Chapter 28. Pasangan Muda
"Rumah kau ada dimana, Dik?"
"Dekat kok, kita jalan kaki saja."
"Ah ... oke," ujar Firma. Kulihat Firma begitu capek walau baru separuh jalan. Wajar, mengingat jalan yang menanjak serta tasnya yang besar membuatnya staminanya habis.
"Sini! Aku bawain semua barang-barangmu," tawarku yang disusul dengan senyuman di wajah Firma.
"Nah gitu dong," ujar Firma sambil berlari kecil mendekatiku, tak lama ia kembali berlarian melihat hamparan pepohonan yang ada. Entahl apa yang membuat Firma begitu, namun terlihat ekspresi kagum di wajah Firma melihat semua ini. Aku hanya tersenyum mengingat dulu sering melewati semua ini, tak ada rasa ingin menikmati sungai, pepohonan, pemandangan yang terhampar. Sudah jutaan kali aku berlalu lalang melewatinya. Dan tidak ada alasan aku untuk berdiam disini, namun entah kenapa itu menjadi kenangan yang berarti bagiku. Mungkin inilah arti bahwa hidup kita selalu dipenuhi dengan kenangan, bahkan tempat yang tidak pernah kuanggap sebagai kenangan, batinku dalam hati. Entah kenapa beberapa alasan muncul di pikiranku untuk sengaja diam di sini untuk menikmati semua ini yang mungkin cukup aneh di zamanku. Tapi sekarang begitu indah, begitu indah, atau mungkin begitu berarti.
Terdengar sebuah suara dan kilatan yang membuatku gugup setengah mati kemarin kala aku berada di studio foto bersama Firma. Kutengok ke arah suara itu berasal dan kulihat Firma tengah memegang kamera yang dia beli kemarin. Tidak lama setelah ia mengepakan kertas fotonya, digigit kertas fotonya, dan ia kembali membidikku dengan kamera Polaroidnya.
"Oy, kalau mau foto gak disini juga kali," ujarku berkomentar.
"Gak phwaphwa, lagian kamwhu kaya yang ngwak nikmwhatin ajwha," cibir Firma yang rupanya memperhatikanku sedari tadi. Tak lama ia kembali mengepakan kertasnya foto, mengigit dan membidik pemandangan lain.
"Nanti lagi, sekarang kita akan ke rumahku dulu," ujarku sambil mendekati Firma, mengambil foto yang ia gigit, dan melihat fotoku. Sudah kuduga gue masih ganteng.
"Janji?"
"Apa?"
Firma mengembungkan kedua pipinya yang membuat aku tertawa.
"Jika kau mau, aku bisa membawamu ke beberapa tempat. Ya ... mungkin membosankan tapi kau akan suka, dan juga itu bernilai bagiku."
"Tak apa, asalkan gratis," ujar Firma pelan.
Aku hanya tertawa pelan mendengarnya dan mengangguk.
"Bener ya gratis?"
"Asal kau tanggung bensin buat perutku saja," kataku mengikuti perkataan Firma sehari-hari sambil terkekeh. Setelah merasa cukup, aku segera melangkah melanjutkan perjalanan. "Ayo Fir!"
"Sebentar, aku ingin mengambil beberapa gambar dulu, lagipula rumah kau masih jauh kan?" Aku hanya terdiam memandang raut wajah Firma yang memelas.
"Kamu lihat gapura itu?" tanyaku kepada Firma.
Ia hanya mengangguk pelan.
"Itu adalah gapura lingkungan dimana rumahku berada."
"Wah! Kalau begitu ayo kita simpan barang-barang di rumah kau dan kembali kesini."
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Kembali aku memandang rumahku dari tempat gapura berdiri. Tak banyak yang berubah hanya gapura depan serta cat beberapa rumah yang berubah, ditambah tembok pembatas antara kampungku dengan halaman penyimpan bis kota milik salah satu bis ternama di daerahku yang dihiasi dengan berbagai mural dan coretan tangan yang indah.
"Dik, ada mural, yuk ngambil foto dulu," ujar Firma.
Aku menggelengkan kepala. "Kita akan diam di rumah makan seberang, memastikan warga di sini terlebih dahulu," ujarku sambil menunjuk ke rumah makan yang berwarna orange.
Firma mengangguk pelan.
"Permisi," ujarku pelan.
"Mau makan sama apa Mas?" tanya penjaga warung ramah.
"Balado telur, kangkung, sama tahu aja bu, minumnya kopi yang itu," jawabku sambil menujuk kopi susu sachet-an yang digantung di pojok etalase.
"Lho, katanya cuma diam, kok malah makan lagi?" bisik Firma.
"Kalau gak mau yaudah jangan pesan."
"Mau," rengek Firma.
"Yaudah pesan aja, uangku hanya 50 ribu jangan yang mahal," ujarku sambil menaruh tasku dan Firma di meja yang dekat dari sisi jalan.
"Asyik, makanan kampung." Firma segera pergi ke kasir dan kembali menghampiriku kegirangan seraya duduk didepanku. Tak lama pesanan yang kami pesanpun datang.
"Oke, rencananya kita adalah pasangan yang baru nikah dan kita akan nyari kontrakan rumah disana," ujarku sambil menyeruput kopi. "Karena aku berasal dari Jepang, maka kamu akan lebih agresif bertanya. Tanyakan seputar rumah ke tiga dari jalan, seperti siapa pemilik sebelumnya, dan sejenisnya, termasuk anak-anaknya. Ditengah percakapan aku akan masuk perlahan-lahan, paham?" Firma mengangguk pelan. "Ada yang ingin kamu tanyakan?"
"Boleh makan sekarang?" tanya Firma yang sepertinya sudah tak sabar.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Oh iya, Dik."
"Uhuk!"
"Ah iya Shiro," tanya Firma. "Kita akan tinggal dimana?"
"Kita akan menanyakan rumah itu apakah kosong atau tidak? Dan bila ternyata ada kakakku maka akan kujelaskan, tapi bila kosong maka kita akan membelinya."
"Membelinya? Tunggu uangnya?"
"Aku kan, punya kunci duplikat, ingat? Kita bisa bilang kalau kita sudah membelinya," jawabku. Firma hanya mengangguk pelan. Setelah lima belas menit aku membicarakan rencanaku, aku segera membayar makanan kami dan berdiri didepan warung.
"Siapa aku?"
"Aoshiro Ryouta, WNI blasteran Indo-Jepang."
"Siapa kita?"
"Pasangan yang baru nikah kemarin dan memutuskan bulan madu di sini."
"Tujuan kita ke sini?"
"Membeli rumah kau di zaman dulu."
Aku mengacungkan jempolku ke arah Firma. "Oh, iya." Aku mengambil sarung tangan hitam dari woll yang sengaja ku beli, dan memakainya.
"Buat apa?"
"Sidik jari. Aku gak mau ninggalun jejak keberadaanku, dan juga ...." Aku mengengam tangan Firma, terlihat Firma sedikit kaget dengan kejadian ini. "Kalau gini kan gak papa," ujarku sambil tersenyum.
"Ta-tapi kan, gak harus gini juga ...."
"Aku tau, aku begini bukan karena kita adalah pasangan yang baru nikah. Aku hanya mencoba menyiapkan perasaanku bila kelak bumi yang kupijak runtuh," ujarku pelan sambil tertunduk.
Rasa takut akan jawaban yang tidak sesuai dengan harapanku kembali menghantuiku. Memang. Pada dasarnya aku tetaplah aku, baik aku yang bernama Maulana, atau bernama Aoshiro. Hanya saja menjadi Aoshiro berarti aku akan membuang beberapa kenanganku bersama sahabatku, keluargaku, dan juga kehidupanku. Bahkan aku tidak tau apa yang akan terjadi bila aku diketahui sebagai mahluk yang berasal dari 2016, walaupun hal ini bukanlah hal yang sulit bagi Tuhan. Bahkan, jika Ia berkehendak, detik ini pula ia bisa menerbitkan matahari dari barat dan menenggelamkannya di ufuk timur. Aku mengenggam tangan Firma erat-erat, menghela nafas lalu melepaskannya kembali.
"Maaf, aku ... aku sudah siap sekarang." ujarku lagi sambil menghadap ke depan.
"Tuhan memberikan cobaan dan ujian yang sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Ada seseorang, memiliki kemampuan sepuluh dan Tuhan memberikan ujian sebanyak sembilan. Sedangkan kamu mungkin memiliki kemampuan lima ratus dan Tuhan memberikan ujian sebanyak 450. Jika dibandingkan mungkin akan terlihat berbeda. Orang lain diberi sembilan sedangkan kamu 450, tapi secara persentase, keduanya diberikan ujian 90% dari 100% kemampuan mereka," ujar Firma pelan, bersamaan dengan itu kurasakan hangatnya genggaman Firma melekat erat ditanganku.
"Ayo sayang, kita cari rumah," ucap Firma pelan.
Aku kaget mendengar perkataannya, sontak kulihat wajahnya, kulihat senyuman mengembang diwajahnya, senyumannya yang menular membuatku sangat tenang.
"Hai hai!"
***
Dipublikasikan pertama kali:
25 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
14 Januari 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top