta ...." Kuambil napas dalam-dalam dan kuembuskan secara perlahan. "... cinta akan tanah Ibu Pertiwi," tambahku lagi.

"Tunggu, kalau misal orang gak percaya?"

"Aku tak perlu membuat mereka percaya akan ceritaku. Aku hanya ingin mereka memahami nilai masa depan dari orang yang bernama Firma itu," ujarku pelan, "ditambah lagi, seperti yang aku ucapkan, sekarang kita adalah anak dari orang tua kita. Dan kelak, kita adalah orang tua bagi anak kita, dan anak kita lah pemimpin masa depan Indonesia." Aku tersenyum sambil memandang langit.

"Jadi kita biarkan para remaja kita untuk membacanya, dan mempersiakan mereka sebagai pemuda masa depan." Aku tersenyum memandang langit-langit.

***

Catatan:
[1] KJUN = Kunci Jawaban Ujian Nasional

Dipublikasikan pertama kali:
7 Juli 2016
Dengan sedikit pengubahan:
10 Maret 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top