Chapter 10. Syarat
"Gila ...." Aku mencoba menarik oksigen sebanyak mungkin. "Nyesel pake acara ngebut segala," ujarku sambil duduk di trotoar.
"Lagian, udah kubilang naik MRT aja malah maen ngebut aja!" protes Firma.
"Aku, 'kan ... gak punya ... E-KTP, gimana?" belaku dengan napas tersenggal-senggal.
"Ya cash lah! Emang cuma KTP-E doang! Banyak kali cara bayarnya."
"Maaf deh maaf," sesalku.
Firma hanya berdecak kesal. "Eh makan siang dulu yuk? Laper nih," ajak Firma sambil menunjuk salah satu kedai di belakangku.
"Kamu aja ... aku ... gak lapar kok," jawabku singkat. Lama gak maen basket selama lima tahun lebih, fisik jadi lemah gini, parah! batinku dalam hati.
"Aku traktir?"
"Oke!" jawabku cepat. Firma hanya tertawa pelan dan berjalan di depanku. "Kau mau apa?"
"Samain aja deh."
Firma mengangguk pelan. "Ah, kau pilih saja mau makannya di mana? Aku pesan dulu, ya," ujar Firma sembari meninggalkanku.
"Ah, Fir, lantai dua gak papa?"
"Gak papa," jawab Firma singkat. Segera aku menaiki tangga kayu di sudut ruangan yang berbentuk huruf L. Sesampainya di lantai dua, kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Siang itu memang cukup sepi, terbukti hanya ada lima-enam meja yang terisi. Hanya kurang dari sepuluh meja yang kosong. Belum sempat aku memilih, Firma sudah berdiri di sampingku.
"Udah?"
Aku menggeleng pelan.
"Yaelah, lama amat disuruh milih juga susah."
"Ya maaf."
Firma memandang sekeliling dan menunjuk salah satu meja di sudut ruangan. "Gimana? Itu di beranda."
Aku mengangguk setuju. Tidak sampai sepuluh detik, aku sudah mengistirahatkan punggung dan kakiku di kursi kayu yang nyaman.
"Kenapa kau? Kaya yang capek."
"Emang! Tadi abis diacak 'sepeda tour' ke bunderan HI," ledekku pelan seraya meregangkan tubuhku. Tidak lama, angin siang menyapa tubuhku dengan lembut. Aku memejamkan mataku menikmati belaian angin yang begitu memanjakanku.
"Permisi, ini minumannya, Kak." Aku segera bangkit dan kulihat seorang wanita tengah meletakankan dua gelas tinggi berwarna merah. "Yang Ini strawberry ... dan yang ini jambunya."
"Makasih, kak!" ujar Firma pelan seraya tersenyuma. Wanita itu hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kami. "Dik, kau jambu aja ya?"
Aku mengangguk pelan dan menyeruputnya dengan tenang.
"Jadi, coba jelaskan soal diri kau dik, tentunya dengan tahun kau itu, aku penasaran," ujar Firma sambil menyeruput jus miliknya.
"Hmm, apa ya? Kamu pengen tau soal apa?"
"Aku ... ah kau tahun kelahiran berapa?"
"Sembilan enam," jawabku pelan. Sontak Firma tersedak-sedak mendengar jawabannku.
"Apa? Tahun 1996?" tanya Firma lagi.
Aku hanya mengangguk pelan sambil menyeruput jus milikku.
"Berarti ...." Firma berpikir sejenak. Mulutnya berkomat kamit entah apa yang sedang dia ucapkan. "... lima puluh tahun! Usia kau di tahun ini lima puluh tahun," ujar Firma. Kini, giliranku yang tersedak hebat. Gile, bener juga ya.
"Gak nyangka ya, kakek-kakek kaya kau bisa kuat juga ngayuh sepeda," ujar Firma sambil tertawa.
"Berisik ah!"
Firma kembali asyik menyeruput jus strawberry, sesekali ia memainkan sendok gelasnya dengan tangan kirinya. Aku mencoba mengamati dan menikmati kota Jakarta di tahun 2046 dari lantai dua. Sejenak aku bepikir cukup aneh tentang ini. Bagaimana tidak, aku lahir dan dibesarkan di Ciamis, Jawa Barat, hingga kuliah pun aku menetap di Kabupaten Bandung.
Tidak pernah terbesit rencana aku untuk tinggal di kota Jakarta. Jangankan rencana, membayangkannya saja aku tidak pernah. Entah kenapa ada perasaan takut dan khawatir bila aku hidup di Jakarta. Bahkan, Ayahku sempat menyarankanku untuk melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas swasta di daerah Cempaka Putih. Namun, dengan senang hati aku menolaknya.
Dan kini aku tengah menikmati Ibu Kota Indonesia ini dan bodoh jika aku merasa tidak betah di sini. Memang, ini bukan rencana atau keinginannku berada di sini saat ini. Semua ini adalah rencana Tuhan, yang hingga kini masih belum kutemukan maksudnya apa.
"Ini kak pesanannya, gado-gado porsi medium dua tambah kentang gorengnya dan mendoannya," ujar pelayan membangunkan lamunanku. Dengan cekatan pelayan itu meletakan beberapa piring di meja. "Ada lagi yang mau dipesan?" tanya pelayan itu lagi.
"Tidak. Terima kasih kak," jawab Firma sambil tersenyum.
"Sama-sama, silahkan menikmati hidangannya kak." Pelayan itu segera berjalan mundur dan meninggalkan kami berdua. Tinggalah aku dan Firma dengan beberapa makanan yang kami pesan.
"Mau sama nasi enggak?" tanya Firma sambil mengambil piring yang disediakan oleh pelayan.
"Mau," jawabku pelan. Firma mengambil nasinya perlahan dan menaruhnya dipiring bermotif bunga. Melihat Firma mengambil nasi, membuatku teringat akan seseorang wanita yang pernah melakukannya hal sama
kepadaku. Caranya mengambi nasi, bagaimana ia memegang piring dengan tangan kirinya, caranya memberikan piring itu kepadaku begitu mirip dengan sosok wanita itu. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat sosok bayangan wanita itu dan Firma yang bertumpukan.
"Kenapa kau senyum-senyum sendiri hah?" tanya Firma sambil mengangkat alis kirinya.
"Hmm?"
"Itu," ujar Firma sambil meletakan sendok nasi di tempat nasi dari anyaman. Telunjuk tangannya yang mungil mengarah tepat kearahku, "ngapain kau senyum-senyum sendiri?"
"Oh ...," gumanku sambil berpangku dagu dengan tangan kananku, "... enggak apa-apa kok," jawabku sambil melirik ke arah lain. Kulirik sebentar ke arah Firma dan melihat Firma menatapku dengan tatapan tak percaya. Reflek aku kembali membuang pandanganku.
"Oke deh," jawab Firma sambil mengangguk pelan, "nih!" Aku menoleh ke arah Firma. Kulihat Firma memberikan sepiring nasi kepadaku. Piring yang sama dengan piring yang pertama kali Firma mengambil nasi, piring bermotif bunga.
"Ini ... buatku?" tanyaku pelan.
"Iya, nih!" jawab Firma lagi sambil tersenyum. Sejenak aku terhenti melihat Firma tersenyum sambil menyerahkan sepiring nasi kepadaku. Gila, ujarku dalam hati sambil terkekeh pelan. Dengan cepat aku mengambil piring kosong yang ada di dekat tempat nasi.
"Sebelumnya thanks, tapi aku ambil aja sendiri," ujarku yang merasa tak enak dengan kondisi ini.
"Gak papa kok, ambil aja nih." Aku kembali terdiam berpikir apa yang harus kulakukan, menerimanya atau menolaknnya. Sekilas kulihat Firma masih tersenyum hangat. Hah, baiklah. Aku segera mengambil piring tersebut.
"Makannya pelan, jangan sampe tersedak ya Kek."
"Iya gak bakal sampe ... eh apa kamu bilang?"
"Iya. Kakek-kakek makannya jangan buru-buru. Kasian, 'kan, kakek makannya suka belepotan. Makannya tadi juga aku ambilin nasi sekalian," ujar Firma sambil tertawa penuh kemenangan, "'kan gak lucu kalau tampilan sembilan belas tahun tapi ngambil nasi gini," tambah Firma memperagakan tangannya yang bergetar hebat hingga beberapa nasi berjatuhan.
Aku terdiam mematung melihat Firma yang tertawa penuh kemenangan. Sejenak terlihat sebuah bayangan Firma yang tersenyum di benakku, lalu secara perlahan berubah dengan Firma yang tertawa lengkap dengan dua tanduk di kerudungnya. Sialan lu Fir, geramku dalam hati.
"Oh iya, Kek."
"Uhuk!"
"Ah Dik, abis ini kau mau gimana?" Aku hanya melihat Firma tengah menutup mulutnya yang terkekeh dengan tangan kanannya. Kupasang mata melototku agar ia berhenti tertawa namun tak berhasil.
"Hmm, entahlah, aku sedikit bingung juga bagaimana caranya aku balik ke tahunku dan bagaimana aku tinggal di sini untuk sementara."
"Kalau tinggal sih," Firma tak melanjutkan ceritanya. "Jujur aku mau nerima kau di kontrakan aku, kebetulan ada kamar yang kosong, tapi maaf ... aku gak bisa ... soalnya...." Firma terdiam sejenak, "... aku gak mau ada nanti masyarakat ...."
"Nope," ujar memotong perkataan Firma. Dari arah bicaranya aku udah tau kemana alur pembicaraan ini. "Aku paham kok. Malah udah dapet makan siang juga bersyukur banget!"
Firma memandangku sedikit agak cemas. Aku hanya tersenyum untuk membuatnya tenang. Selama makan Firma tidak banyak bertanya. Saat di kasir pun ia lebih terlihat murung di mataku. Aku tak tahu kenapa begitu cemas akan hidupku, padahal ia bisa saja lepas tangan, toh aku pun tak pernah memintanya membantuku.
"Oke!" ucap Firma spontan. "Kamu bisa tinggal di salah satu kontrakan Pak Burham yang kebetulan ada disampingku, tapi ada satu syaratnya."
"Syarat?" ujarku heran. Firma hanya mengangguk. Jangan-jangan jadi pembantu? tanyaku dalam hati.
Firma hanya tersenyum penuh rahasia.
***
Dipublikasikan pertama kali :
7 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan :
22 Agustus 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top