Chapter 33. Speechless

"Assalamu'alaikum, yaa ahlil kubur," ucapku pelan sesaat memasuki gerbang. Kubiarkan kakiku melangkah memasuki area pemakaman umum Gandaria yang tidak asing di benakku. Sengaja aku mampir ke pemakaman ini, sebab disinilah di mana ibuku dikebumikan. Tak banyak yang berubah dengan apa yang ada di memori penglihatanku, selain kondisi TPU ini yang lebih terawat—terlihat dari cat yang baru dan dedaunan yang berkumpul di satu titik tanda sudah dibersihkan sebelumnya.

"Assalamu'alaikum, Bu," ujarku pelan sesaat setelah aku berdiri di dekat pemakaman ibuku. Kubersihkan sedikit dedaunan kering yang jatuh di bagian tengah—tempat menuangkan air—pemakaman ibuku. Tidak lupa aku berdoa agar beliau diberikan nikmat kubur dan nikmat surga-Nya, serta dijauhkan dari siksa kubur dan siksa neraka-Nya.

"Bu," ucapku lagi. "Sejujurnya aku merasa bingung kenapa aku bisa mengalami hal ini." Aku sejenak memejamkan mataku mengingat apa yang kualami.

"Banyak yang terjadi semenjak Ibu wafat. Banyak yang telah berubah, mulai dari teman, kawan, sahabat, keluarga, saudara ...." Aku terhenti sejenak dan menghela napas, "... bahkan anakmu sendiri berubah ... wajarkah?" ujarku bertanya seraya memandang batu nisan bertuliskan namanya. Aku tahu jikalau ia tak mungkin menjawab pertanyaanku. Kupejamkan mataku dan mendongakan kepalaku. Pelan tapi pasti setiap kali aku mengumpulkan oksigen, berkali-kali kurasakan napasku terasa berat. Tanpa kusadari kakiku merasa lemas dan aku jatuh tersungkur. Secara bersamaan setetes air mencuat membentuk sebuah parit kecil di kedua pipiku.

"Maaf ... maafkan aku, Bu. Aku ... aku." Aku tak mampu melanjutkan perkataanku. Bibirku tampak kelu dan seolah-olah terkunci akan keadaan dan situasiku. Tak terasa air mata kembali membasahi pipiku. Parit kecil kini berubah layaknya sungai yang bermuara di lautan. Gendang telingaku mulai bergetar oleh isak tangisku sendiri. Suara jangkrik dan burung yang semula menguasai kedua telingaku, tampak tak berdaya menghadapi gerilyanya jeritan pilu. Kugigit keras-keras bibirku bawahku agar suara tangisan ini tidak semakin keras, bersamaan itu kurasakan hangat yang menyelimuti di sekujur tubuhku.

"Dika ...." Terdengar suaranya begitu lembut. "Apapun yang terjadi, Ibu akan selalu bangga terhadapmu. Dika adalah satu satunya anak laki-laki yang Ibu miliki. Dika harus tegar dan kuat menghadapi semua cobaan dan ujian yang melanda. Apapun yang terjadi, Dika tetaplah Dika, anak manja yang selalu menangis di pelukan Ibu." Kubuka mataku perlahan namun bersamaan dengan itu suaranya menghilang. Kuedarkan pandanganku 360 derajat, namun tidak ada sosok yang aku harapkan ada disekitarku. Masih terngiang-ngiang jelas di telingaku. Kembali aku memandang batu nisan yang bertuliskan nama Ibuku.

"Terima kasih, Bu. Nanti aku akan kembali lagi bersama seseorang yang selalu membantuku," ujarku pelan sambil mengusap air mataku. Segera aku berlari dan mengenakan helmku untuk pulang.

Ditengah perjalanan pulang, kuberhentikan motorku di depan tempat potong rambut. "Selamat datang," ujar seorang pria menyambutku ramah. Aku hanya mengangguk dan duduk di salah satu kursi yang kosong di pojok ruangan. "Mau gaya apa, Pak?" aku memandang wajahku di cermin.

"Bentar ya," pintaku untuk diberikan waktu untuk berpikir sambil memandang beberapa gambar model rambut di dinding. "Yang itu," ujarku menunjuk salah satu model rambut yang ada. Terlihat pria itu memastikan model yang kupilih, ia hanya tersenyum pelan melihat model yang kupilih.

"Ingin tampil beda dari sebelumnya ya, Pak?"

Aku mengangguk pelan. "Ya, sekarang ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan beberapa waktu silam." Pria itu hanya menganguk dan segera melakukan tugasnya. Tak terasa dua puluh menit berlalu, pria itu akhirnya melepaskan kain yang menutupi tubuhku.

"Selesai pak."

Aku segera berdiri berkaca melihat diriku dengan gaya rambut yang baru. "Hmmm." Aku memicingkan mataku melihat wajahku yang sedikit aneh, berkali kali aku merubah sudut padang wajahku untuk melihat hasilnya.

"Bagus kok pak."

Aku mengangguk pelan lalu segera membayarnya dan beranjak pulang.

Sesampainya dirumah aku segera mandi dan menuntaskan sholatku dzuhurku. Kuletakan kardus milik kak Rizal—KakDok—di kamar tempat aku tertidur yang sebelumnya diletakan di gudang. Fyuh. Aku menghela napas dan menanggalkan baju kokokku dan sarung sehabis shalat. Segera aku mengambil kemeja lengan pendek hitam miliku dan celana jeans berwarna coklat tua yang dipilih dan dibelikan oleh Firma dari tasku. "Ini cocok buat kau Dik," katanya. Ya bagus juga sih, gumamku pelan seraya mengancingkan kemeja hitamku.

"Wah!" Aku terkejut kala melihat mantel milik kak Rizal yang berwarna coklat senada dengan celanaku di kardus. Aku berdiri di depan cermin sambil mengancingkan mantel itu "Sip!" Kuambil handphone dan dompetku di kasur. Kalau bukan karena KTP, dompet gak bakal dibawa nih, tinggal Rp50.000 lagi itupun dikasih kak Rizal, batinku seraya menggunakan sarung tanganku.

Jam dinding menunjukan hampir pulul satu siang. Segera aku berjalan keluar, mengunci pintu rumah kak Rizal dan segera menyalakan motor.

Di tengah perjalanan, sesaat sebelum memasuki area rumah sakit aku melihat beberapa pedagang buah. "Beli jeruk boleh nih," ujarku pelan sambil memarkirkan motor di area rumah sakit lalu menghampiri penjual buah.

"Jeruk Mang, sakilo," ujarku pelan sambil memberikan uang terakhirku dan mengeluarkan kantong kain berwarna hijau dari dompetku. Sesaat aku teringat petunjuk dasar Firma sepulang dari RSNI, "Biasanya kita bawa kantong kain yang dilipat terus simpen di dompet. Biar kalau beli sesuatu ya pake kantong kain, gak pake kantong plastik," ujar Firma tempo hari. Tak lama penjual itu menyerahkan kantong kainku beserta kembaliannya. Sekarang tinggal ke ruang Mawar.

"Permisi, Sus," ujarku pelan.

"Iya ada yang bisa kami bantu?"

"Ini, tadi saya disuruh kesini sama dokter Rizal," jawabku dengan nada lebih pelan.

"Oh ... sebentar ya." Aku mengangguk pelan dan melihat suster itu tengah berbicara dengan seseorang. Mungkin itu kepala ruangan di sini, gumamku pelan. Tidak lama suster yang diajak bicara tadi keluar bersama sebuah kotak kecil.

"Ini ada titipan dari dokter Rizal."

Aku menerimanya walau sedikit bingung. "Ini apa ya?"

Suster itu menggelengkan kepala. Yah, kak Rizal bikin bingung aja, gumanku dalam hati dan segera membukanya. Kudapati kartu ATM dan beberapa surat kendaraan bermotor, juga SIM C miliku. Lho? Kok ada SIM C miliku? tanyaku dalam hati. Terlihat sepucuk amplop putih dibawahnya, segera kubuka amplop dan terlihat kertas di dalamnya.

Assalamualikum Dika, sebelumnya maaf kalau kakak tidak bisa berbicara langsung. Sebelumnya juga mungkin kamu sedikit kaget, kenapa kakak bisa mempunyai SIM kamu, melihat dari SIM itu kakak tahu kamu lahir pada tahun 1996. Tapi dengan wujudmu yang masih berusia 19 tahun, hal ini akan dianggap aneh. Kakak juga yang menemukan pertama kali kamu tergeletak di jalan saat kakak hendak mau ke rumah sakit. Lalu kakak menyiasatinya agar kamu bisa dibawa ke RSNI dimana kakak bekerja. Kebetulan ada yang kamar yang kosong bersama Firma. Firma juga merupakan pasien yang kakak rawat jadi agar memudahkannya, kakak meminta agar kamu ditempatkan di ruang Firma. Lalu, kakak memanipulasi surat identitas pasien agar tidak ada tahun kelahirannya. Sejujurnya kakak bisa saja menyelidiki 'Dika' yang lain tapi, entah kenapa informasinya selalu buntu. Ada banyak hipotesis yang kakak pikirkan namun nanti saja akan kakak bahas kalau kita bertemu langsung. Kakak juga sudah membuat kartu ATM atas nama kakak untuk peganganmu. Catatlah, nomor PIN-nya 089678. Selama kamu di sini gunakan itu sebagai sumber finansial kamu, total ada Rp8 juta. Gunakan seefisien mungkin. Hal ini semua sudah kakak bicarakan dengan istri kakak, jadi kamu tidak usah khawatir. Kalau ada apa-apa segera hubungi kakak, salam.

Pantas dia pertama kali ketemu ngomong sabar dan tegar, terus ngasih nomor handphonenya, jadi ini alasannya, ujarku dalam hati sambil membalik kertasnya. Eh, ada tambahan.

P.S. Kayaknya kamu kesal kalau kakak sedikit menggali informasi kamu, jadi maaf ya ^_^ 1-0.

Eh? gumanku terkejut seraya tanpa kusadari aku menekuk wajahku.

"Ada apa?" tanya kepala suster yang menatapku. Aku hanya menggelengkan kepala sambil meremas kertasnya. Ya sudahlah, kalau sama dia aku gak usah capek-capek bohong atau ngebatasi informasiku, ujarku dalam hati sambil memasukan semua barang kedalam jaketku, dan berpamitan. Beruntung ruang ICU tidak jauh dari ruang Mawar. Segera aku berputar arah dan berjalan menuju ruang ICU.

Seperti biasa, rame sekali, gumanku kala melihat jalan yang menghubungkan ruang Mawar dan ICU dipenuhi oleh keluarga pasien yang tengah menjenguk. Dari kejauhan, kulihat seorang perawat membuka pintu ruang ICU lebar-lebar. Lalu perawat lain mendorong kasur pasien lengkap dengan selimut putih yang menutupi dari kaki hingga wajah. Tidak ada yang menemani atau bahkan yang mengikuti mereka berdua—atau mungkin bertiga. Jangkan menemani, suara isak tangis pun tak kudengar dari ruangan ICU.

Secara bersamaan teringiang ucapan "Terima kasih" yang kudengar kala aku terlelap.

"Apakah itu ... gak, gak mungkin ... Firma!"

***

Dipublikasikan pertama kali:
30 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
11 Februari 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top