Chapter 1.0 - Di saat hujan

"Den!" panggilku seraya tersenyum menatap Aldena.

Aldena hanya terdiam memandang mataku. Lalu, pandanganya teralih menatap handphone yang kusodorkan. "Apa?"

"Prototype naskah buku gue. Coba lo baca!"

Sejenak Aldena tidak merespon perkataanku. Tiga detik kemudian, helaan napas kasar terdengar dari mulut sahabatku. "Traktir gue gehu sama susu cokelat."

"Bi!" teriakku seraya memandang wanita yang berdiri di depan kompor, "gehu enam sama susu cokelat dua!"

Wanita itu hanya mengangguk tanpa bergerak sedikit pun. Kembali kulihat wajah Aldena yang memasang ekspresi serius. Pergerakan bola matanya secara pasti bergerak dari kanan ke kiri. Tidak lama kemudian, Aldena menatap mataku dingin.

"Gimana? Chapter pertamanya---"

"Dik!" potong Aldena, "ini kenapa chapter satunya kaya gini?"

"Lah? Emang kenapa?"

"Nih dengerin ... hmm"--Aldena mengusap layar handphone-ku--"nih, gue bacain! Sore itu, hari cukup terang. Sangat cocok untuk bercengkerama bersama Aldena, sahabatku. Kami berteman ketika aku memasuki bangku SMP. Lucunya, pada saat hari pertama dengan status siswa resmi, aku belum terlalu mengenalnya. Ya, saat itu aku masih terlalu malu untuk berinteraksi."

"Ho'oh, terus apa yang---"

"Diem dulu, setan!" potong Aldena.

Aku hanya berdecak kesal. Tidak lama, pesanan kami datang. Dengan cepat kuambil sepotong gehu hangat yang baru saja tiba, sementara Aldena tampak fokus menatap handphone-ku.

"Aku mulai berani 'berkenalan' setelah kami tidak sengaja bertemu di salah satu mall Tasikmalaya. Saat itu, aku diantar kedua orangtuaku untuk mengikuti perlombaan Winning Eleven game console Playstasion 2 di lantai empat. Sedangkan ia, bersama keluarganya, tengah menuruni tangga dari lantai tiga. Pandangan kami bertemu. Keringat dingin mulai mengalir, bergerak turun membasahi dahiku. Perasaan senang karena bertemu dan malu untuk menyapa, bercampur menjadi satu.

"Sempat terlintas jika kesempatan ini bisa mempermudahku untuk—setidaknya—berteman dengannya. Namun, perasaan itu aku tepis. Mengingat aku terlalu malu 'bergerak' untuk pertama kalinya. Ketika aku tengah membuang muka, mengubur kesempatan itu, sontak hal yang tidak kupikirkan terjadi.

"'Eh, Dika, ya!' panggilnya pelan. Refleks aku kembali menoleh dan melempar senyuman. Sepersekian detik kemudian, senyum itu memudar. Bersamaan dengan itu aku tersadar jika aku mengingat wajahnya, tapi tidak namanya. Secara perlahan ia berlari menghampiriku. Aku Panik.

"Kucoba mengingat namanya, tapi jawabannya tetap nihil. Aku hanya bisa menghela napas. Mungkin ... ini yang namanya nasi sudah menjadi bubur. Lebih baik ditambah kecap, daging dan kacang daripada dibuang. Dengan satu tarikan napas, kuberanikan diri untuk menyapanya dan mengobrol cukup lama. Sejak itulah, hubungan kami semakin lama semakin dekat. Noh, udah! Paham?" tanya Aldena seraya menatap ke arahku.

"Apa?" tanyaku.

"Ini kesannya kita kaya yang homo!"

"Ya terus kenapa? Emang, sih, soalnya rata-rata nama 'Aldena' itu identik dengan---"

"Dik!"

"Iya, entar gue ganti!" jawabku menyerah.

"Lagian, cerita bukumu ini soal apa, sih?" tanya Aldena sambil meletakan handphone-ku di atas meja.

"Rencananya, sih, mau bikin buku soal pertemanan."

"Mainstream, deh, kayanya."

Aku menyeringai seraya menggoyangkan telunjuk kananku. "Tema itu, kan pada dasarnya sedikit. Soal 'Ibu' saja adalah tema yang paling umum. Kita tinggal---"

"Iya, gue paham," potong Aldena, "Tergantung gaya bahasa dan kemampuan si penulisnya, 'kan?"

"Bingo!"

Aldena hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Narasi, dialog, penokohan, riset, diksi, ejaan dan alur memang menjadi faktor yang sangat menentukan sebuah cerita. Tema dan genre hanyalah nilai bonus di mata pembaca. Setiap buku selalu menjadi juara di hati pecinta genre tersebut," jelas Aldena seraya menyeruput susu cokelat miliknya, "pesan moralnya?"

"Persahabatan itu penting."

"Udah?"

"Terus?"

"Nilai jualnya?"

"Entahlah, mungkin Rp30.000, per buku."

"Itu harga, bukan nilai jual!" ujar Aldena yang rupanya emosinya terpancing.

Aku hanya tertawa kecil. "Pesan moral sih ...." Kuminum segelas susu hangat milikku sejenak, lalu memejamkan mata, "menunjukan kepekaan seseorang pada sekitarnya. Baik pada lingkungan, keluarga, teman, sahabat, hewan, atau pasangan."

"Kepekaan?"

"Ya ... tahulah, zaman sekarang cewek sering teriak, 'Lo jadi pacar peka dong!'" teriakku mengikuti gaya perempuan yang tengah marah. Namun, entah kenapa kurasakan hawa aneh dari orang-orang di sekitar kami.

"Kampret! Kekecengan, Bego!" bisik Aldena pelan.

"Gi-gitu, Den, filmnya seru sih dari Thailand. Kalau gak salah judulnya You're The Apple of My Eyes, si cowoknya gak peka akhirnya malah selingkuh," ujarku mencoba keluar dari suasana salah paham ini.

"Heh, lo kalau ngeles yang pinter bisa, gak? You're The Apple of My Eyes tuh nyeritain kisah si cowoknya yang mencintai ceweknya, tapi mengikhlaskan ceweknya untuk bahagia bersama cowok lain yang lebih mapan."

"Ya ... itulah pokoknya."

"Parah," keluh Aldena pelan sambil menepuk jidatnya sendiri. "
"Terus soal bukumu,"--Aldena kembali menyeruput susu hangat miliknya--"judulnya?"

"IYKWIM."

"Hah?"

"IYKWIM."

"If You Know What I Mean?"

"Iya, keren, 'kan?"

"Terus cover-nya nanti ada Mr. Bean gitu?"

"Boleh-boleh."

"Eh genre-nya entar pembaca nyangkanya buat dewasa, Bego!"

"Ya, makannya, jangan pakai muka Mr. Bean."

"Judulnya gak sekalian diganti?"

"Gak. Bagusan gitu kali, biar ambigu dikit. Jadi, orang mikirnya ke 'dewasa' dulu, abis itu pas baca mereka akan terkesima."

Aldena mengangguk pelan.

"Strategi marketing coy!"

"Iyalah, terserah lu aja," ujar Aldena pasrah.

"Lagipula,"--Aku terdiam seraya memandang langit yang mulai gelap--"bukankah lebih pas jika menggunakan judul itu?"

"Maksudnya?"

"Ya ... kita, kan selalu berharap bahwa orang yang kita maksud itu tahu akan isi hati dan keinginan kita. Namun, mereka tidak pernah peka. Lalu, kita berkata, 'Seandainya kamu tahu apa maksudku' benar, 'kan?"

Aldena mengangguk pelan.

"If you know what I mean, if you know what I think, if you know what I need, and hope you know what I feel," gumamku seraya menatap sahabatku.

Aldena hanya tersenyum seraya mengangkat jempolnya. "Bagus sih," ujar Aldena pelan, "yang lain udah pada tahu?"

"Belom. Bahar lagi sibuk buat persiapan apa gitu, Azhar lagi naik gunung, Rivani dan Asry sibuk, Pipit siap-siap mau UAS, kalau Firda sama Tiana ... emang gak bakal deh."

"Lah? Kenapa?"

"Ribet! Entar mereka minta tanda tangan dan pengen selfie." Aku tertawa renyah. Aldena yang mendengar itu hanya mengomel.

"Oh iya, kenapa gak cari tema lain?"

"Tema apa?"

"Ya, kek yang anti-mainstream gitu, contohnya soal semangat nasionalisme kek, Jarang banget, 'kan?"

"Iya sih, tapi bingung ah! Lagian gak yakin bakal ada yang baca."

"Karena itulah coba lu buat yang menarik sehingga banyak dan mau membacanya. Misal masa depan Indonesia gitu kek film-film Hollywood," usul Aldena. Aku sejenak memejamkan mataku, mencoba berpikir cerita dengan tema nasionalisme. Namun, tidak ada satupun ide yang melangkahi benakku.

"Entar deh, fokus sama yang ini dulu. Ya sudah, yuk pulang! Udah mau Magrib juga, nih."

Aldena mengangguk setuju. Segera kuambil helm full face milikku dan menyimpan uang Rp10.000,00 di atas meja.

"Bi! Uangnya di meja, ya! Kembaliannya disimpan aja," ujarku kepada Bibipemilik warung gehu.

Kunyalakan motor hitamku dan pergi ke rumah Aldena. Selama perjalanan, Aldena tidak mengucapkan satu kata pun. Sementara aku, lebih sering mengamati kaca spionku. Entah kenapa, ekor mataku melihat sebuah bayangan motor yang hendak menyalip. Kuarahkan motorku ke sisi kiri guna memberikan jalan, tapi motor itu tak kunjung menyalip. Bahkan, hingga aku sampai di rumah Aldena, tidak ada satu pun motor yang melewatiku.

"Hati-hati Dik," ujar Aldena yang memecahkan lamunanku.

"Ciee perhatian, nih, Kakak. Kakak khawatirnya kalau Adek kecelakaan, ya?"

"Jijik dengernya sumpah!"

Aku tertawa terbahak-bahak. "Lanjut dulu ya. Bye, Assalamualikum," ujarku pelan seraya melanjutkan perjalan.

Suasana mulai menjadi gelap. Hiruk pikuk suara burung mulai terdengar bising ketimbang merdu di telingaku. Kini, entah sejak kapan, suasana perlahan berubah menjadi tidak mengenakan. Sosok bayangan motor itu selalu melintas di kaca spionku. Aku mulai berzikir di dalam hati menyebut, nama-Nya untuk senantiasa diberikan keselamatan.

Hujan mulai menciumi jaket kulitku yang perlahan semakin deras. Bahkan, efek air hujan yang teramat deras, membuat jarak pandangku terbatas. Aku terus meneriakan nama-Nya semakin keras. Yang awal hanya dalam hati, kini bibirku pun mulai mengucapkannya. Sepersekian detik kemudian, kulihat bayangan kucing yang melompat ke jalan. Sontak aku segera menekan kopling dan menginjak rem kakiku. Namun, entah karena licin atau apa, bukannya berhenti, motor besarku tetap melaju dan sedikit oleng.

Aku mencoba mengendalikan keseimbangan motorku yang tampak kesurupan. Sayangnya, sepersekian detik kemudian motorku menabrak pembatas jalan. Lalu, aku terpelanting ke depan yang membuat tubuhku berputar di udara. Sekilas, kulihat sebuah rumah tepat di bawahku. Sadar apa yang terjadi, aku berusaha mengontrol tubuhku agar setidaknya mendarat dengan kedua kakiku.

Allahu akbar!

Sebuah kalimat yang ingin kuucapkan dengan keras. Namun, entah kenapa tertahan di tenggorokanku. Tak lama kemudian, aku menghantam sebuah atap rumah dengan kedua kakiku dan terus merangsek ke dalam. Terdengar suara yang mirip dengan kayu patah dari arah kakiku. Semua itu berlangsung dengan sangat cepat. Hingga yang kusadari, hanyalah aku tengah menatap ke langit-langit dengan perasaan nyeri di seluruh tubuhku. Aku mencoba menggerakan semua badanku, tapi semuanya terasa berat dan rasa kantuk mulai menyerang.

Dalam hitungan detik semuanya menjadi gelap.

***


Dipublikasikan pertama kali :
28 Mei 2016
Dengan beberapa perubahan :
1 Agustus 2016
Untuk ketiga kalinya:
22 September 2017
Dan masih diperbaiki:
9 Februari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top