Chapter 3 - Sunyi
Mata dan pikiranku berakselesari cepat, berpikir untuk menebak apa yang ingin ditanyakan oleh Firma. Ada perasaan khawatir yang menyelimuti perkataan dan cara Firma memandangku. "E-Emang mau nanya apa?" tanyaku sedikit gugup.
Firma mengembuskan napasnya lewat mulut secara kasar. "Entahlah, tapi ada yang membuatku penasaran," celetuk Firma seraya berpangku dagu. Matanya terpejam, seolah-olah berpikir apakah ia harus bertanya atau tidak.
"Emang ... apa?"
"Dokter pertama yang menangani kau itu ... sempat kebingungan kala melakukan kunjungan pasien sesampainya kau di sini."
"Bingung ... kenapa?"
"Entah. Cuma yang kutangkap dari percakapan di luar, ia sempat bertanya seputar identitasmu kepada suster yang membawamu ke sini. Hingga dokter yang menanganiku datang dan mengambil alih. Katanya, dia sudah bertemu dengan polisi dan soal identitas akan diurus belakangan setelah kau sadar."
Aku hanya mengangguk pelan. Terus anehnya di mana? gumamku.
"Omong-omong apa kau tidak membawa KTP -E atau sejenisnya?"
"KTP-E?"
"Iya, KTP Elektronik."
"Bawa kok. Aku membawa dompet di celana ...." Aku terdiam sejenak. Tunggu, sekarang, 'kan aku pakai baju pasien. Jangan-jangan .... Aku sontak memandang wajah Firma dalam-dalam.
"Hey, kamu ... enggak li-liat kan?" Aku bertanya sedikit gugup.
"Liat?" tanya Firma heran. Aku memberikan kode dengan menyentuh kerah baju pasienku. Firma tampak memicingkan matanya melihat gestur yang kubuat. "Ah soal itu, ya?" ujar Firma spontan yang bersamaan dengan itu, aku mampu mendengar suara detak jantungku dengan jelas. Jadi dia liat "barangku" pas lagi pingsan dan digantiin baju? Asem, batinku seraya membayangkan bagaimana ekspresi Firma kala menikmati semua itu.
"Kalau kau cari semua barang saat kecelakaan, semuanya disimpan di operator ruangan. Nanti, ketika kau keluar dari RSNI, maka semua barang akan dikembalikan. Termasuk baju dan kalung kau juga di sana," ujar Firma sambil tiduran di kasur dan melipat tangan kanannya menjadi bantal. "Aman kok, gak bakal ilang."
Aku memandang Firma dengan mulut mengangga, tak percaya apa yang ia katakan. Menyadari ada yang aneh denganku, Firma balik memandangku seraya mengkangkat satu alisnya.
"Lho? Salah ya? Maksud kau lihat itu lihat kalung, 'kan? Atau ... lihat apa?" tanya Firma heran.
"Ah, itu maksudku ... anu, soal handphone-ku," elakku sambil tertawa mempertahankan mimik poker face[1].
"Oh, kalau gitu semuanya ada di sana," jawab Firma sambil melihatku.
Aku hanya tertawa sekaligus bersyukur.
"Assalamualaikum." Kulihat seorang wanita menggunakan seragam putih layaknya suster membuka pintu ruangan kami. Suster itu tampak tersenyum ramah, walau masker putihnya menutupi sebagian wajahnya. Sejenak, Suster itu membenarkan kerudung putih yang menjuntai dengan sedikit manik-manik menghiasi kepalanya. Kacamatanya yang besar juga ber-frame hitam kemerah-merahan tampak melekat dan menambah anggun penampilannya. Jika dulu musimnya wanita berkerudung dan bercadar, sekarang wanita berhijab dan bermasker, ujarku dalam hati.
"Ah sudah sadar, ya?" tanya Suster itu ramah, "gimana keadaannya, pusing tidak?"
"Tidak, Kak," jawabku sambil melempar senyuman.
"Kaget ya, pas lihat kakinya di gips?"
"Ah, enggak kok, Kak." Kembali kupasang mimik poker face.
"Wah, baguslah! Kirain bakal kaya pasien yang lainnya sampai nangis dan teriak-teriak gak terima kakinya di gips."
Firma tertawa kecil mendengar jawabanku. Aku hanya meliriknya tajam, memberikan kode untuk "Diam saja". Firma hanya mengedipkan matanya tanda mengiyakan keinginanku.
"Terus .... ada mual-mual tidak?"
"Tidak, Kak."
"Pusing?"
"Tidak juga."
"Yasudah tapi, diperiksa dulu aja ya tensi-nya." Aku mengangguk dan membiarkan Suster itu memakaikan alat tensinya di tangan kananku.
"Baru siuman ya?"
"Iya, Kak," jawabku. Suster itu hanya mengangguk seraya tersenyum.
"Oke hasil tensinya normal kok."
"Alhamdulillah," ujarku dan Firma berbarengan.
"Sebelumnya kamu ...." Suster itu berhenti dan membalik-balikan kertas yang dia bawa. "... namanya?"
"Dika."
"Dika ini, isi data pasien dulu ya. Biar nanti jelas data pasiennya," ujar suster sambil menyerahkan kertas identitas kepadaku bersama pulpennya. Aku mengangguk dan menulis data pribadiku. Cukup lama aku mengisinya dan segera menyerahkannya.
"Hmm ... jadi ... Maulana Dika, ya?"
Aku mengangguk pelan.
"Oke Dika, semoga lekas sembuh, ya. Kalau ada apa-apa, tekan tombol ini, ya. Nanti ada suster yang datang ke sini."
Aku mengangguk dan melihat sebuah silinder seperti senter dengan tombol berwarna merah. "Susternya siapa kak?"
"Insha Allah, ya Kakak kalau Kakak yang bagian jaga," jawab suster itu pelan. Kembali kulihat Suster itu tersenyum dari matanya. "Terus Firma gimana? Ada keluhan?" tanya Suster itu seraya memandang Firma.
"Sejauh ini tidak ada kak, cuma ...." Firma tidak melanjutkan perkataannya.
"Baiklah, kakak periksa dulu aja, ya." Firma mengangguk pelan, sesaat kemudian Firma memandang kearahku.
"Apa?" tanyaku heran. "Ah, baiklah maaf-maaf." Aku segera berbalik menghadap ke arah berlawanan. Terdengar suara besi kain pembatas yang bergesek karena ditutup. Mungkin sustenya peka kalau pasiennya malu 'diperiksa' badannya di mana ada cowok lain ikut menerhatikan. Lumayan buat bahan buku IYKWIM, pikirku dalam hati. Kudengar beberapa pertanyan yang dilontarkan oleh Suster dengan suara yang amat pelan, begitupun Firma.
"Baiklah Firma kalau ada apa-apa segera lapor, ya. Kamu tahu harus apa, 'kan?"
"Iya," jawab Firma pelan.
"Jangan lupa ...." Sesaat aku tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Suster. "Baik Kakak pergi dulu, ya. Assalamualaikum," ujar Suster itu pelan sambil menutup pintunya. Suasana mendadak menjadi sunyi dan hening. Aku segera berbalik ke posisi semula, kain pembatas masih terbentang.
Ya, susternya gak peka, kalau masih ditutup 'kan gak bisa ngobrol lagi, keluhku sedikit menyayangkan karena kainnya tidak di tutup kembali.
Aku melirik kearah Firma, sayang ekspresi wajahnya tak bisa kulihat. Jangankan ekspresi wajah, bayangannya saja tak bisa kutangkap. Ingin sekali aku membuka kain pembatas ini dan mulai bercengkrama kembali tapi rasa itu kuurungkan. Rasanya tidak sopan menganggu wanita, apalagi yang baru saja kukenal.
Aku menghela napas kasar dan melihat silinder yang diberikan oleh suster tadi. Mungkin kaya nurse call, gumamku. Kumainkan dengan cara memutar-mutarnya diantara jemariku, layaknya sebuah stik drum. Dalam keheningan, aku membayangkan seperti tengah bermain drum dengan berbagai macam bunyi di telingaku. Namun, baru beberapa menit saja aku merasa mulai bosan. Kupandang kembali Firma yang—masih—tertutup kain pembatas.
Maen drum sampe kaya Travis Baker juga tetep gak bakal ngebuat tuh kain kebuka, keluhku. Kembali aku menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalaku. Kusimpan nurse call di samping bantalku dan mencoba memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, bayang-bayang kegelapan mulai memeluk secara perlahan.
Namun, tiba-tiba aku terjaga karena suara pintu yang berderik. Aku mengerjapkan mataku dan melihat matahari sudah tak berada di posisinya sebelumnya. Jika tadi di jendela aku bisa melihat matahari yang bersembunyi di balik awan, kini aku tidak bisa melihatnya. Kulihat jam dinding di ruanganku pun hampir menunjukan pukul setengah dua belas.
Kayanya ketiduran tadi, batinku pelan. Kuedarkan pandanganku mencari siapa gerangan yang masuk, tapi tidak ada pergerakan yang berarti. Hingga kembali kudengar suara yang sempat membuatku terjaga.
"Fir, oy!" panggilku. Berkali-kali aku mencoba memanggil nama teman sekamarku.
Namun, hanya keheningan yang menjawab panggilanku.
***
Dipublikasikan pertama kali :
28 Mei 2016
Dengan sedikit perubahan :
1 Agustus 2016
Untuk ketiga kalinya :
1 Mei 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top