[Bonus] Chapter 31.8 - Father and Daughter
"Brengsek!" Si Pria Berkumis itu mengibaskan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih setia menutupi hidungnya. "Beraninya kau memukul hidungku!"
"Memukulmu? Aku hanya membela diri. Kau yang pertama kali mencari masalah di sini," belaku.
"Aku hanya ingin membawanya pergi dari hasutan teman si Pemuda Busuk itu!"
"Ini bukan seperti yang anda pikirkan! Firma dirawat di sini karena ...."
"Tutup mulutmu!" teriak si Pria Berkumis yang memotong perkataan Kak Dok. Tangan kirinya dengan tegas menunjuk tepat ke arah Kak Dok. "Lebih baik kau diam saja!"
"Tidak bisa," potongku cepat. "Sebab dia adalah dokter yang menyelematakan Firma."
"Cih!" Pria Berkumis itu membuang muka seraya meludah ke sisi kanannya. "Aku sudah muak dengan sandiwara palsu ini!" Pria Berkumis itu berlari ke arahku dan dengan cepat melayangkan tinju kanannya tepat ke pipi kiriku.
"Dika!" teriak Kak Dok seraya berlari menghampiriku. Kubentangkan jemari kananku agar Kak Dok berhenti dan tidak perlu khawatir.
"Itulah yang kau dapatkan jika mengganggu urusan orang lain!" celoteh Pria Berkumis seraya mengepal dan memasang kedua tangannya, melindungi tubuh bagian atasnya. "Ayo! Maju kalau berani!"
Aku terdiam dan terkekeh pelan. "Kau tahu ... pukulanmu itu tidak ada apa-apanya bagiku. Bahkan, tamparan yang kudapatkan dari Firma lebih menyakitkan."
Kulihat Pria Berkumis itu sedikit terkejut, dibuka mulutnya lebar-lebar hingga menampilkan giginya yang mengerit. Kepalan tangan kiri-kanannya semakin lama semakin kuat.
"Bagaimana kalau ... kuberi kau satu kali kesempatan untuk ...." Kuketuk-ketuk pipi kiriku dengan telunjuk kiriku.
"Bedebah!" Pria berkumis itu kembali berlari ke arahku dengan tangan kanan mengepal.
Aku tersenyum saat Pria Berkumis itu mengikuti keinginanku. Satu, tarik napas. Dua, tempelkan kedua telapak tangan di dada, bersamaan dengan itu pasang kuda-kuda dengan kaki terkuat sebagai tumpuan di depan. Tiga, dorong lawan dengan gaya yang berasal dari kaki tumpuan depan, lalu menjalar melalui, paha, pinggang, punggung, bahu, telapak tangan secara cepat, bersamaan dengan itu hembuskan napas lewat mulut.
Kuambil napas dalam-dalam sejenak, lalu dengan cepat aku mengelak ke kanan menghindari tinju kanannya. Kuposisikan kaki kananku berada di depan, sedang telapak kananku menempel di dada kiri-kanannya. Kuembuskan napasku secara kasar. Dengan cepat kuledakan tenaga yang menjalar hingga Pria Berkumis itu terdorong terguling sejauh empat meter.
Pria Berkumis itu merintih kesakitan. Namun, ia kembali berdiri, berlari ke arahku dan menghantam tubuhku hingga aku terjatuh. Belum sempat aku berdiri sekilas kulihat sebuah kaki hendak menginjak perutku. Sial! gumamku seraya berusaha mengangkat kedua tanganku untuk melindungi kepalaku. Namun, dengan cepat Kak Dok mengunci kedua lengan Pria Berkumis dari belakang dan menyeretnya menjauhi dariku.
Aku segera berdiri, mengontrol napasku yang sedikit kacau. Kulihat Pria Berkumis itu masih memasang wajah marahnya. "Ayo! Sini kalau berani!" ujarku mencoba memancin emosinya.
"Dika!" ujar Kak Dok pelan seraya menatapku dingin. Tanpa sadar aku berjalan mundur mendengar suara itu. Ada sedikit perasaan takut dan rasa mengintimidasi yang keluar dari sorot mata Kak Dok. Lalu, Kak Dok kembali melakukan hal itu kepada Pria Berkumis yang membuatnya sedikit lebih tenang.
"Pertama, kami tidak tahu apa yang menyebabkan anda seperti ini, tapi tolong dengan rasa hormat jangan berbuat keributan! Ini rumah sakit! Ini juga untukmu Dika!" ujar Kak Dok seraya memandang ke arahku dingin. "Kedua, tentang sandiwara atau sejenisnya itu salah besar! Firma tengah terbaring sakit! Dan dia tengah tak sadarkan diri!"
Pria Berkumis itu terbelalak. Ekspresi wajah secara cepat berubah 180 derajat sesaat setelah mendengar perkataan Kak Dok. Ditatapnya mata Kak Dok dalam-dalam, lalu Pria Berkumis itu menunduk dan berjalan mundur. "Ini ... tidak mungkin, apa ia baik-baik saja?" tanya Pria Berkumis itu lagi.
Kak Dok terdiam, lalu mengambil napas. "Firma tengah dirawat secara instensif di sini." Pria Berkumis itu terdiam seribu bahasa. Kepalanya ditekuk, seolah-olah tengah mencari sesuatu di lantai marmer berwarna putih. Sejenak kulihat Kak Dok memandang ke arahku dengan tatapan datar. Dari sorot matanya, aku tahu jika Kak Dok menyayangkan tindakanku tadi.
"Apa ... apa saya boleh menjenguknya?" tanya Pria Berkumis itu pelan.
"Tidak bisa, maaf ... tapi anda bisa melihatnya dari kejauhan," jawab Kak Dok pelan seraya merangkul tubuhnya. Aku hanya terdiam mendengar hal itu, ada nada-nada protes yang tertahan di tenggorokanku. Namun, sorot yang kuterima dari Kak Dok sebelumnya membuat hanya bisa mematung dan mengikuti mereka berdua.
Belum sempat aku masuk, Kak Dok berhenti dan berbalik memandangku. "Jernihkan pikiranmu, tenangkan emosimu. Yang kamu butuhkan adalah oksigen segar di luar sana," imbuhnya.
"Tapi, Kak ...."
"Pintu keluarnya ada di sebelah sana," potong Kak Dok seraya menunjuk ke arah pintu keluar. Kutatap mata Kak Dok dengan tatapan dingin, mencoba mempertanyakan mengapa ia memintaku seperti itu. Namun, tatapan datar yang kuterima membuatku menyerah dan melangkah ke luar.
Selama perjalanan aku terus-menerus berpikir wajah Firma saat tempo hari. Perkataannya, isak tangisnya, wajahnya, semuanya terbayang di pikiranku. Menari dan melompat secara terstuktur. Kutarik oksigen sebanyak mungkin lewat hidung lalu mengeluarkannya secara perlahan. Tiga kali aku mengkonversikan oksigen dengan karbon dioksida, membuat sedikit lebih tenang. Samar-samar pikiranku yang semula cukup kusut, mulai menemui titik terang.
Satu persatu pertanyaan seputar sosok Pria Berkumis tadi mulai bermunculan. Nama, asal, alasan ia datang ke sini, mengapa ia meninggalkan Firma dulu, hingga sosok yang ia sebut "Pemuda Busuk" tadi terus menggema. Terjadi perdebatan di alam bawah sadarku yang akhirnya, secara perlahan rasa penyesalanku mulai timul. Namun, sesaat aku kembali merasa marah kala teringat bagaimana Firma berjuang hidup dengan aibnya tersebut.
Kuembuskan napasku secara kasar dan menyenderkan tubuhku di tiang penyangga yang besar. Ketika hendak aku melanjutkan kegiatanku, sudut mataku menangkap sosok yang tengah kuperdebatkan.
Sontak aku berdiri dengan tegap dan menatap Pria Berkumis itu yang ditemani oleh Kak Dok. Tidak ada percakapan yang berarti di antara mereka berdua. Hanya ucapan perpisahaan yang berhasil menggetarkan telingaku.
Sesaat setelah perpisahan itu, Kak Dok menatapku dengan tatapan datar. "Kakak tahu apa yang membuatmu seperti tadi?"
"Kalau begitu Kakak pun mungkin akan sepertiku, 'kan?"
"Mungkin ... tapi itu jika memang benar."
Aku terdiam mendengar jawaban Kak Dok.
"Pria tadi, adalah Umar Hamzah Maulana, ayah kandung dari Firma. Sekitar tahun 2026-2027, ia berangkat untuk mencari kerja di Jakarta. Pada saat itu, Indonesia sedang ada sebuah masalah terkait pergerakan beberapa organisasi yang membangun doktrin kepada remaja dan anak-anak. Sebagian petinggi negeri menganggap hal itu sebagai dampak negatif sehingga, mereka mengajukan laporan kepada kepolisian. Dalam waktu cepat hal itu dilimpahkan ke meja hijau. Saat itu ia tengah melintas di depan gedung pengandilan tempat tersangka disidang, tiba-tiba terdengar sebuah tembakan yang membuat suasana menjadi gaduh.
"Menurut keterangan Pak Umar, saat itu ada sebagian pihak tak bertanggung jawab yang menjebaknya sebagai orang yang melakukan penembakan. Selama hampir beberapa minggu, ia diberlakukan secara tidak semestinya. Namun, beberapa saat kemudian terdengar kabar seseorang yang dirahasiakan identitasnya bunuh diri. Di dekatnya terdapat surat yang berisi permohonan maaf karena sudah membunuh tersangka di depan gedung pengadilan. Atas dasar itu Pak Umar dibebaskan.
"Ketika ia hendak pulang menemui istrinya di Surabaya, ia tidak menemukan batang hidung pasangannya itu. Setelah bertanya ke tetangga kontrakan, mereka melihat Aisyah—istri Pak Umar—pergi beberapa minggu yang lalu. Atas dasar itu, ia yakin jika istrinya pasti pulang ke Makassar. Ia mencoba menghubungi keluarga istrinya di Makassar, tapi tidak ada yang mengangkat. Sedang saat itu ia tidak memiliki uang yang cukup untuk terbang menggunakan pesawat. Karena itu, ia mencoba mengumpulkan uang dan selama dua bulan itu, ia berhasil mengumpulkannya.
"Sesampainya di kampung keluarganya, ia mendapat penyambutan yang tidak mengenakan. Sorotan mata sinis, celotehan yang menusuk hati, bahkan hal itu ia dapatkan dari keluarga sang istri juga. Ketika ia bertanya tentang keberadaan Aisyah, Kakak tertua Aisyah menjawabnya dengan ketus bahwa, 'Aku tidak punya adik yang bernama Aisyah. Aisyah yang kukenal sudah mati!'. Mendapati jawaban seperti itu, ia merasa marah dan memukulnya. Dan karena itu dia berakhir di penjara."
Aku terdiam dan mengamati sosok Pria Berkumis itu yang sudah menghilang. "Dan dia baru keluar akhir-akhir ini?"
"Benar."
Sontak, kurasakan beberapa bambu runcing yang menghujani alam bawah sadarku. Perasaan sakit dan rasa menyesal terus menggoyang-goyangkan hatiku. Ada rasa yang bergejolak membara di aliran darahku.
"Jika kamu menjadi Pak Umar, apa ...." Belum sempat Kak Dok menyelesaikan perkataannya, aku sudah berlari mengejar sosok Pria Berkumis tadi.
Selama berlari, tanpa hentinya aku mengutuk diriku sendiri. Penyesalan atas tindakan, ucapan, sorotan yang kulontarkan kepadanya membuatku terasa sakit. Di persimpangan jalan, kuedarkan pandanganku ke setiap sudut jalan secara perlahan. Namun, sosok itu menghilang entah ke mana.
Aku masih tetap berlari, mencari ke beberapa tempat yang mungkin kutemui. Namun, pada akhirnya aku harus pulang dengan tangan hampa, bibir kering dan hati yang sakit. Kubuka pintu ruang di mana Firma dirawat, lalu kurasakan beberapa pasang mata menatapku.
"Bagaimana?" tanya Kak Dok.
Aku hanya terdiam. Kuarahkan pandanganku ke lantai, berharap aku bisa menemukan jawaban yang tepat. Namun, yang bisa kulakukan hanyalah mematung. Tiba-tiba, terdengar suada azan Ashar ditengah keheningan itu. Bersamaan dengan itu kurasakan sebuah sentuhan lembut di bahu kanannku.
"Yuk, sholat dulu aja," ajak Kak Dok pelan. Aku mengangguk dan mengikuti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top