[Bonus] Chapter 31.4 - Apprentice

"Ngg ...." Aku mengerjapkan mata kala mendengar suara ketukan di pintu depan. Masih setengah sembilan, gumamku pelan seraya duduk di tepi kasur dan segera berjalan keluar guna membuka pintu. Kulihat Kak Dok tengah berdiri di depan.

"Ah, Assalamu'alaikum, Dika," sapa Kak Dok.

"Wa-wa'alaikumsalam, Kak."

KakDok memandangiku dari bawah ke atas. "Kamu ... baru bangun?"

Aku mengangguk pelan.

"Kalau begitu lekaslah mandi. Kakak menunggumu," pinta Kak Dok seraya melewatiku dan menyimpan tas berwarna hitam yang ia bawa di kursi.

"Emang kita mau ke mana, Kak?" tanyaku pelan.

Kak Dok hanya menoleh ke arahku. Setelah itu ia melepas kacamatanya dan memberikan isyarat agar aku segera masuk ke kamar.

Aku hanya mengangguk pelan dan segera masuk ke kamarku. Kak Dok mau ngapain ya? Apa soal Firma? tanyaku dalam hati. Kubuka bajuku dan masuk ke kamar mandi.

Selama aku mandi, kudengar suara gaduh dari luar. Kak Dok ngapain coba? tanyaku dalam hati. Tidak ingin membuat Kak Dok—juga rasa penasaranku—menunggu, aku mempercepat kegiatanku.

"Baiklah, sekarang ... Kak?" panggilku sesaat setelah keluar. Kucari Kak Dok di dapur atau ruang tamu, tapi tak kudapati dimana Kak Dok berada.

"Kamu udah selesai?" tanya Kak Dok dari belakang. Segera aku berbalik dan ekor mataku menangkap sosok yang kucari tengah berdiri di teras. "Ikuti Kakak," imbuh Kak Dok.

Aku mengekori Kak Dok keluar dan kulihat sebuh motor sport berwarna hitam gelap terparkir di depan garasi. Dari modelnya, bisa kulihat jika motor tersebut tidak ada yang berbeda dengan motor sport di tahunku. "Kau bisa menggunakan motor?"

"Bisa."

"Bagus!" puji Kak Dok seraya melemparkan sebuah kantong lengkap dengan remote-nya. "Itu remote dan STNK-nya di sana. Helmnya ada di garasi. Cara menyalakannya, dekatkan remote ke motor lalu putar knob ke arah on. Kalau mau matiin, putar knob ke arah off. Untuk kunci stang, putar knob ke arah lock. Untuk buka tangki bensin, putar knob ke arah fuel. Remote harus berada sekitar radius satu meter dari motor untuk memutar knob. Jika tidak, knob berputar akan berputar secara kosong atau loss. Gimana? Paham, 'kan?"

"Paham, Kak. Tapi Kak ... SIM C-ku 'kan gak ada?" tanyaku spontan.

"Gak ada?" Kak Dok mengangkat satu alisnya.

Ah keceplosan, batinku. "Ma-maksudku aku belum bikin SIM C," jawabku berbohong. Gak mungkin aku bilang SIM C-ku hilang karena kecelakaan. Ini E-KTP aja E-KTP palsu.

Kak Dok melihat ke arahku dengan tatapan dingin. "Kalau begitu cobalah untuk tidak melanggar lalu lintas," ujar Kak Dok seraya berjalan ke samping garasi. "Kamu masih ingat perkataan Kakak pagi buta tadi?"

"Tentang cara menghadapi 'kebingungan' itu?"

Kak Dok mengangguk pelan dan membuka pintu garasi. "Kalau begitu selama beberapa hari ke depan, kamu akan mencoba menghadapi kebingungan itu."

Aku terdiam kala melihat sebuah matras berwarna hijau tua di tengah ruangan—atau mungkin di tengah garasi. Di atasnya terdapat sebuah manekin pria dewasa tengah tertidur. Apa-apaan ini?

"Sebenarnya tidak mungkin Kakak mengajarkan semuanya kepadamu. Tapi, Kakak akan mengajarkan beberapa hal yang bermanfaat bagimu," jelas Kak Dok seraya membuka tas yang ia bawa dan mengeluarkan semua isinya di meja. "Ini. Coba baca dan pahami."

Aku melangkah mendekati meja dan melihat apa yang tengah Kak Dok bicarakan. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, Buku Saku Para Pencinta Alam, Your Private Doctor .... Aku membaca satu persatu judul buku dan beberapa litelatur yang ada. Sebanyak ini? batinku tidak percaya betapa banyak yang harus kubaca.

"Dari raut wajahmu sepertinya kau memang terkejut ya," ujar Kak Dok pelan. "Tapi tenang saja, aku hanya mengajarkan sebagian kecil kondisi yang mungkin kamu temui. Dengan ini, Kakak harap kamu bisa menghadapi rasa khawatir atau kebingunganmu, bagaimana?"

Aku terdiam sejenak dan melihat manekin yang tengah terbaring. Secara bersamaan, aku seolah-olah melihat seorang wanita yang tengah tergeletak tak berdaya. Di sampingnya, kulihat seorang pria muda menangis seraya berteriak memanggil nama wanita itu. Tidak memakan waktu yang lama agar tersadar siapa mereka berdua itu. Pria itu adalah aku, sedangkan wanita yang tergeletak itu adalah Firma. Jika saja tidak ada Kak Dok dan Kak Sus, mungkin ceritanya berbeda, gumamku pelan.

"Bagaimana?"

Aku hanya tersenyum pelan.

"Kakak anggap senyuman itu tanda kamu setuju."

"Lalu apa kita akan memulai dengan latihan CPR sekarang?" tanyaku seraya berjalan mendekati manekin.

"Sayangnya tidak."

Aku terdiam setelah mendengar jawaban Kak Dok.

"Kita memang akan belajar untuk melakukan CPR, tapi tidak sekarang," jelas Kak Dok mendekati mendekati sebuah papan tulis yang entah sejak kapan ada di sana.

"Baiklah, terus ... kita belajar apa?"

"Kita akan belajar tentang ...ini," jawab Kak Dok yang lalu sibuk menulis di papan tulis.

Satu. Gangguan umum meliputi lena atau collaps, shock, pingsan, dan mati suri. Dua. Gangguan lokal meliputi luka, pendarahan, dan patah tulang. Tiga. Meliputi Serangan ular berbisa. Keempat. Meliputi keracunan makanan. Hmm ..... Aku terdiam mengamati apa yang ditulis Kak Dok.

"Untuk saat ini kita akan belajar tentang itu semua, dan sebelum itu ada yang harus kamu pahami."

Aku mengangkat satu alisku. "Apa?"

"Tujuan serta pedoman dalam pertolongan pertama pada kecelakaan. Untuk tujuannya: Satu, mencegah bahaya maut. Dua, mencegah pendarahan lebih banyak. Tiga, mencegah bahaya terhadap jasmani dan rohani. Empat, mencegah Infeksi. Lima, mengurangi rasa sakit. Enam, mempercepat penyembuhan."

Kupejamkan mataku dan mencoba menyimpan apa yang dikatakan Kak Dok.

"Tenang saja, kamu punya waktu untuk menghapal ...."

"Kematian, pendarahaan, jasmani-rohani, infeksi, rasa sakit, recovery ... Sip." Kubuka mataku dan kulihat mulut Kak Dok sedikit terbuka dengan dahi yang mengerut. "Kenapa?"

"Kamu ... mengambil intisarinya terus dari intisari itu kamu bikin konsepnya yang lebih sederhana dan mudah diingat?" tanya Kak Dok.

Aku mengangguk pelan.

Kak Dok hanya membentuk mulutnya menyerupai huruf O seraya mengangguk. "Terus ... untuk pedomannya, kamu bisa menyikatnya dengan kata 'Patut'."

"Patut?"

"Penolong aman. Amankan korban. Tandai tempat kejadian. Usahakan menghubungi pihak medis. Tindakan P3K."

Aku sejenak terdiam dan menyerap inti pembicaraan Kak Dok. "Jadi, kita hanya mencoba memberikan bantuan pertama sebelum medis datang guna menghindari kematian?"

Kak Dok mengangguk pelan. "Oleh karenanya Indonesia menciptakan ini," tambah KakDok seraya menunjuk gelang hijau yang ia gunakan.

"Itu 'kan gelang keagamaan? Cuma buat nunjukin kita itu apa agamanya?"

"Benar, tapi beberapa tahun ke depan tidak hanya itu."

"Maksudnya?"

"Kelak gelang ini tidak hanya memiliki jawaban tentang kepercayaan si pemakainya. Tapi akan membawa beberapa informasi yang bersifat penting bagi kesehatan, seperti golongan darah lengkap dengan resusnya, tekanan darah, riwayat medis."

"Oh ...."

"Tapi tetap saja selalu ada oknum yang bersebrangan dengan tujuan mulia ini."

"Maksudnya Kak?"

Kak Dok hanya menghela napas. "Indonesia memang sudah bagus akhir-akhir ini, tapi tetap saja 'mereka' selalu ada. Di mana ada cahaya, di sana ada bayangan. Jika cahaya itu hilang, kegelapan yang menyelimutinya. Jangankan ini, dana KTP-E aja mereka ambil."

Aku hanya mengerutkan dahiku bingung. Melihat aku yang tampak bingung, Kak Dok hanya tertawa. "Sudah-sudah, mari kita mulai."

Aku mengangguk pelan.

Selama beberapa jam lamanya, aku belajar dan mempraktekan apa yang diperintahkan Kak Dok. Beruntung, gaya mengajar Kak Dok sangat mudah di pahami. Sehingga aku tidak terlalu mengalami kesulitan. Hanya saja aku sedikit mengalami kesulitan menghadapi fraktur.

"Oke, sip!" puji Kak Dok seraya memberikan kepalan tinjunya kepadaku. Aku hanya tersenyum dan membalas "salam tinju" yang diberikannya. "Istirahat sejenak ya, lagipula ... bentar lagi Dzuhur."

Aku mengangguk pelan dan segera meregangkan punggungku. "Makasih ya Kak, udah mau ngajarin ini. Setidaknya aku bisa menolong orang yang kecelakaan walau basic-ku bukan dari orang kesehatan."

Kak Dok hanya terkekeh. "Kamu pikir pertolongan pertama hanya berhubungan dengan medis?" tanya KakDok.

Aku mengangguk pelan.

KakDok hanya tersenyum sinis dan membalikan tubuhnya. "Bahkan, jika kamu tidak paham akan hal medis pun, cobalah ada di samping korban, karena ia membutuhkan pertolongan kita ... mengingat kematian bisa terjadi kapan saja. Sebab, di saat terakhir pun, setan bisa merebut keimanan mereka."

Aku tergeming mendengar penjelasan KakDok.

"Oleh karenanya, diciptakan Gelang Kepercayaan ini. Sehingga kita tidak perlu mencari-cari KTP-E mereka guna mencari apa kepercayaan mereka. Tapi, masalahnya adalah ... ada di mental masing-masing."

"Mental? Maksudnya?"

"Perasaan takut akan kematian, bingung harus seperti apa, kurang mengenal situasi, puluhan pasang mata memperhatikan, semuanya membuat otak kita menjadi tidak berguna. Kakak ambil contoh kecelakaan yang terjadi pada Firma. Saat itu kami ada di sana, dan kami segera menolongnya. Jika tidak, apa yang akan kamu lakukan?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Termenung? Menangis? Apa Kakak salah?"

Aku menundukan kepalaku dan tidak merespon pertanyaannya.

"Dan apa kamu pikir setelah mengetahui ini kamu bisa mengaplikasikannya secara langsung? Mungkin bisa, tapi seberapa kuat mentalmu? Pemain basket dengan skill individu yang tinggi sekali pun jika mentalnya jatuh tidak lebih dari sampah tim dalam permainan. Kamu tahu itu, 'kan?"

Aku mengangguk paham.

Tidak lama, handphone milik Kak Dok berdering. Bersamaan dengan itu kudengar adzan sudah berkumandang. Kulihat Kak Dok berjalan mendekati handphone-nya yang diletakan di meja.

"Assalamu'alaikum, iya ... iya ... baik ... wa'alaikumsalam." Kak Dok menyimpan handphone-nya di meja dan melihat ke arahku. "Kita dzuhur dulu, setelah itu ...."

"Setelah itu ... apa?"

"Kita ke rumah sakit."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top