Chapter 25. Take Off

"Fir? Emang aku bisa naik pesawat?" tanyaku sedikit gugup.

"Lah, emang kenapa?"

"Passport-nya?" Firma berhenti tepat di depanku dan berbalik memandang ke arahku. Hal itu membuatku bingung, ditambah mimik wajah Firma yang tampak tidak percaya akan perkataanku. Harusnya kan dia mikirin kalau aku gak punya passport aku menggerutu dalam hati.

"Kau belum pernah baik pesawat ya?" Aku mengangguk pelan. "Tapi di zamanmu pesawat udah adakan?"

"Pesawat telepon?"

Firma mengeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya. Sadar ia tidak tahu aku tengah bercanda, aku hanya tertawa pelan.

"Kenapa kau cekikikan?"

"Ya kali gak ada pesawat. Kalau pak B.J.Habibie denger, kamu nanya di 2016 belum ada pesawat bisa protes dia."

"Jadi udah ada?"

"Udeh.

"Tapi, serius kau belum pernah naik pesawat?"

"Rumahku kan di Ciamis, main paling ke Tasikmalaya, udah. Yakali kesana naik pesawat?!" Aku balik bertanya dengan nada proteals. "Kalau kamu kan Jakarta-Makassar, wajar naik pesawat, yakali aku Ciamis-Tasik." Firma tertawa menyadari hal itu.

"Yaudah, diam aja kau. Oh iya ...." Firma memandangku lagi layaknya preman yang tengah menagih upeti—tangan kiri di pinggang dan tangan kanan yang 'meminta' sesuatu dariku.

"Apa?"

"KTP-E kau lah?"

"Buat?"

"Udahlah cepat." Aku hanya mengangguk pelan dan membuka tasku. Dalam pelan dan hati-hati aku mencari apa yang di minta oleh Firma. "Lama amat nyari KTP-E aja?"

"Y-ya bentar ... nih," ujarku seraya menyerahkan KTP-E milikku. "Eh Fir, itu namanya siapa?" tanyaku lagi sambil menunjuk KTP milikku.

"Nama kau lah? Masa nama Pak RT!" jawab Firma.

"Takutnya salah ngetik aja soalnya dulu pernah salah ketik," elakku. Firma segera melihat KTP ku dengan teliti. "Gimana?"

"Maulana Dika, gak salah kok. Yaudah yuk!" jawab Firma seraya berjalan di depanku dan segera bergabung dengan antrian. Beruntung hanya ada dua orang di depan kami sehingga tak sampai dua menit kini Firma dan aku sudah berada di antrian terdepan.

"Selamat pagi," sapa seorang Wanita berpakaian batik, "ada yang bisa kami bantu?"

"Pagi," balas Firma ramah seraya menunjukan handphonenya. Dengan sigap si Wanita itu mengambil dan mengamati handphone Firma.

"Maaf KTP-E nya?" Firma segera menyerahkan KTP ku dan miliknya. Wanita itu segera me-scan KTP kami dan memberikan kepada Firma. Tatapannya kini tertusuk pada layar handphone Firma yang ia pegang dengan tangan kirinya, sedangkan jari-jemari tangan kanannya tengah menari-nari diatas keyboard hitam. Tak lama wanita itu menyerahkan handphone Firma beserta dua tiket penerbangan kami.

"Terima kasih, semoga penerbangannya selamat sampai tujuan," ujar Wanita itu seraya tersenyum. Firma hanya tersenyum dan berbalik memandang ke arahku.

"Yuk!" ujar Firma.

"Eh? Udah?" Firma mengangguk pelan. Belum sempat hendak bertanya lagi tapi Firma sudah menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kanan ke kiri.

"Jangan tanya kenapa bisa gitu, aku pusing jelasinnya! Aku tau kau begitu tertarik sama perbedaan di sini seperti kendaraan umum yang gak pakai bensin atau sejenisnya, tapi aku juga gak terlalu paham. Semenjak kecil udah gini," jelas Firma. Aku hanya mengangguk pasrah. "Oh iya dan satu lagi ...," tambah Firma seraya memandang ke arahku.

"Apa?"

"Jangan pasang wajah bodoh dan anehmu pas liat perbedaan itu."

Hah ... kampret, gumamku seraya mengangguk pasrah.

"Mau makan dulu gak? Lapar nih," rengek Firma.

"Perasaan kamu makan mulu ya? kemaren aja pas ke nyari tas sama baju buatku ujung-ujungnya makan," jawabku. Firma hanya mencibir kepadaku. "Yaudah, kasian gak ada yang nemenin, I'm in."

"Sok ngeles pake bilang 'Kasian gak ada yang nemenin' bilang aja lapar juga kau."

"Ya ... emang kita belum sarapan," elakku. Firma kembali mencibir.

"Mau apa? Ada restoran ala Jepang, ala Thailand, ala Korea, ala—"

"Alamak! Junk food aja yang simpel! Makan yang aneh-aneh entar malah nyusahin sendiri di pesawat," ujarku memotong pembicaran Firma sambil menunjuk ke arah restoran cepat saji. Firma mengangguk setuju.

Sesampainya kami di sana, kami sempat berdebat memilih tempat yang pas untuk duduk dan menikmati sarapan pagi. Aku—yang baru pertama kali ke bandara—ingin di luar, sedangkan Firma tidak setuju karena di sana termasuk smoking area. Cukup lama kami berdebat, akhirnya aku mengalah dan terpaksa duduk di tempat yang ada—pojok ruangan.

"Kau mau apa?"

"Makan," jawabku sambil merebahkan punggungku di kursi. Ku lihat Firma berdiri didepanku sambil berkacak pinggang. "Bebas sih, cuma kalau boleh Dada aja, dan gak pedas."

"Hot spicy?"

"Dada yang normal aja gak usah yang hot spicy."

"Minumnya?" tanya Firma lagi sambil menaruh tasnya di kursi sebelah.

"Bebas." Firma segera pergi ke kasir dan memesan makanannya. Kulihat ia sesekali berpikir dan menunjuk beberapa panel menu yang ada diatas. Merasa tak enak, aku segera menghampiri Firma.

"Aku yang bawain," ujarku pelan.

"Sama aku aja."

"Gak papa, lagian aku takut kamu ngapa-ngapain makananku." Firma hanya memukul pelan bahuku. "Kamu hobi banget mukul sih?"

"Latihan buat tinju, lumayan," jawab Firma sambil tertawa. Selama di kasir, sesekali aku melihat ke arah tempat kami kalau-kalau ada orang mencurigakan yang hendak mencuri barang kami. Namun, Firma berkata bahwa hal itu tidak akan terjadi. Belum sempat aku bertanya seorang wanita menghampiri kami dengan nampan yang dipenuhi berbagai makanan.

"Dua nasi, dua dada satu paha, dua medium cola, dua medium fried fries, dan satu pasta ya kak," ujar Wanita Kasir sambil menyerahkan semuanya kepadaku. Eh gila banyak amat, gumamku dalam hati.

"Cepet bawa, kau duluan gih!" pinta Firma. Aku mengangguk pelan dan segera mengambilnya nampan lalu berjalan ke meja tadi.

"Fir habis berapa ini? Oke sebelumnya aku ngucapin makasih kamu udah baik banget samaku dan hampir sebagian besar kebutuhanku dari kamu. Tapi, sekarang aku mulai sedikit khawatir sama finansial kamu, kamu gak ditanyain ama 'orang tuamu' itu?"

"Orang ini pake uang ku sendiri. Sama barang-barang yang kamu total habis ...." Firma berpikir sejenak, "habis Rp600.000-an."

Busyet! gumamku terkejut. "Kamu pakai uang sendiri? bukannya masih mahasiswa?"

"Mahasiswi!"

"Eh ... ah iya-iya mahasiswi." Yaelah padahal sama aja, gumamku. "Jadi gimana?"

"Ada deh, aku males jelasinnya udah tuh makan," ujar Firma sambil meminum colanya. Aku hanya mendengus kesal.

"Sebulannya berapa?" tanyaku lagi. Agak gak percaya juga kalau dia kerja, toh kalau kerja paling—

"$50 USD."

wuanjir! Aku tersedak hebat karena tidak percaya. "Serius?" aku bertanya sekali lagi, Firma hanya mengangguk pelan. Aku segera membuka kalkulator di handphoneku. "Rp660.000?"

"R400.000-an Dik, kan Rp8.000 per $1-nya," jelas Firma sambil melanjutkan makannya. "Udah makan aja, aku gak bakal nuntut balik atau gimana-gimana," tambah Firma. Aku mengangguk pelan. Cukup lama kami berbincang ringan sambil menyatap sarapan kami, hingga tak terasa tiga puluh menit berlalu.

"Alhamdulillah," ujar Firma sambil mengelap mulutnya dengan tisu bayi yang dia bawa. Aku melihat bentuk badan Firma yang begitu ramping sangat berbanding terbalik dengan nafsu makannya.

"Kamu ngabisin pasta semuanya, dada tambah nasi sama kentang goreng sendirian?"

"Lah kau juga dada, paha tambah nasi sama kentang goreng?"

"Paha emang kita berdua yang ngabisin!" belaku. Firma hanya tertawa.

"Gak papa, kebetulan aku lagi pengen junk food. Aku ke toilet dulu," ujar Firma sambil pergi ke toilet. Aku mengangguk pelan seraya membersihkan tangan dan mulutku dengan tisu bayi milik Firma. Tak lama kulijat Firma sudah keluar dan tengaj berjalan ke arahku.

"Yuk!" ujaku sesaat setelah Firma sampai.  Ku kaitkan tasku di kedua bahuku dan mengambil satu tas Firma yang besar. "Udah sama aku aja." Firma hanya tertawa pelan.

"Sekalian yang ini dong?" tunjuk Firma ke tas satunya lagi. Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Kulihat Firma mengembungkan pipinya kesa. Melihat hal itu aku hanya tertawa pelan. Firma segera berjalan di depan dan aku mengikutinya. Semua prosedur yang terjadi aku hanya mengikuti perintah dari Firma. Untungnya, karena kami hanya membawa tiga tas, kami tidak terlalu repot dan segera mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomor tiket.

"Aku yang deket jendela ya Dik!" pinta Firma dengan wajah memelas. Aku hanya mengangguk pelan. Firma memilih kursi untuk dua orang yang ada di dekat sayap pesawat. Aku segera membuka bagasi atas dan menaruh tasku dan tas milik Firma.

"Bukannya kau belum pernah naik pesawat? kok tau ada bagasi diatas?" tanya Firma heran. Aku hanya tertawa pelan dengan penuh rasa jengkel.

"Di film-film juga ada adegan pemeran nyimpen bagasi di atas," jawabku segera duduk dan merebahkan punggungku. Firma hanya mengangguk pelan.

Terdengar suara pramugari tengah memberikan arahan dan perintah untuk memasangkan sabuk pengaman. Dengan sigap aku memperhatikan setiap gerakan dan perintah mereka. Tidak lupa aku pun membaca selembaran famplet, melihat hal ini Firma hanya tertawa.

"Kresek?" tanya Firma.

"Gak bakal muntah kali!" jawabku sewot. Firma hanya tertawa. Aku segera mengenakan earphone dan mendengarkan lagu yang ada. Tak terasa pesawat telah siap untuk terbang, bersamaan dengan itu. Tanpa kusadari Firma sudah tertidur pulas. Entah karena goncangan kepalanya tertidur di bahu kiriku. Aku hanya tersenyum dan melirik ke jam tanganku.

Masih pagi juga sih, wajar kalau ngantuk, lagian habis makan, kebo juga abis makan tidur, aku berguman dalam hati dan memejamkan mataku. Belum sempat aku terlelap kurasakan bahu kiriku mulai basah. Ah! Bikin pulau nih anak!

***

Dipublikasikan pertama kali:
23 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
18 Desember 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top