Chapter 34. Selamat Datang
"Firma!!" Aku berlari ke arah ruang ICU, guna mengejar dua perawat yang tengah mendorong pasien—atau mungkin jenazah. Sayang, saat itu suasana cukup ramai sehingga membuatku menyelinap di antara lautan manusia.
"Duh, Kang!" gerutu seorang wanita yang tanpa kusengaja kudorong.
"Punten Bu, punten ngiring ngalangkung," ujarku pelan meminta agar mereka memberikan ruang untukku. Hampir satu menit akhirnya aku berhasil keluar dari kerumunan orang. Layaknya seekor elang, kedua mataku mencari ke kanan dan ke kiri dari pintu ruang ICU. Sayang tidak kutemukan dua perawat yang menjadi target pencarianku. Tidak membuang waktu, aku segera melihat papan petunjuk untuk mencari satu-satunya tempat jika memang yang mereka bawa adalah jenazah pasien—Kamar Jenazah.
Ruang Angrek, Bugenville, Rose, Taman kanan. Ruang Radiologi, Labolatorium, gudang, kamar jenazah, kiri. Nah! batinku kala melihat papan petunjuk. Sesaat setelah aku sampai di ujung jalan, aku kembali membaca petunjuk arah. Radiologi, Lab lurus. Gudang, kamar jenazah, kiri .... Aku terdiam sejenak menyadari sesuatu hal aneh.
Apa benar dua perawat itu membawa jenazah? tanyaku pelan.
Sial! Gimana cara mastiinnya kalo itu Firma atau bukan? Bisa aja dua perawat itu nyimpen kasur yang rusak. Tapi gimana kalau ternyata mereka masuk ke ruang jenazah? Satu-satunya cara ya harus dicek sendiri. Tapi gimana? Untuk masuk ke ruang jenazah aja susah? Sial! Aku memijit pangkal hidungku secara perlahan. Kuambil napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Berkali-kali aku mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan jawaban. Kak Rizal!
Kuambil handphone-ku dan segera menelepon Kak Rizal. Tiga kali aku mencoba, namun tetap operator yang menjawabnya. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif."
Sial! Mau tidak mau satu-satunya cara yaitu nyelinap ke kamar ....
"Eh, Ceu. Kamarnya Bu Eva téh dimana?"
"Anggrek, ceunah."
"Nomor?"
"Duka, tanyain wé nanti ke yang jaga, 'pasien nyonya Eva ti Sadananya, nomor berapa?"
"Oh, uhun atuh."
Aku terdiam mendengar percakapan dua ibu-ibu yang berjalan melewatiku. Sepersekian detik kemudian, aku segera berlari kembali menuju ruang ICU. Buodoh! Kok bisa gak kepikiran! Tinggal nanya ke suster yang jaga apa susahnya! gumanku pelan. Sesampainya di ruang ICU kudekati meja perawat dan kulihat seorang suster yang tengah menulis sesuatu segera mendekatiku dengan sedikit terburu.
"Sus ...."
"Ah, ini keluarganya pasien yang bernama Firma ya?"
Aku mengangguk pelan.
"Maaf, tapi tadi dia udah dibawa ...." Suster itu terus melanjutkan perkataannya yang entah mengapa aku tidak bisa mendengarnya. Hal yang bisa kudengar hanyalah, "Maaf, tapi tadi dia udah dibawa." Tubuhku terasa berat secara tiba-tiba. Tanpa kusadari aku berjalan mundur hingga tak sengaja menabrak kursi besi di belakangku.
"Jadi ... Firma sudah ...." Kulihat suster penjaga itu mengangguk pelan.
"Jika saja kakak bisa datang lebih tepat, mungkin setidaknya Firma akan bahagia."
Bersamaan dengan itu, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Samar-samar aku teringat mimpi yang membuatku terjaga kala menjaga Firma. Mungkinkah itu pertanda? Aku bertanya kepada diriku sendiri. Beberapa kepingan puzzle gambaran semua peristiwa yang aku alami bersama Fima tampak berjatuhan di depanku.
Kenalin namaku Firma.
Tanggung jawab dong! Anak cewek udah nganterin malah disuruh pulang sendiri.
Kasian, udah kakek-kakek nanti makanya belepotan.
Makasih Dik, udah mau mengerti.
Sebab dikasus yang kau sebutin itu gak ada korban!
Dika awas!
Dika, maaf aku memang pernah berbicara akan membantumu untuk mencari dirimu yang lain, tapi aku ada urusan lain.
Kepingan puzzle itu terus menghantam alam bawah sadarku bagaikan meteor yang berjatuhan. Bertubi-tubi pukulan kurasakan memukul relung hatiku. Sekilas aku teringat akan perjalan film "The Houdini" salah satu pesulap escapologis yang terkenal pada masanya. Houdini pernah menawarkan kepada beberapa orang untuk mendapatkan "free punch" ke perutnya yang berotot dan berbidang, namun Houdini selalu mampu menahan rasa sakit yang diterima dari pukulan orang-orang tersebut. Hingga suatu ketika, Houdini sedang melakukan tur sulapnya mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal dunia, pada saat itulah ada cuplikan beberapa pukulan yang bersarang di perutnya dan membuatnya terjatuh dan menangis. Mungkin saat itu aku tidak terlalu paham akan arti dari cuplikan itu. Tapi sekarang aku kembali merasakan pukulan tersebut semenjak Ibuku meninggal. Hal yang terasa amat sakit itu bukanlah pukulan dari seseorang pendendam, tapi kenyataan akan kepergian orang yang kita cintai.
Benar, setiap mahluk hidup memang akan mati, ujarku berguman dalam hati. Kukepalkan tanganku sekuat-kuatnya, mencoba tegar menerima semua kejadian ini. Tinggal waktu yang berkata kapan mahluk tersebut akan mati.
"Aduh, kalau ketahuan dokter Rizal saya bisa dimarahin."
"Habisnya saya bosen di kamar, nungguin temen gak datang-datang lagi!" ujar seseorang yang tak asing ditelingaku. Aku segera keluar dari ruang ICU dan melihat ke kanan dan ke kiri. Kulihat dari bibir pintu seorang suster tengah mendorong kursi roda ke arah kanan.
"Firma!" teriakku. Terlihat suster itu berhenti dan menengok ke arahku, tak lama ia memutarkan kursi rodanya.
"Kau? Dika kan?" ujar wanita berkerudung biru muda yang duduk dikursi roda. Benar! Memang Firma ujarku dalam hati. Kuusap kedua air mataku dan kudekati Firma yang memandang wajahku dengan seksama. Kubungkukkan badanku di depannya dan menaruh kantong kain berisi jeruk yang kubeli sebelumnya di pahanya.
"Suster bukanya pasien di ruang ICU tidak boleh beraktifitas?"
"Nak Firma sudah keluar di ruang ICU sejak pagi tadi, dan dipindahkan ke ruang Mawar."
Aku mengangkat alisku. Bukanya kata Kak Rizal Firma ... brengsek jadi ini artinya 2-0.
"Terus sekarang mau dibawa kemana?"
"Ke taman! Bosen aku!" potong Firma. "Eh serius kau Dika kan?"
"Baiklah, suster biar saya yang bawa dia ke ruangannya."
"Eh! Tapi aku ...."
"Udah diem." Suster itu mengangguk dan meninggalkan kami berdua. Setelah aman kudorong kursi roda Firma ke arah taman secara perlahan. "Kalau gak gitu gak bisa dapet izin."
"Eh tapi ini bener Dika?" Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya. Sepanjang jalan Firma terus bertanya hal yang sama kepadaku. "Kau Dika, kan? Jawab dong," ujar Firma sambil mendongakan kepalanya. Aku duduk di bangku taman disamping kursi roda Firma yang memang sengaja ku rapatkan dengan bangku taman.
"Iye, emang siapa lagi?" jawabku pelan. Firma mencoba menepuk-nepuk pipinya sendiri secara perlahan. "Mau aku tampar? Mungkin bisa bangun?" tawarku sambil memposisikan tanganku mengambil ancang-ancang. Tak lama Firma tertawa cukup keras sambil memegangi perutnya. Aku hanya diam menyilangkan kakiku dan berpangku dagu.
Cukup lama ia tertawa, hingga air matanya sedikit keluar. "Dik, sejak kapan kamu Botak!" Firma kembali tertawa melihat rambutku yang sengaja kupotong habis tanpa menyisakan satu helaipun, hanya kulit kepalaku yang plontos. "Duh siapa sih yang naruh lampu taman!" ujarnya lagi sambil tertawa.
"Diem ah!" ujarku pelan sambil memalingkan wajahku, Firma mencoba menahan untuk tertawa. "Kaya kau sendiri bukan lampu taman."
"Ih! Tapikan aku pake kerudung," bela Firma. "Dik boleh ya?"
"Apa?" tanyaku lagi. Bersamaaan dengan itu tangannya mengusap-usap kepalaku.bFirma kembali tertawa. "Sialan," protesku seraya menepis tangan Firma.
"Lucu-lucu!" celoteh Firma sambil memegang perutnya. Aku hanya melihatnya begitu tertawa terpingkal-pingkal. Berbeda dengan sebelumnya, ini memang aku lakukan bukan karena ingin menghibur Firma, tapi atas dasar keinginanku.
"Oh iya, tuh ada jeruk sengaja aku beli," ujarku pelan sambil menunjuk kantong di pangkuan Firma.
"Gak dikasih sama tetangga?"
"Enggak!"
Firma tertawa terpingkal-pingkal. "Aduh capek nih ketawa mulu."
"Lagian liat orang botak girang banget, kaya yang jarang liat aja."
"Emang!" Kembali Firma tertawa yang entah sudah ke berapa kalinya, ia kembali berusaha mengontrol emosinya "Jadi ...." ujarnya pelan sambil melihatku. "... kenapa kamu ngebotakin diri sendiri? Apa karena aku yang botak juga atau apa?" Aku mengeluarkan E-KTP milik Aoshiro dan kutunjukan pada Firma. Sontak raut wajahnya yang semula bahagia berubah menjadi suram.
"Jadi ... inikah bentuk dari Aoshiro itu?" tanya Firma lagi. Aku hanya menghela napas, dan meminta Firma memegang ujung E-KTP-nya. "Kenapa?"
"Sudahlah pegang saja." Firma mengikuti petunjukku dengan kebingungan. Aku hanya tersenyum pelan. "Pegang yang kuat ya." Kutekan jempolku kuat-kuat hingga terdengar suara patahan dan secara bersamaan E-KTP tersebut yang terbagi dua. Firma memandangku tak percaya kalau aku mematahkan E-KTP. Bersamaan dengan itu hilang semua perjanjianku dengan pemerintah.
"Aku adalah aku, 'Dika-yang-lain' adalah 'Dika-yang-lain.' Sesuatu yang berbeda tidak perlu di sama-samakan. Sebab itulah aku."
Kulihat sebuah senyuman kembali terpancar dari wajah seorang malaikat yang tengah duduk di kursi rodanya.
"Selamat datang kembali, Maulana Dika."
Aku tersenyum pelan. "Eh Fir, kamu gak mau meluk ...."
Plak!
"Wah benar Dik, ini bukan mimpi!"
***
Dipublikasikan pertama kali:
1 Juli 2016
Dengan sedikit pengubahan:
14 Februari 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top