Chapter 12. Malam Dibawah Bintang Bergerak

Terdengar suara engsel pintu dari pintu apartemen Firma. Sekilas kulihat mukanya sedikit memerah. "M-masuk kau."

Aku hanya mengerutkan dahiku heran. Kenapa tuh anak? tanyaku dalam hati. Namun rasa penasaranku aku tepis dan segera masuk. Kulihat apartemen Firma cukup luas dan tertata rapi, kudapati juga Anna juga tengah sibuk sendiri di ruang tengah.

Wangi, gumanku pelan sambil memejamkan mataku. Harum bunga lavender begitu kental di apartemen Firma. Kulihat seisi ruangan namun tak terlihat bunga lavender.

"Fir?"

"I-iya?" tanya Firma yang masih berdiri di belakangku. Kulihat ia tengah mengarahkan pengharum ruangan lavender ke pojok ruangan dan di atas kepalaku. "Kenapa?" tanya Firma.

"Ha ... ha ... ha," jawabku sambil tertawa garing dan segera melangkah masuk. "Hmm?" Aku berhenti sejenak melihat dua buah pintu yang ditempel sebuah kertas di masing-masing pintu. Yang satu bertuliskan "KAMAR FIRMA"yang satu "KAMAR DIKA".

"Itu kalau kau lupa dimana kamar kau!" jelas Firma yang sepertinya paham pertanyaan di dalam benakku. Aku hanya tertawa garing lagi melihat ini dan segera masuk. Sepulang dari rumah Pak RT Firma memintaku untuk menunggu di luar apartemennya karena hendak mandi terlebih dahulu. Aku hanya mengangguk pelan. Toh, cuma mandi doang, pikirku. Namun apa yang terjadi berbeda dengan kenyataan. Selama lima puluh menit aku menunggu di luar dan baru diizinkan masuk tadi. Segera aku mengambil handuk yang ada di kamar. Tidak lupa baju saat aku kecelakaan yang dicuci di rumah sakit kubawa dan segera pergi ke toilet.

"Hmm?" Aku kembali terdiam melihat selembaran kertas yang tertempel di pintu dekat dapur.

"Toilet. Ketuk dulu sebelum masuk," ujarku membaca tulisan di kertas itu. Si Firma ternyata lama karena ini semua, gumamku dalam hati sambil mengetuk pintu toilet itu.

"KYAAA!!!" teriak Firma di dalam toilet. Mendengar teriakan itu aku ikut kaget dan melangkah mundur. "Si-siapa?" tanya Firma terbata-bata.

"Aku."

Hening.

"Kenapa kau gak manggil aja sih! Kaget tau! Kalau aku jatuh gimana coba?" tanya Firma lagi sedikit sewot.

"Kan aku ngikutin yang ditulis di kertas Fir," jawabku membela. Sejenak tak ada jawaban dari dalam. Tidak lama Firma segera keluar sambil menundukan kepala. "Akhirnya."

"Tunggu! Diam kau!" teriak Firma lagi. Aku terdiam melihat Firma segera pergi ke ruang tengah lalu kembali masuk ke toilet. Ngapain lagi tuh anak? tanyaku dalam hati. Baru saja hendak kuketuk kembali Firma sudah keluar dari toilet

"Gih masuk!" Aku mengerutkan dahiku mendengar Firma.

"Bener?"

"Iya!"

"Ya sudah." Aku segera melangkah masuk. Busyet, wangi lavender lagi, gumamku dalam hati. Tapi ... wajar sih orang dia abis mandi. Mungkin dia gak mau aku nyium bau sabun dan shamponya. Walaupun masih ada sedikit, ujarku tertawa kecil yang masih berdiri dengan baju lengkap sambil melihat kesekeliling toilet.

"Jangan mikir yang aneh-aneh kau! Lebih dari lima menit aku matiin lampu dan airnya!" teriak Firma dari luar, "kukunci juga!"

"A-apa! Ini juga lagi mau mandi!" ujarku pelan sambil mengambil beberapa gayung air dan menumpahkannya ke kakiku. Terdengar suara air yang kutumpahkan terlihat seolah-olah aku sedang mandi. Bersamaan dengan itu terdengar langkah kaki Firma menjauh. "Dasar! Emang gue tentara gitu. Lagian lima menit kan bentar banget," gerutuku sambil membuka baju. Beberapa detik kemudian lampu toilet mati secara tiba-tiba. "Oke Fir! Lima menit!"

***

Selesai juga, gumanku pelan sambil
melangkah keluar. Kulihat Firma tengah sibuk di dapur. "Lagi ngapain?" tanyaku dengan suara sedikit serak sambil menghampiri Firma dari belakang.

Tiba-tiba terdengar suara yang begitu keras dari arah Firma. Aku mengerutkan dahiku. Karena penasaran sedikit mengintip apa yang tengah dilakukan Firma. Kulihat sebilah pisau besar tengah menancap di papan kayu. Bersamaan dengan itu Firma menoleh ke arahku dengan sangat pelan.

"A-aihh kau rupanya Dik," jawab Firma sambil sedikit terbata-bata, "nih lagi motongin ikan buat makan kita." Firma tertawa dengan sedikit terpaksa. Kulihat sekilas tangannya menggenggam gagang pisau kuat-kuat.

"A-aku ke ruang tengah aja nemenin Anna."

"Lebih baik begitu," ucap Firma sambil tersenyum yang lebih mendekati sadis ketimbang manis. Aku segera duduk di ruang keluarga bersama Anna. Kenapa si Firma kaya yang parno gitu? tanyaku dalam hati.

"Hatsyi!" Kulihat Anna tengah menggesek-gesekan jarinya ke hidungnya yang sepertinya gatal. Aku segera mengambil tisu dan memberikan kepada Anna.

"Ah, ma-makasih kak ...," ujar Anna sedikit terbata-bata. Aku hanya tersenyum dan mengusap rambut Anna. Eh? Aku terdiam sejenak memperhatikan Anna. Lalu kembali melihat Firma. Tunggu jangan-jangan ....

"Anna makannya yang banyak biar makin cepet gede," ujar Firma menyadarkanku dari lamunan.

"Iya kak!" Anna segera merapikan bukunya dari meja ruang tamu, sedangkan aku membantu Firma meletakan piring satu persatu.

"Nih, Dik buat kau juga."

"Ah iya, thanks Fir." Aku segera menerima piring yang diberikan oleh Firma. Tempe, tahu, ikan, dan telur dadar menemani nasi putih di piring kami. Tanpa menunggu aba-aba aku segera melahap semuanya, kecuali ikan. Ketika hendak melahap untuk kesekian kalinya, aku tersadar kalau Anna memerhatikanku. Aku memandang Firma dan sepertinya Firma paham maksudku.

"Anna kenapa?"

"Pacarnya kak Firma gak makan ikannya."

"Ah ...." Firma segera melirik ke piringku.

"Kakak bukan pacarnya kak Firma, tapi temennya," ujarku sambil tersenyum.

"Oh ... ikannya kenapa gak dimakan kak? Kan sayang?"

"Gak papa kok, Anna mau?"

"Boleh?" tanya anak kecil itu sambil memandang mataku. Tampak matanya berbinar-binar mengharapkan ikanku untuk dimakan oleh mulut mungilnya.

"Anna makan yang punya kak Firma aja ya," tawar Firma.

"Gak usah Fir. Nih Anna," potongku sambil memindahkan ikanku ke piring Anna.

"Makasih kak!" ujar Anna sambil tersenyum.

"Kenapa gak kau makan ikannya ?"

"Ya, ribet makannya. Lagian ada yang lain. Kalau cuma ikan aja baru deh, mau gak mau dimakan."

"Maksudnya?"

"Iya, gak biasa makan ikan. Jadi, agak kurang lihai ngambil dagingnya ... ya pokonya gitu deh."

"Oh, jadi kau makan ikan harus diginiin?" tanya Firma sambil mengambil beberapa daging ikannya lalu menyimpan dipiringku, "manja amat."

"Diem ah!"

Firma hanya tertawa.

"Yey, Anna selesai pertama!" Anna berdiri dengan penuh kemenangan. Gile, tuh anak lapar apa doyan, aku menggeleng-gelengkan kepala melihat Anna yang sudah selesai makannya.

"Firma ke dua! Yang terakhir cuci piring," tambah Firma juga sambil tertawa yang disusul dengan tawaan Anna.

"Iya-iya, entar dicuci piringnya," ujarku sambil tetap menyatap makananku. Firma dan Anna segera pergi kebelakang sambil menaruh piringnya di dapur.

"Anna gosok gigi dulu yuk sama Kak Firma," ajak Firma sambil mengejar Anna yang berlari ke ruang tengah.

"Ah iya! Ayo kak!" Anna segera kembali berlari ke kamar mandi diikuti Firma dari belakang. Aku hanya memerhatikan tingkah mereka yang berlarian kesana kemari. Terdengar suara mereka bercengkrama di kamar mandi, kadang mereka tertawa bersama. Aku segera mencuci piring dan gelas yang ada di dapur.

"Yang bersih," ujar Firma sambil mengambil gelas di sampingku.

"Njeh non," jawabku menirukan para pelayan puteri kerajaan.

"Kak Firma aku ingin dibacain dongeng yang ini," rengek Anna sambil membawa bukunya.

"Oke!" jawab Firma sambil mengancungkan jempolnya, "aku ke kamar dulu ya."

Aku mengangguk pelan.

"Awas kalau kau ...."

"Iyeh! Kagak bakal!" Firma segera pergi meninggalkanku.

Fyuh, ujarku seraya merenggangkan tulang punggungku. Kuminum segelas air dingin dan berjalan ke ruang tengah. Suasana begitu tenang dan asri di apartemen ini. Tempat yang cukup luas dan sederhana ini membuatku nyaman dan sedikit melupakan kejadianku yang menimpaku. Terdengar samar-samar suara Firma di dalam kamarnya yang sedang membacakan cerita untuk Anna. Kubuka pintu depan dan segera pergi keluar untuk memandang langit gelap dari teras rumah.

Kontrakan Firma ini berada di lantai atas atau lantai tiga. Dibuat seperti layaknya sebuah apartemen di mana setiap lantai terdiri dari sembilan yang membentuk kotak, dengan masing-masing dua kamar tidur, dapur kecil, toilet, dan ruang tamu. Dan bagusnya, dari sini aku bisa melihat pemandangan malam Jakarta, walau tak seindah pemandangan dari RSNI.

Malam itu aku menatap langit dengan tenang. Terbesit hipotesa yang berdasarkan pengalaman Ashabul Kahfi ketika mereka tahu mereka terbangun di zaman yang berbeda maka esoknya atas izin Allah mereka di tidurkan untuk selama-lamanya. Mungkin esok pula aku tertidur.

"Ngapain kau?" Aku menoleh ke belakang dan kulihat Firma tengah berdiri di bibir pintu. "Can I join?"

"You gor it!." Firma berdiri disampingku sambil memandang langit.

"Anna udah tidur?"

"Udah, aku berbagi kasurku bersamanya."

"Oh."

"Ngapain diluar?" tanya Firma.

"Ah enggak, cuma ... lagi pengen aja," jawabku berbohong. Firma melirik ke arahku merasa ada yang janggal dengan jawabanku. Kucoba menghindari kontak mata dengannya. Namun, sorot pandang Firma yang tajam membuatku menyerah.

"Aku ... hanya ingin menikmati hari-hari terakhirku," jawabku jujur. "Kau tau cerita soal para sahabat Kahfi?" tanyaku.

Firma hanya terdiam.

"Ya itupun hanya hipotesa, selebihnya ... aku tak bisa tidur," tambahku lagi, "lagian kamu seperti tidak nyaman dengan keberadaanku di apartemenmu."

"Ma-maksudnya?"

"Melihat gerak gerikmu aku tau kau merasa asing dengan suasana tadi. Apalagi ketika aku habis mandi. Mungkin kamu ragu untuk menoleh, sebab kamu sendiri tidak tahu apakah aku menggunakan baju atau belum," jelasku. Sejenak kulihat wajah Firma tertunduk dan memerah. "Ditambah lagi aku ...."

"Kau ... kenapa?"

"Aku ... menghargaimu sebagai seorang wanita. Walau kita tidak melakukan apa-apa tapi, aku menghormatimu. Jadi, aku memutuskan untuk tetap di luar sampai pagi nanti," ujarku sambil menatap langit malam.

"Thanks," ucap Firma pelan.

Aku hanya tersenyum.

"Sekarang kenapa kamu belum tidur?" tanyaku heran yang melihat Firma berdiri disampingku cukup lama.

"Aku juga gak ngantuk sih, jadi mungkin aku bakal nemenin kamu. Kasian juga kakek-kakek lima puluh tahun di luar sendirian," ujar Firma sambil tersenyum ke arahku.

Aku menghela napas pasrah.

Firma hanya tertawa kecil.

"Secangkir susu coklat panas menemani malam ini?" tawar Firma.

"Perfect."

"Ditambah roti tawar dengan selai blueberry?"

"Pasti akan menjadi malam yang indah," jawabku sambil memandang Firma. Kami saling pandang satu sama lain. Firma hanya tersenyum dan kembali masuk ke rumahnya. Terdengar suara pesawat melintas di atasku. Di bawah langit malam yang ditemani lampu pesawat yang bergerak, aku teringat akan perkataan mendiang Ibuku.

"Setiap ciptaan-Nya memiliki nilai tak terhingga. Hargailah mereka, walau itu tak menjamin kamu dihargai oleh mereka."

***

Dipublikasikan pertama kali
9 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan
29 Agustus 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top