[Bonus] Chapter 31.2 - Trust

"Makasih, Pak!" ujarku menjabat tangan Pak Jaya—polisi—yang mengantarku kembali ke rumah sakit.

"Sama-sama, dan tolong jangan membahayakan diri sendiri."

Aku mengangguk pelan.

"Baiklah selamat malam atau ... mungkin pagi, saudara Maulana," ujar Pak Jaya sambil masuk ke mobil lalu meninggalkan rumah sakit.

Sial, gerutuku seraya melihat jam di layar handphone-ku. Selama lima jam lamanya aku diinterograsi karena kecalakaan yang mengakibatkan Firma terluka. Selama itu mereka hanya menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali. Hal itu membuatku sedikit emosi, ditambah belum ada kabar tentang Firma. Namun, mengingat situasi dan keadaan, semua itu berhasil kutahan. Kuambil handphone-ku dan segera menekan nomor telepon milik Kak Dok.

"Assalamu'alaikum, Dika, di mana kamu?" tanya Kak Sus dari sebrang.

"Ah, Kak Sus, aku udah di ... IGD! IGD!" jawabku.

"Ah, langsung aja cari ruang operasi ...."

"Firma di operasi?" tanyaku terkejut.

"Ah ...." Sesaat tak kudengar suara Kak Sus.

"Halo Kak! Kak!"

"Assalamu'alaikum Dika," ujar Kak Dok lagi disebrang.

"Kak, Firma di operasi?"

"Lebih baik kamu ke sini saja. Nanti kakak jelaskan."

Segera aku berjalan sedikit tergesa-gesa, mencari ruang operasi di mana Firma berada. Mataku dengan cepat menyambar ke setiap lorong untuk mencari Kak Dok dan Kak Sus. Sesekali kudongakan pandanganku melihat tanda panah yang berada di atas.

"Dika, sini!" panggil Kak Dok. Aku segera menoleh ke kiri dan berlari ke arahnya.

"Bagaimana kabar Firma, Kak?"

"Tenang, ia tengah di operasi sekarang. Bagaimana denganmu?"

"Sebenarnya Firma kenapa?"

"Tenang. Nanti Kakak ceritakan, yang jelas semuanya masih terkendali."

"Masih?" tanyaku dengan nada bingung. "Masih terkendali? Bagaimana kalau nanti ...."

"Dika, tenang!" potong Kak Dok. "Firma akan baik-baik saja."

Ck! Aku bergumam dalam hati. Ada perasaan jika Kak Dok hanya menyembunyikan keadaan Firma, agar aku tenang.

"Bagus, lebih baik kamu duduk sana," usul Kak Dok. Aku hanya terdiam dan duduk di samping Kak Sus.

"Sini panggil Kak Sus ramah. "Mau minum?" tawar Kak Sus seraya menyerahkan sebotol air mineral.

Aku menggeleng pelan. Kubiarkan kedua sikutku bertumpu di kedua lututku, menahan tubuhku bagian atas. Tangan kananku dengan kuat menahan kepalaku, menutupi sebagian wajahku. Sedangkan tangan kiriku menjuntai di antara kedua lututku. Entah mengapa, semenjak aku duduk, suara-suara Firma terus menggema. Senyum manisnya pun ikut terlukis walau mataku sudah terutup.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Sus yang membuatku terjaga.

"Ah, enggak kok, Kak. Cuma ... seandainya aku tidak menyebrang mungkin Firma ...." Aku tak melanjutkan perkataanku.

"Sudah-sudah. Firma juga tahu, mungkin kamu punya alasan tertentu," ujar Kak Sus.

Aku mengangguk pelan. "Bagaimana jika saat itu hanya ada kami berdua?"

"Pasti ada orang yang membantu," jawab KakSus pelan.

"Dan mereka tidak mengenal kita? Yang ada mungkin mereka mikir berkali-kali, Kak."

"Walau pun Kakak tidak mengenal kalian berdua, kami pasti akan membantu kalian ... dan walau kalian hanya berpura-pura, setidaknya kami mati pun mengembang alasan yang baik dimata Tuhan," jawab Kak Sus sambil tersenyum.

Aku terdiam sejenak dan mengangguk pelan seraya kembali tertunduk. "Sejak kapan Firma dioperasi?"

"Mungkin ... ada sekitar dua jam yang lalu. Setelah memeriksa hasil CT-Scan, dokter memutuskan untuk melakukan cito[1]."

Aku terdiam sejenak mendengar jawaban Kak Sus. "Sebenarnya ... apa yang terjadi dengan Firma?"

Kak Sus menghela napas panjang dan menengadahkan kepalanya. "Kakak juga tidak tahu, dan seandainya Kakak tahu pun mungkin Kakak tidak akan menjawabnya. Lebih baik kamu menunggu penjelasan Kak Dok saja," jawab Kak Sus.

Aku mengangguk pelan.

"Omong-omong, apa yang membuatmu ...." Kak Sus tampak menerawang mencari kata yang tepat untuk pertanyaannya. "... menyebrang?"

Kupejamkan mataku seraya mengembuskan napas secara kasar. "Entah kenapa aku seperti mendengar suara," jawabku pelan.

"Suara?"

Aku mengangguk pelan. "Suara yang ... seolah-olah memanggilku. Memanggil namaku."

Kak Sus terdiam sejenak tidak bereaksi. "Terus, kira-kira siapa yang memanggilmu?"

"Entahlah, suara itu teramat jelas. Tidak terasa asing, tapi aku sulit mengenalnya."

Kak Sus hanya mengangguk pelan seraya kembali meminum air mineralnya.

"Apa kakak sedikit terkejut?"

"Iya ... sedikit," jawab Kak Sus pelan. Aku mengangkat satu alisku. Aneh, gumamku pelan. Di mataku, Kak Aus tampak tidak sedikit pun terkejut. Ekspresi wajahnya lebih terlihat datar ketimbang terkejut. Seolah-olah pernyataanku diterima dan merupakan hal yang wajar oleh wanita muda itu.

Sudahlah, lebih baik aku fokus terhadap Firma.

"Dika," panggil Kak Dok. "Bisa ke sini sebentar?" Aku segera menghampiri KakDok yang berdiri agak jauh dari KakSus. "Ikut kakak."

"Emang kenapa Kak?"

"Ikut saja."

Aku hanya terdiam dan segera mengekori Kak Dok dari belakang. Tidak lama setelah melewati belokan pertama Kak Dok mengajakku ke tempat yang cukup sepi. Sesampainya di sana, Kak Dok segera berhenti dan berbalik melihatku. "Dengar, ada yang ini Kakak bicarakan."

"Firma?"

Kak Dok mengusap wajahnya sejenak. "Apa di otakmu itu hanya ada Firma?"

"Terus Kak Dok mau ngomonin apa? Soal kejadian aku yang nyebrang? Oke aku ngaku aku yang ...."

"It's all about my wife!" potong Kak Dok dengan nada tinggi. Aku terdiam sejenak dan melihat Kak Dok yang tampak gelisah. "Dengar, Kakak emang dokter, istri Kakak juga seorang perawat. Tapi saat ini istri Kakak itu tengah hamil. Sejak kemarin sore, dia tidak istirahat. Kau tahu, bahkan ketika kau di interograsi pun kami ikut memberikan keterangan di rumah sakit. Dan hingga sekarang, ia tetap menunggu di sini. Menunggu Firma. Kakak sudah memintanya untuk pulang dan tidur tapi dia bersikeras menunggu. Untuk apa? Memastikan semuanya baik-baik saja. Hingga, ia lupa akan kesehatannya. Tidakkah kau sadari itu?"

Aku terdiam mengingat betapa ketakutannya aku kala melihat Firma tergeletak tak berdaya. "Maaf, Kak. Aku ... aku cuma takut jika Firma ...."

"Ketakutanmu, kecemasaanmu, rasa gugupmu, semua itu menular kepada istriku. Sehingga dia, melupakan apa yang ia sendiri butuhkan."

Aku kembali terdiam. Kurasakaan perasaan menyesal karena secara tidak sadar aku sudah menyiksa Kak Sus dan janinnya. "Di sisi lain aku menyesal, dan di sisi lain aku bingung harus meminta bantuan kepada siapa."

"Kau tahu, kau hanya tidak percaya kepada tenaga medis lain di sini. Mereka tengah berusaha berjuang menyelamatkan Firma, Dika. Tapi ingat, semua itu hasil akhirnya ada di tangan Tuhan. Sekali pun persentase mortalitas[1] Firma mendekati 90%, jika Tuhan berkehendak tidak, ya tidak," jelas Kak Dok lagi. "Bisakah kau percaya kepada kami?" tanya Kak Dok seraya menyentuh bahu kananku.

Aku terdiam sejenak dan mengangguk. "Baiklah, aku akan mencoba."

"Kakak hargai itu. Dan sekarang, kau tahu 'kan apa yang harus kau lakukan?"

"I will," jawabku pelan seraya berjalan menghampiri Kak Sus yang tengah setia duduk di tempatnya sebelumnya.

"Habis dari mana? Kok agak ...."

"Kak ... aku ucapin terima kasih karena sudah mau mengkhawatirkan aku juga Firma. Tapi, aku juga meminta agar Kakak memperhatikan kesehatan Kakak serta bayi Kakak. Jadi ... mohon Kakak mengikuti permintaan Kak Dok. Ia ... sungguh mengkhawatirkan kesehatan Kakak."

Kak Sus terdiam sejenak dan segera berdiri. "Jadi Kak Dok minta kamu juga agar bujuk Kakak pulang ya," ujar Kak Sus seraya tersenyum. "Baiklah, kalau begitu kamu hati-hati dan jangan lupa berdoa."

Aku tersenyum pelan dan berjalan di samping Kak Sus.

"Kak Dok ngomongin apa aja?"

"Gak kok, gak ngomongin apa-apa."

"Jangan boong, pasti dia ngancem kamu atau apa ya?"

"Enggak Kak, sumpah." Kak Sus hanya memajukan mulutnya seolah tidak percaya. Di ujung lorong ruang IGD, terlihat Kak Dok yang tengah duduk lalu segera berdiri.

"Kamu ngomong apa sama Dika?" tanya Kak Sus tiba-tiba.

"Gak ngomongin apa-apa, Sayang. Serius." Kak Sus tampak membuang muka dan berjalan menuju parkiran. Kudekati Kak Dok yang tersenyum ke arahku dan berjalan di sampingnya

"Thanks a lot."

"Ah, malah aku yang harus ngucapin terima kasih."

"Kalau begitu, ini," KakDok memberikan uang seratus ribu kepadaku. "Jangan mikir aneh! Tanpa uang kamu gak bisa apa-apa. Lalu lebih baik kamu pulang ke rumah Kakak yang bakal kamu tinggalin itu. Kalau kamu sakit, kamu hanya akan menambah beban. Lagipula ... Firma membutuhkanmu dalam keadaan fit, bukan sakit."

Aku terdiam sejenak apakah aku harus beristirahat atau tidak. Namun, pendapat Kak Dok di akhir perkataannya membuatku mengangguk pelan.

"Ya sudah yuk bareng." Kak Dok membukakan pintu belakang untukku.

"A ... aku bakal naik ojek. Biar inget jalannya."

"Oh, ya sudah kalau begitu, ini tasmu dan tas Firma."

Kupasangkan tasku di punggungku dan menenteng tas milik Firma di kedua tanganku.

"Yakin gak mau bareng?" tanya KakDok lagi.

"Iya, bareng aja," tambah KakSus.

Aku menggeleng pelan.

"Baiklah kalau begitu hati-hati dan, oh iya ... soal perasaan bingungmu itu nanti siang aku akan mengajarimu."

"Mengajari apa, Kak?"

"Lihat saja nanti. Kalau begitu sampai jumpa, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawabku pelan seraya melihat Kak Dok menyalakan mobilnya lalu meninggalkanku sendirian. Kubiarkan kakiku melangkah menembus malam menuju pangkalan ojek yang memang tidak jauh dari rumah sakit berada.

"Mang, ojek!" teriakku. Tidak lama seorang pria dengan motor matic menghampiriku.

"Kamana, Kang?"

Aku menyerahkan sebuah kertas yang diberikan oleh Kak Dok kepadaku.

"Oh, muhun. Sapuluh rebu, Kang? Bade?"

Aku mengangguk pelan dan segera menaiki motor tersebut secara perlahan. Sejenak kuperhatikan rumah sakit dimana Firma di rawat. Firma, berjanjilah kau akan baik-baik saja.

"Siap, Kang?" tanya si Pengemudi Ojek.

"Siap."

***

Catatan :
[1]Mortalitas = Kematian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top