[Bonus] Chapter 31.6 - Hurt

Firma .... Aku tertegun kala melihat Firma yang terbaring dengan berbagai alat di sana-sini. Ada perasaan khawatir kala mendengar Firma terbaring di ruang ICU. Namun, belum sempat aku bertanya, Kak Dok hanya memintaku menunggu di sini hingga ia kembali.

Cukup lama aku menunggu sendiri di ruang jaga, hingga kudengar suara gesekan besi dengan lantai. Laksana ular yang menunggu mangsanya dengan sabar, aku langsung berdiri kala ekor mataku menangkap sosok Kak Dok. "Gimana?" tanyaku yang langsung menyemprot Kak Dok sesaat setelah masuk.

Kak Dok hanya tersenyum. "Firma baik-baik saja. Operasinya alhamdulillah berhasil, tapi, atas permintaan Kakak juga Firma ditempatkan di ruang ICU[1]," jawab Kak Dok seraya menggaruk hidungnya.

Aku terdiam sejenak dan memandang mata Kak Dok dalam-dalam. "Kapan Kakak ngomong gitu?"

"Ngomong apa?"

"Iya, minta ke pihak rumah sakit buat ngerawat Firma di sini?"

Mata Kak Dok bergulir ke sisi kanan tengah. "Saat ...."

"Kak," potongku. "Bisakah kita membicarakan tentang apa yang harus 'dibicarakan'."

Kak Dok hanya terdiam lalu menghela napas dan mengangguk pelan. "Baik, sebelumnya maaf ...."

Aku mengangguk pelan.

"... jadi ... kamu ingin tahu dari mana?"

"Semuanya," jawabku pelan. "Dari awal sampai akhir ... dan tidak ada tipu daya lagi."

Kak Dok mengangguk pelan. "Kamu ingat Firma mengeluarkan darah melalui hidung dan telinga?"

Aku mengangguk pelan. "Firma kemungkinan mengalami pendarahan yang cukup hebat," jawabku.

"Benar. Sesaat setelah di lakukan CT-Scan, ditemukan hiperdens[1] berbentuk bulan sabit diantara durameter dan araknoid."

"Hiperdens?"

"Pendarahan."

Aku mengangguk pelan. Jadi karena itu Kak Sus bilang Firma harus cito[2], ujarku dalam hati.

"Artinya ... Firma mengalami pendarahaan subdural hematoma[3], disingkat dengan SDH atau PSD. Karena ketika sampai pun Firma tidak sadarkan diri, diperkirakaan Firma ...."

"Firma ... kenapa?"

"Subrudal hematoma akut."

Aku tergeming mendengar perkataan Kak Dok. Waktu seolah-olah perlahan berhenti, sedang kalimat 'subrudal hematoma akut' terus menggema.

"Firma di operasi pada pukul sepuluh malam sedangkan ...."

"Sekitar empat jam lebih sejak kecelakaannya," potongku.

"Benar."

"Apa itu berpengaruh?"

Kak Dok menghela napas sejenak. "Iya. Dari hasil GOS[4] Firma mendapatkan skor dua."

"Skor dua? Maksudnya?"

Kak Dok terdiam sejenak, memandang kedua mataku dengan tatapan bimbang. Namun, selang beberapa detik kemudian ia kembali menghela napas dan mengistirahatkan tubuhnya di kursi. "Setelah operasi kita akan mendapatkan skor GOS. GOS sendiri terdiri dari lima kategori, mulai dari skor lima sampai satu. Skor lima, good recovery. Skor empat, moderate disability. Skor tiga, severe disability. Skor dua, persistant vegetative. Dan skor satu ... death.

"Lalu, menurut Serlig et al[5]: Pasien SDH yang dioperasi dalam empat jam pertama, mortalitas[6] 30%. Sedangkan pasien dioperasi setelah empat jam, mortalitas 90%. Dan, menurut Hasselbelger et al: Pasien koma kurang dari dua jam mortalitas 47%. Sedangkan pasien koma lebih dari dua jam ...." Kak Dok sejenak menghela napas. "... mortalitas 80%."

Mataku terbelalak mendengar perkataan Kak Dok. Bumi tampak melambat untuk berputar dan waktu seolah-olah berhenti secara perlahan. Telingaku entah kenapa semakin peka. Detik arloji jam tanganku pun mampu menggetarkan gendang telingaku. Bersamaan dengan itu kurasakan setiap detakan jantungku.

Ini ... tidak mungkin ... Firma ... Firma .... Kurasakan kakiku mulai kehilangan kemampuannya untuk menompang tubuhku. Tidak lama, lantai tempat aku berdiri secara tiba-tiba menghilang dan membentuk sebuah lubang hitam dan gelap. Gara-gara aku ... Firma ...

"Dika!"

Aku terperanjat kala sebuah nada tegas menggetarkan gendang telingaku. Ditambah sebuah tamparan yang cukup keras di pipi kiriku, membuatku tersadar sepenuhnya. Ekor mataku menangkap tatapan dingin Kak Dok yang tengah menusukan pandangannya kepadaku. Kupejamkan mata cukup lama. Samar-samar aku teringat akan mimpi kala aku tertidur saat bermain catur bersama Pak RT. Benar juga ..., gumamku pelan. Kutarik napas napas secara dan mengembuskannya secara perlahan. "Maaf. Aku hanya ...."

"Kakak paham, hanya saja ... Kakak ingin kamu bisa mencoba mengambil hikmah dari setiap musibah, bahkan kematian sekali pun."

Aku mengangguk pelan.

"Apakah ini pertama kalinya kamu menghadapi kematian?"

"Tidak, jika ini terjadi maka ...
ini kali keduanya," jawabku lirih.

Kak Dok mendekatiku dan merangkul bahuku. "Tidak ada yang mustahil di depan-Nya. Jika memang belum waktunya, orang dengan mortalitas 99% sekali pun bisa sembuh. Begitu pun sebaliknya. Paham?"

"Iya, Kak."

Kak Dok tersenyum dan kembali mengistirahatkan punggungnya, sedang aku kembali menoleh Firma dari ruang jaga yang dibatasi oleh kaca. Ingin rasanya aku duduk di sampingnya, tapi hal itu jelas tak bisa kulakukan. Jangankan ke sana, jika bukan karena Kak Dok pun aku tidak bisa masuk dan melihat Firma dari sini.

Tiba-tiba, terdengar suara keributan dari arah luar. Tanpa sadar, aku segera menoleh ke arah Kak Dok yang rupanya ia pun melakukan hal sama denganku. Tanpa sepatah kata, Kak Dok segera berdiri dan langsung berjalan ke luar, sedang aku mengekorinya dari belakang. Sesaat setelah Kak Dok mendorong pintu, ekor mataku menangkap seorang pria bertubuh besar, sekitar 165 cm, perut buncit, berkulit sawo matang dan kumis tebal tengah berdiri di depan meja perawat. Selang beberapa detik, tangannya yang besar menghantam meja perawat sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

"Sudah kubilang, aku ini Bapaknya!"

"Benar, walaupun begitu anda tidak bisa ...."

"Persetan dengan peraturan! Ini pasti cuma akal-akalan temannya si Pemuda Busuk yang udah nyuci otak anakku," ujar si Pria Berkumis seraya berlari menghampiri kami berdua. "Minggir kalian!"

"Maaf, tapi anda tidak bisa masuk ke sini karena ...."

"Oh! Jadi kau pun orang sewaan teman si Pemuda Busuk itu ya! Dengar! Aku tahu ia punya uang yang banyak sehingga mampu menyogok moncong-moncong kalian agar bersandiwara. Kalian pikir aku ini bodoh? Bisa ditipu dengan sandiwara payah?"

"Si Pemuda Busuk? Menyogok? Sandiwara? Maksud anda apa? Tolong jaga ...."

"Diam kau!" potong si Pria Berkumis. Ditepisnya tangan Kak Dok yang hendak mendekatinya dengan keras. Lalu, terdapat gerakan tambahan berupa kepalan tangan yang melayang ke arah Kak Dok. Beruntung, Kak Dok segera melangkah mundur sehingga mampu menghindarinya. "Ho ... jadi kau memang ditugaskan menjaga Firma dariku ya?"

Aku tertegun kala mendengar Pria Berkumis itu mengucapkan nama "Firma". Tiba-tiba tanpa permisi, perkataan Firma tentang aibnya sesaat sebelum kami terbang ke Ciamis menggema di telingaku. Samar-samar aku bisa melihat sorot mata Firma yang dihiasi dengan air mata di sudut kelopaknya. Dalam tangis, kulihat Firma mengeritkan giginya agar tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar. Beberapa detik itu seolah-olah berjam-jam lamanya diingatanku. Bersamaan dengan itu, bisa kurasakan darahku mulai bergejolak. Bahkan, jantungku pun mulai berdetak semakin cepat.

"Firma?" tanya Kak Dok pelan.

"Benar! Aku adalah ayahnya Firma, aku ke sini untuk menjemputnya dari tangan orang-orang macam kalian!"

"Apa kau benar ayahnya Firma?" tanyaku lirih.

"Dasar Bocah, telinga kau itu sudah ...."

"Apa kau benar ... 'benar' ... ayahnya Firma?" tanyaku lagi. Sontak si Pria Berkumis itu terdiam. Lalu, tidak lama terdengar suara tawa yang menggelegar mengisi setiap penjuru ruangan. Kuangkat kepalaku sejenak sehingga bisa memandang Pria Berkumis itu.

"Hei, kau Bocah!" panggil si Pria Berkumis seraya menunjuk ke arahku. "Sepertinya kau tahu lebih banyak dari yang kukira."

"Dika ... apa kamu mengenalnya?"

Aku hanya terdiam tidak merespons pertanyaan Kak Dok. Kedua mataku terpatri kuat pada si Pria Berkumis.

"Seperti yang kau ketahui, aku adalah ayahnya ... ayah kandungnya. Dan aku ke sini untuk menjemputnya kembali ke Makassar."

"Firma sedang ...."

"Persetan dengan itu!" ujar si Pria Berkumis memotong perkataan Kak Dok. "Kalau kau mau menghalangiku, jangan salahkan aku jika muka kau babak belur," imbuhnya. Namun, baru saja Pria Berkumis berjalan satu langkah, aku sudah berdiri di depannya. "Hmm? Apa kau ada masalah denganku, Bocah?"

"Ya, dan sepertinya kau pun tahu letak masalahnya," jawabku seraya membetulkan kerah jaketku.

"Dengar ... kau itu hanyalah bocah yang hanya dibayar oleh teman ayah tirinya jadi, hormatilah yang lebih tua dan enyahlah!"

Aku tertegun dan hanya tersenyum. "Kau salah ...."

Pria Berkumis itu hanya berdecak kesal. "Omong kosong!" Kedua tangannya dengan cepat mencengkram kerah jaketku. Lalu dengan cepat, kedua tanganku menusuk masuk di antara cengkeramannya dan bergerak menekan ke arah luar hingga terlepas.

Pertama, lepaskan cengkeraman musuh. Kedua, pegang kepala musuh kuat-kuat hingga tidak bisa bergerak. Ketiga ....

Kuangkat kepalaku ke belakang. Sejenak, kutatap wajahnya yang kupegang sekuat mungkin hingga tidak bisa bergerak. Beberapa detik kemudian, dengan cepat kugerakan kepalaku ke bawah hingga dahiku membentur hidungnya.

Beberapa detik kemudian terdengar suara teriakan yang menusuk telinga. Kedua tangan besarnya bergerak menutupi mulut dan hidungnya. Sambil mengaduh, Pria Berkumis itu berjalan mundur dengan sedikit sempoyongan. Selang beberapa langkah, kulihat ia jatuh tersungkur dengan kaki kanan sebagai tumpuan utama.

Kubiarkan kakiku melangkah maju mendekatinya. "Seperti yang kubilang, kau salah dalam tiga hal. Pertama, aku, Kak Dok atau semua orang di sini tidak mengenal atau dibayar oleh orang yang kau maksud itu. Kedua, apa yang kau lihat di sini bukanlah sandiwara. Dan yang ketiga ...." Kudekati dirinya seraya memegang bahunya. "... aku ... bukanlah bocah, dan secara umur, aku lebih tua darimu!" bisikku pelan.

***

Catatan:
[1]Hiperdens : Pendarahan pada otak.
[2]Cito : Operation Emergency. Harus dioperasi dengan segara.
[3]Subrudal Hematoma : Pendarahan yang terjadi diantara durameter dan araknoid. Salah satu ciri khasnya ditemukan hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika berbentuk cembung, maka epidural hematoma.
[4]GOS : Glasgow Outcome Scale.
[5]Et Al : Et Alia atau Et Alii (Latin); and others (Inggris); dan kawan-kawan (Indonesian)
[6]Mortalitas : Kematian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top