Chapter 11. Hasil Perundingan
"Serius?" tanyaku pelan. Firma mengangguk pelan dan melangkah masuk. Firma mengajakku ke sebuah rumah rumah yang sangat sederhana, tidak terlalu besar, tapi amat sangat nyaman. Warna hijau di dinding sangat selaras dengan lingkungan teras yang dihiasi bunga-bunga hias di pot yang tertata rapi.
"Heh, sini kau!" panggil Firma pelan. Aku hanya mengangguk dan segera duduk di samping Firma. Tak lama datang seorang wanita berusia kira-kira empat puluh tahun datang menghampiri kami sambil membawa nampan dan minuman di atasnya.
"Ini silahkan di minum tehnya."
"Ah, terima kasih, Bu," jawab Firma sambil tersipu malu. "Duh, jadi ngerepotin ya, Bu."
"Gak papa kok. Oh iya, gimana kondisinya sekarang?"
"Alhamdulillah, udah sehat kok, Bu."
"Maaf lho Ibu gak sempat ngejenguk nak Firma, pasti kesepian ya di sana gak ada teman ngobrol."
"Enggak juga kok, soalnya ada dia nih,nyang nemenin aku ngobrol," jawab Firma sambil melirik ke arahku.
Aku hanya tersenyum kecil.
"Oh, ada yang ganteng toh sering ngejenguk." Wanita itu tertawa pelan.
Aku dan Firma saling pandang.
"Ah enggak gitu Bu maksudnya ...."
"Ah, Firma!" ujar seorang laki-laki yang baru datang dan langsung duduk. Rambutnya yang mulai memutih dengan kaos oblong putih dan sarung kotak-kota yang melekat di pinggangnya menggambarkan usianya sekitar lima puluh atau enam puluh tahun. "Bu tolong buatkan kopi item buat bapak," ujar laki-laki itu lagi sambil menepuk pundak istrinya.
"Iya, baik, pak. Nak Fir ditinggal dulu ya," ujar Ibu itu yang segera meninggalkan kami.
"Jadi, ada perlu apa ini?"
"Jadi gini, Pak, anu ...." Firma melirik ke arahku. "Kau saja yang jelaskanlah! Ribet aku!" Firma berbisik kepadaku.
"Eh!" Aku terkejut sewot mendengarnya. "'Kan situ yang ngasih usulan, kok malah ribet?"
"Ah sudahlah! kau 'kan cowok, masa ngelakuin ini aja gak bisa? Gimana entar masa depan kau."
"Tapi kan ...."
"Sudah-sudah jangan bertengkar, ah,"
potong lelaki itu sambil tertawa.
"Jadi inget pas masa muda kita ya, Pak. Bapak juga dulu sampai keringet dingin."
"Ah, itukan Ibu yang maksa buat ketemu langsung hari itu juga. Lagian Bapak baru sembuh demam," elak lelaki itu sambil tertawa bersama istrinya.
Aku dan Firma hanya bisa bengong menanggapi mereka.
"Silahkan diminum dulu minumannya. Kita ngobrolnya santai aja," ujar lelaki itu mempersilahkan kami sambil meminum kopinya.
Aku dan Firma mengangguk dan meminum teh yang disediakan.
"Jadi," ujar lelaki itu lagi sambil menaruh kopinya, "kapan nih kalian bakal nikahnya?" Tiba-tiba aku tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pertanyaan itu. Begitu juga Firma.
"Aih, Bapak!" ujar si ibu sambil mencubit punggung tangan kiri suaminya. "Katanya santai, malah langsung nanya begitu?"
"Iya maaf, 'kan Bapak cuma nanya," jelasnya sambil tertawa. Aku masih sibuk dengan batukku. Sesekali kupijit bagian leherku.
"Jadi ada perlu apa nih? Kalau masalah KTP-E gampang kok, tinggal lapor ke KUA dulu, nanti abis nikah baru di update di KUA terus ...."
"Bukan, Pak, bukan itu," potongku sambil memijit lembut leherku. Karena tersedak, suaraku sedikit parau dan terasa perih. Gue bisa, gue harus bisa! gumamku dalam hati. Aku mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan.
"Jadi gini pak," ujarku mengambil cangkir tehku dan meminumnya sedikit, "saya mau ... ngontrak."
"Ngontrak?"
"I-iya."
"Kawin kontrak? Emang Firma mau? Gak boleh lho! Kalau mau nikah ya nikah aja langsung," kulihat Firma memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya.
"Bukan pak ... saya ... mau ...." Kulihat Firma menajamkan pandangannya ke arahku. "... saya ... mau ...."
"Dia pengen ngontrak, Pak di apartemen saya. Kebetulan, 'kan ada yang kosong di samping saya," jelas Firma cepat.
Lelaki itu mengangkat satu alisnya.
"Kalau ngontrak kenapa datang ke RT?" tanya lelaki itu lagi sambil merubah posisi duduknya, "tinggal ngomong ke Pak Burham yang punya, beres deh."
"Nah itu dia masalahnya ... jadi gini pak ...." Firma mulai membuka dan menjelaskan. Cukup lama aku dan Firma menceritakan semua yang terjadi dan menimpa diriku. Tergambar raut wajah suami istri itu menjadi kusut setelah mendengar cerita kami.
"Jadi," ujar lelaki itu kembali menyeruput kopinya, "kamu tersadar ada di rumah sakit dan seruangan sama Firma. Lalu nyari ke rumah saudaramu tapi gak ada dan gak tau di mana dia. Dan sekarang karena udah malam Firma ngusulin buat ngontrak di bangunan yang ada di samping bangunan Firma. Tapi syaratnya itu harus ngisi identitas, dan kamu gak punya kartu identitas. Akhirnya Firma ngusulin buat ketemu saya?"
Aku mengangguk.
Lelaki itu menyenderkan badannya dan menahan dagunya dengan tangan kirinya.
"Pantas datang buat bertemu bapak, orang nak Dika kaya gak punya identitas disini," tambah istrinya. Yeh bu identitasmah punya! Yang gak punya E-KTP-nya.
"Emang KTP-E-nya dimana? Hilangnya tau gak?"
"Gak tau, Pak, yang jelas dompet saya hilang pas udah sampe di RSNI juga, nah E-KTP saya ada disana."
"E-KTP?"
"Eh, KTP-E maksudnya, Pak." Aku tertawa pelan.
Mendengar hal itu lelaki itu tertawa.
"Bener juga, kebanyakan di tahunmu bilangnya E-KTP ya? Kalau di sini bilangnya KTP-E," jelas lelaki itu lagi.
Aku hanya tertawa pelan.
"Tapi soal ini," ujar lelaki itu memajukan badannya, "kalau sekarang sudah malam Fir. Walaupun bapak selaku RT di sini tetap saja. Pak Burham yang punya kontrakan juga gak bisa datang ke sini. Rumahnya juga jauh."
Memang benar. Kayanya gak sopan deh kalau ganggu seseorang malam-malam begini, lagian bakal susah juga ngejelasin semuanya, ujarku dalam hati berpendapat.
"Terus pak, ada solusi gak?" tanya Firma.
Lelaki tua itu memejamkan mata sambil menyenderkan kembali badannya yang gemuk itu.
"Kak Firma?" Terdengar suara anak kecil berlari ke arah Firma.
"Ah, Hai Anna!" sapa Firma ramah. Anak kecil yang dipanggil Anna itu segera memeluk Firma seperti kakaknya sendiri.
"Kak Firma udah sembuh?"
"Udah, kan, udah pulang nih."
"Asyik, entar bantuin Anna nyelesein tugas matematika dong, bingung," pinta Anna manja.
Firma mengangguk pelan sambil mengelus-elus rambut Anna.
"Nanti ya, habis ini," ujar Firma lagi sambil tetap mengendong Anna dipangkuannya. "Jadi gimana Pak solusinya?"
"Paling ya, kalau misal nak Dika mau tidur di sini ya di ruang tamu ini, soalnya di sini cuma ada dua kamar tidur. Kalau enggak ya nginep di kontrakan kamu aja Fir?"
Firma terdiam mendengar itu.
Aku hanya meliriknya paham arti diamnya Firma. "Gak papa Pak di sini juga. Lagipula gak enak kalau bareng Firma takut ...."
"Baiklah," potong Firma cepat. "Kau tidur di kontrakanku."
"Eh? Bentar, Fir, tapi kan ...."
"Kau itu masih tahap penyembuhan juga," elak Firma.
"Tapi soal ...."
"Kalau masalah itu tenang saja, Bapak yang akan bertanggung jawab, toh kalian juga udah mau berunding sama Bapak. Kalau dari awal niatnya macem-macem ya langsung aja gak perlu berunding. Jadi kalau ada apa-apa, Bapak bisa bantu tolong. Toh benar kata Firma, kamu baru sembuh, mesti banyak beristirahat, dan juga Fir," ujar Pak RT pelan, "kalau Dika macam-macam. Kamu punya izin untuk mematahkan atau melumpuhkannya, asal tidak membuatnya mati."
Firma mengangguk.
Aku hanya diam menelan ludah mendengar pak RT berkata demikian, kembali kupegang pipi kiriku.
"Ya sudah, kau nginep di kamarku yang satu lagi, cuma satu malem, gak lebih!" ancam Firma.
Aku hanya mengangguk pasrah.
"Tapi Pak, Anna boleh nginep, ya? Biar ada temen," pinta Firma.
"Boleh ya, Yah! Boleh ya, yah!" ujar Anna lagi memohon. Pak RT itu hanya mengangguk pelan. Akhirnya aku, Firma dan Anna pamit dari rumah itu.
"Eh pak!" ujarku sedikit berteriak, "maaf, kalau misal ternyata saya gak bermaksud apa-apa tapi Firma berpikir apa-apa terus saya di pukulin ampe mati gimana?" tanyaku berbisik.
"Gak lah! Kan Firma cuma boleh melumpuhkan saja."
"Ya tapi, 'kan, bisa aja dia niat melumpuhkan eh malah mematikan?"
"Dika ... Firma itu ahli dalam bela diri. Dia itu bisa melumpuhkan seseorang tanpa mengancam nyawa seseorang tersebut. Orang dia sabuk hitam apa gitu, lupa lagi," jelas pak RT sambil memegang dagunya.
"Dik!" panggil Firma pelan.
Aku menoleh ke arah Firma. Kulihat Firma tengah mengepalkan tangannya sambil tersenyum manis. "Kau paham kan?" Firma tertawa pelan.
Aku menelan ludah dan mengangguk pelan. Sepertinya ancaman gue tadi di rumah sakit juga gak mempan.
***
Dipublikasikan pertama kali :
8 Juni 2016
Dengan sedikit perubahan
26 Agustus 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top