Chapter 13. "I'm Okay!"
"Huah." Aku dan Firma menguap bersamaan.
"Anak muda ini ... pagi-pagi udah pada nguap," ujar pak RT sambil duduk di kursi kayunya.
Aku hanya terkekeh pelan seraya mengusap mataku. Aku dan Firma sengaja datang pagi-pagi kembali ke rumah pak RT untuk menyelesaikan maksudku untuk tinggal sementara di sini sampai beberapa hari ke depan, juga sekalian mengantar Anna yang masih tertidur. "Kalian ngapain aja semaleman?" tanya pak RT lagi sambil meminum kopinya, "jangan-jangan ...."
"Cuma diem aja pak diluar," jawabku cepat memotong pembicaraan pak RT.
"Kenapa gak pada tidur?"
"Ya, gitulah pak. Gak ada sesuatu yang perlu dijelaskan kok pak," jawabku singkat karena tidak mau pak RT mengetahui alasan aku dan Firma begadang. Sebenarnya semalaman kami mengobrol berbagai macam hal hingga fajar menyingsing. Aku juga sudah menyiapkan mental bila benar aku akan mati beberapa saat kemudian. Tapi hingga kami menyelesaikan ibadah sholat shubuh pun, sepertinya ceritaku tidak seperti para sahabat Kahfi.
"Iya. Untung masih hidup ya," celoteh Firma pelan.
Mendengar hal itu aku hanya tertawa kecil. Sekilas pak RT terlihat bingung akan percakapan kami.
"Aku ke kamar dulu aja ya Dik. Kamu bisa ngurusin sendiri, kan?" tanya Firma.
Aku mengangguk pelan. "Iya gih. Sekalian tidur sana. Aku disini aja sama pak RT," jawabku.
"Iya. Pak RT di tinggal dulu ya. Assalamu'alaikum," ujar Firma sambil meninggalkan aku dan pak RT.
"Wa'alaikumsalam," jawab kami bersamaan.
Kulihat pak RT kembali membenarkan posisi duduknya. "Kirain kemarin datang mau minta bantuan ngurusin buat ke KUA," ujar pak RT. Aku hanya terkekeh pelan. "Bentar lagi pak Burham bakal ke sini, soalnya tadi shubuh udah bapak sms biar mampir dulu ke sini. Jadi paling tiga sampai empat puluh menit lagi sampe dia." Aku hanya mengangguk pelan. Jujur, dengan kondisi yang mengantuk, aku tak terlalu memperhatikan perkataan pak RT tadi. "Gimana kalau kita catur dulu?" tawar pak RT
"Catur? Ah boleh," jawabku setuju. Lumayan biar gak ngantuk, tambahku dalam hati.
"Cit! Ambilin papan catur punya abi di gudang!" panggil pak RT sambil sedikit berteriak. "Eh, mau kopi gak?"
"Ah, gak pak tadi malam udah ngopi sama Firma berdua sambil makan roti," tolakku.
"Laganya kalian udah kaya suami istri aja," canda pak RT sambil terkekeh.
Aku hanya ikut tertawa walau aku tak bisa menangkap perkataannya.
"Ini Bi," ujar sesorang wanita dari dalam rumah. Tak lama seorang wanita mengenakan jilbab polos berwarna hitam dengan terusan baju lengan panjang berwarna putih dan rok abu-abu menghampiri kami dengan papan catur di pegangnya. Matanya yang berwarna coklat kehitam-hitaman menambak keanggunan di wajahnya. Wanita itu bisa kuperkirakaan seusia dengan Firma.
"Makasih ya."
Wanita itu hanya mengangguk pelan.
"Susu!" ujarku spontan. Pak RT mengerutkan dahinya, bersamaan dengan itu sosok wanita yang masih berdiri disamping pak RT memandang ke arahku. "Pak, mungkin kalau kopi saya takutnya asam lambung. Jadi kalau ada sih susu aja," tambahku lagi.
"Ah, iya-iya benar juga. Citra, abi minta tolong ya, tolong buatin susu segelas yang pa ...."
"Besar dan hangat," ujarku memotong pembicaraan.
"Iya yang besar gelasnya terus hangat."
Gadis itu mengangguk pelan dan meninggalkan kami. Aku segera menempatkan bidak-bidak caturku ditempatnya.
"Dia itu Citra. Anak bapak yang pertama, sedangkan Anna anak ke dua. Dia seumuran sama kamu Dik, lagi ngambil jurusan bahasa arab di Jawa Tengah. Kemarin, sehabis kamu pulang dia baru sampai ke rumah," jelas Pak RT sambil memajukan pion miliknya.
"Oh, Citra umurnya lima puluh tahun pak?" tanyaku sambil terkekeh.
Mendengar perkataanku, pak RT hanya membalas dengan kibasan tangannya sambil tertawa. "Ngawur kamu!" ujar pak RT. Aku mulai memainkan bidak caturnya.
"Oke pak jalan," ujarku. Tidak sampai lima menit aku sudah menghabiskan sebagian bidak-bidak milik pak RT.
"Kamu hebat banget maennya Dik? Jadi inget pas jaman muda," jawab Pak RT
"Ah, sekarang juga masih muda pak!" celotehku yang dibalas dengan hardikannya.
"Sttt!! Diem! lagi mikir!"
"Oke pak ditunggu," jawabku sambil merebahkan punggungku yang agak berat. Angin yang menerpa tubuhku terasa memanjankan tubuh ini yang amat lelah. Tidak luput mata begitu berat memaksa aku untuk menutupnya sebentar.
***
"Dimana aku?" tanyaku pelan. Semua terasa begitu gelap, dingin, dan lembab. Tidak terlihat apapun sejauh mata memandang. Hanya gumpalan asap atau mungkin kabut di tanah yang aku pijak.
"Assalamu'alaikum ... halo ...," ujarku memanggil seseorang yang mungkin ada di tempat ini. "Aneh banget." Aku menengok ke arah belakang, lalu memutuskan untuk berjalan ke depan. Baru beberapa langkah—sekitar tiga puluh langkah—samar-samar kulihat seseorang tengah berdiri dengan mantel berwarna hitam.
Eh ada orang tuh lagi diri sendirian? ujarku dalam hati. Refleks, aku menghampirinya. "Maaf, Bang mau na ...."
"Ibu ... maaf," ujar lelaki itu sambil terisak-isak menangis dan tersungkur jatuh tak berdaya.
Lho? Kok nangis? ujarku dalam hati. Tak berapa lama angin menerpa kabut dan ekor mataku menangkap sebuah gundukan tanah dengan sebuah batu nisan menancap tepat di depan lelaki itu. Aku terdiam melihat pemandangan yang terjadi di depanku. Tidak lama, pemuda itu berdiri bangun dan melangkah pergi meninggalkanku.
"Eh bang tunggu dulu," panggilku pelan. Namun, pemuda itu seolah tidak mendengarnya dan menghilang diantara gelapnya tempat ini. "Yah," keluhku. Aku segera menoleh ke kuburan tadi dan membaca nama yang sangat kukenal. Nama yang tertulis di sana sama persis dengan nama Ibuku.
Teringat kembali kejadian tadi, seorang pemuda yang tengah jongkok dan menangis di depan kuburan ini. "Mungkinkah itu aku?" tanyaku pelan. Tidak terasa air mataku membasahi pipiku setetes demi setetes. Di mana, di tempat ini aku selalu mendoakannya dan kadang menangis ditengah doa mengingat kenangan dan kebaikan beliau.
Ibuku wafat ketika aku masih menginjak bangku SMA kelas X, dan pada saat itu aku belum bisa membanggakannya. Jangankan membanggakannya, membalas kasih sayangnya pun tak bisa, atau mungkin tak mampu. Aku terdiam memandang batu nisan yang ada tertancap disana. Tiba-tiba terdengar suara patahan dari arah samping kananku. Kulihat patahan tanah itu secara perlahan bergerak mendekatiku. Segera aku berdiri dan hendak bergerak mundur, tapi semuanya terlambat. Patahan itu tiba-tiba bergerak sangat cepat dan membuat lubang sehingga aku terjatuh ke dalam lubang itu. Aku terjatuh dengan cepat, menukik bagaikan meteor jatuh. Tidak lama seorang wanita melesat cepat menghampiriku dan memelukku dengan hangat.
"A-apa yang terjadi?" tanyaku lirih. Wanita itu hanya tersenyum ke arahku. Tak lama seberkas cahaya muncul mengerumuni punggungnya dan membentuk sebuah sayap bermandikan cahaya. Dengan sekali kibasan, aku melesat ke atas melewati lubang patahan tadi.
"Kamu tau itu apa?" tanya wanita itu lembut sambil menunjuk lubang dimana aku terjatuh.
Aku menggeleng pelan tak tahu.
"Itu adalah jurang penyesalan." Aku terdiam melihat kembali lubang itu. Belum sempat aku bertanya sosok itu sudah menghilang entah kemana.
"Jangan pernah terjatuh kedalam jurang penyesalan ... Nak." Aku terdiam mendengar suara itu. Tak terasa kedua mata mulai mengeluarkan setetes air yang membasahi pipiku.
"Hey." Segera kubuka dan melihat ke sekeliling. Terlihat sosok wanita di sampingku dengan raut wajah yang khawatir.
"Kamu gak papa kan?" tanya wanita itu yang tidak lain adalah Citra.
Mimpi, kah? tanyaku dalam hati. Tak terasa pipiku ini basah karena air mataku sendiri.
"H-hey, kamu gak papa kan?" tanya Citra itu lagi sambil menaruh segelas susunya di atas meja. Aku terdiam berusaha mengontrol napasku dan mengusap air mata di kedua mataku. Aku tahu menangisi Ibuku hanya akan membuatnya sedih. Itu hanya akan membuatnya merasa sulit di ssana. Yang ia perlukan hanya doa, bukanlah air mata, batinku.
Aku mencoba memandang Citra dan kulempar senyuman. "I'm Okay," ujarku pelan. Disamping itu aku mencoba memejamkan mataku.
I'm okay, mom! Really! Aku takkan terjatuh lagi. Walau kita tak seperti dulu, tapi ibu selalu ada di hatiku. Dan aku akan selalu menjadi anak yang manja di pelukanmu. Kupejamkan mataku dan menikmati usapan angin dirambutku.
***
Dipublikasikan pertama kali:
10 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
1 September 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top