Chapter 23. Dua Hujan
Aku sengaja berdiri menunggu semua orang keluar dari masjid dari kejauhan. Ku perhatikan satu per satu orang yang keluar, berharap bisa kutemukan Pak RT diantara lautan manusia. Namun hasilnya nihil. Hingga seorang pria tua keluar lalu menutup pintu pagar, tak ku jumpai Pak RT keluar dari sana.
Pak RT kemana? Apa masalahnya belom selesai juga? Sejenak aku terdiam, dan melihat ke kanan dan kekiri. Namun, tidak ada siapapun disana kecuali aku dan beberapa pemuda yang tengah nongkrong. Terpaksa, aku segera melangkah pergi ke kamarku.
Ditengah perjalanan, air hujan mulai membasahi tubuhku secara perlahan. Kupercepat langkah kakiku agar bisa sampai tidak terlalu basah. Hujan semakin lama semakin besar, disusul dengan suara petir yang seolah-olah teriakan dari bumi yang menangis. Beruntung, aku tidak harus menepi di tengah jalan, walau tidak bisa kupungkiri, sebagian tubuhku terasa basah juga dingin. Sesaat sebelum
melangkah menaiki tangga, sejenak aku berpikir dan memutuskan untuk berjalan dengan rute lain. Jika biasanya aku terus menaiki tangga hingga lantai atas, kini di lantai kedua aku sudah berbalik arah ke arah berlawanan. Dengan begitu, kamar pasangan yang membuatku berselisih dengan Firma berada di sebrang, sedangkan kamarku berada di sisi kanan. Dari kejauhan ku rasakan suasananya begitu tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Hal yang berbeda jika di zamanku. Hampir semua orang berbondong-bondong mengerumuni area TKP untuk melihat wajah pelaku.
Apa udah di selesaikan sama Firma dan Citra? tanyaku pelan. Walau dari lantai kedua pintu kamar Firma tidak terlihat karena terhalang pembatas, tapi bisa kupastikan dari lampu kamarnya yang gelap Firma belum pulang. Hujan semakin ganas membasahi kota ini, semakin lama suasana dingin mulai menusuk tulang dan dagingku. Tak ingin membuang waktu lama, segera aku berjalan menuju kamarku.
Sudah kuduga belum pulang, gumanku pelan seraya berhenti dari kejauhan. Seperti yang kusimpulkan, lampu kamar Firma memang tidak menyala. Dengan pelan aku segera melangkah menyusuri teras menuju kamarku. Sesaat setelah aku berbelok, kulihat sosok wanita yang kukenal tengah duduk di lantai dengan punggung bersandar di pintu kamar Firma dan menundukan kepalanya ke bawah tanpa suara. Cukup lama aku terdiam memandang sosok itu yang tidak lain adalah si pemilik kamar. Sadar apa yang tengah terjadi ku dekati Firma dan coba memperbaiki keadaan.
"H-hey," sapaku sedikit terbata-bata, "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" Firma hanya diam tak bereaksi. Sesaat kemudian, Firma hanya mengangguk pelan.
"How's life?" tanyaku lagi.
"Fine."
"Really?"
"I just feel ...," Firma terdiam tak melanjutkan perkataannya. Cukup lama aku menunggu perkataan apa selanjutnya, namun sepertinya Firma tidak ingin melanjutkannya. Sejenak aku coba mengatur nafasku. Mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin, dan mengumpulkan keberanian untuk bertanya tentang hal itu.
"How about—"
"It's over," potong Firma cepat seolah-olah Ia tahu apa pertanyaanku.
"How?"
"Simple ... cukup jelasin ke pak RT terus pak RT sama aku datang kesana, lalu kita semua ketemuan di kantor polisi terdekat."
"Kita?"
"Orang tua mereka masing-masing, selanjutnya terserah orang tua mereka." Aku mengangguk pelan mencoba membayangkan apa yang di ucapkan Firma di benakku.
"Fir, sebelumnya ...." Kucoba mengambil nafas sejenak, dan melihat Firma yang masih menundukan kepala. "Maaf, soal apa yang terjadi sebelumnya."
Hening. Tidak ada reaksi apapun dari Firma. Hanya ada deru hujan petir yang mengetarkan gendang telingaku. Cukup lama aku menunggu Firma bereaksi. Selama beberapa menit, mataku hanya diisi oleh wanita yang duduk disampingku. Selama itu juga wanita itu hanya terdiam seolah-olah tengah menjadi patung hidup.
"Fir, kamu—"
"Kau pernah dengar?" potong Firma seraya melihat ke arahku. "Rasululllah pernah bersabda 'Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya' kau pahamkan maksudnya?" tanya Firma lagi. Kulihat sorot matanya sama seperti saat aku tengah berselisih dengannya.
"Aku hanya ingin menutupi aibku, rahasiaku, dari temanku, Pak RT, Citra, dan kau dengan cara menutupi aib mereka karena kebodohan mereka, kekhilafan mereka, ketidak tahuan mereka! Aku hanya ingin melakukan itu! Salahkah aku? Aku ... aku. Firma tak melanjutkan perkataannya. Kulihat Firma kembali menundukan kepalanya, merapatkan kakinya lalu memeluk kakinya. Dari suaranya, aku bisa membayangkan Ia mengigit bibir bawahnya berusaha menahan isak tangis. Tangisan air mata yang tak kuasa Ia bendung seolah-olah berduet dengan hujan malam ini yang membasahi muka bumi ini.
"I'm here..." ujarku pelan sambil bergeser lebih dekat ke arahnya. Beruntung, suara tangisannya tertutup oleh hujan lebat yang tengah melanda. Firma terus berusah mati-matian menahan suara dan air matanya agar bisa berhenti.
"It's ok, no problem. Terkadang, menangis diperlukan," ujarku pelan. Firma terdiam sejenak dan memandang ke arahku.
"Menangislah, tak perlu ditahan." Sontak air matanya keluar bagai bendungan yang hancur tiba-tiba. Kubiarkan wajahnya tertanam dan air matanya membasahi pundakku. Tangannya mencengkram lengan bajuku dengan kuat seperti elang pada mangsanya. Aku hanya terdiam mendengar jeritan pilu seorang teman ditengah hujan Ibu Kota.
Tak sampai lima belas menit hujan mulai mereda, begitu pun dengan tangisan Firma. Ia masih bersandar di bahu kiriku dengan dan masih mencengkram lengan bajuku. Samar-samar masih terdengar isak suara tangisannya. Kurasakan tatapan yang kosong memandang ke arah kakiku, seolah tengah menerawang apa yang telah terjadi.
"Hei," ujarku mencoba memecah keheningan.Firma hanya melirik ke arahku. "Tadi aku dikasih sama tetangga di depan, kebanyakan coklat sih jadi kupikir kamu aku gak bakal bisa menghabiskan, nah kebetulan kamu suka jadi bantu habis." Firma segera melihat ke arah kantuk kresek yang ku bukakan di depannya, lalu beberapa detik kemudian berpaling ke arahku. Aku berusaha menghindari kontak mata dengannya. Tak lama ia hanya tertawa pelan.
"Bohong, orang struknya masih di kresek." Aku hanya bisa diam berusaha bertingkah gugup. Struk itu sengaja tidak kubuang sebab, aku berpikir mungkin hal itu bisa membuatnya tersenyum, dan ternyata itu berhasil.
"Ah i-itu tadi ... oh Iya! kan gak sengaja liat struk dijalan. Nah aku mau buang eh gak ada tempat sampah makannya aku simpan di kantong." elakku.
"Hm... dua buah minuman kopi kaleng rasa mocha, satu batang goldqueen ukuran besar, terus ..., Ya ampun sama banget kaya di kantong!" ujar Firma sambil mengeluarkan semua dari kantong kresek dan membacakan struknya. "Tanggalnya juga sama kaya hari ini. Kok bisa sih?" tambah Firma lagi seraya tertawa. Dengan cepat aku mengambul struknya dan memasukannya ke dalam kantong celanaku.
"Diem ah!"
"Oke, aku akan pura-pura bodoh," ujar Firma sambil memejamkan matanya dan menghela nafasnya. "Wah! Kok kau bisa dapat banyak coklat? Beruntung banget kau Dik!"
"Gak lucu sumpah!" Firma hanya tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahku. Ya biarlah hari ini aku tampak terlihat bodoh, melihatnya tertawa itu lebih menyenangkan. Aku segera membuka minuman kalengku dan meminumnya sambil memandang langit. Tanpa kusadari Firma sudah membuka coklat batangannya dan memakannya. Terlihat raut wajah sudah mulai membaik. Raut kebahagian dan tanpa beban membuatnya terlihat seperti Firma yang kukenal.
"Gak sopan banget makan duluan?" celotehku.
"Biarin! Orang kau niat beli untukku kan? Wee!"
"Bilang makasih kek!" kataku ketus sambil membuang muka. Firma hanya tertawa melihat tingkahku. "Mana?"
"Makasih kakak Dika," jawab Firma yang meniru Citra. Aku hanya menegak kembali kopi rasa mocha yang ku pegang. Cukup lama aku terdiam sambil melihat bulan yang mulai menampakan kecantikannya.
"Fir, lihat deh."
"Hmm? Apa Dik?" tanya Firma. Belum sempat aku berkata, mataku secara tanpa sengaja melihat coklat yang kubeli tersisa tiga batang lagi.
"Tunggu ..., itu tinggal segitu?" tanyaku seraya menunjuk coklat yang dipegang Firma. Firma hanya mengangguk dengan wajah polosnya. "Aku emang niat beliin kamu coklat tapi, gak sampe dihabisin juga kali."
"Wah maaf-maaf, enak sih!" ujar Firma tertawa. Aku hanya mencibir Firma dan segera membuka sebungkus pocky yang ada.
"Nih!" Kulirik Firma tengah memegang satu batang coklat dan mengarahkannya kepadaku. Aku terdiam sejenak melihat Firma bisa bertingkah seperti itu.
Ah, terserah. Kubuka mulutku dan Firma menaruh coklatnya dimulutku seraya tersenyum, lalu kembali memakan coklatnya sampai habis.
Meong. Terdengar suara kucing mengeong dibalik pintu kamarku.
"Oh Katie!" Aku segera membuka pintu dan terlihat Katie berlari dan tiduran di pahaku. "Wah maaf sampai kelupaan, Katie!"
Meong.
Katie memandang ke arahku dengan matanya yang besar juga bulat. Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya.
"Oh iya, Fir, kok tumben kamu baik mau menyuapiku?"
"Menyuapi?"
"Tadi coklat," ujarku pelan sambil melihat ke arahnya. Kulihat Firma tampak bingung dengan pertanyaanku. Tak lama kemudian, matanya melotot dan kulihat wajahnya memerah.
"I-itu, gak sengaja a-aku .... Argh!! Pokoknya jangan pernah omongin itu kesiapapun! Apalagi ke Citra! Titik!" ujar Firma terbata-bata.
"Emangnya—"
"Ah! Ini gara-gara kau sih!"
"Lho? Kok aku? Orang kamu yang—"
"Ah lupakan!" potong Firma seraya mengambil minuman kaleng yang ada di lantai dan meminumnya.
Melihat hal itu aku hanya menghela nafas dan mengambil minuman kaleng yang ada di kresek dan menggoyangkannya. Firma terdiam sejenak melihat ke arahku. Beberapa detik kemudian, Firma tersedak hebat menyadari bahwa Ia meminum minuman milikku. Kulihat wajahnya yang kaget, marah, malu bercampur menjadi satu.
"K-kau sengaja kan? Ngaku kau!" tuduh Firma dengan muka merah padam. Aku hanya menghela nafas pasrah, dan memakan pocky bagianku.
***
Dipublikasikan pertama kali:
20 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan
25 November 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top