[Bonus] Chapter 23.3 - Preparation of Journey
"Fir, kenapa kita harus kesini, sih?"
"Kita mau ke Ciamis, 'kan? Ya sudah siap-siap, lagian kau juga gak punya baju yang lain," jelas Firma sambil berlari-larian kecil di depanku.
"Ya, tapi, 'kan aku gak punya duitnya."
"Gak papa, aku yang urus semuanya. Itung-itung aku sponsorin perjalanan kau ke Ciamis," ujar Firma sambil tertawa. Aku menghela napas dan mengikutinya dari belakang. Tepat sehabis kami berbincang berdua menghabiskan coklat yang aku beli. Esok hari Firma mengetuk pintu kamarku sore hari dan mengajakku untuk membeli beberapa peralatan untuk perjalanan kami.
"Kita akan beli apa dulu?" tanya Firma seraya membalik tubuhnya dan berjalan mundur.
"Terserah," jawabku pelan sambil memandang Firma yang begitu kegirangan. "Fir!" Aku segera berlari mendekati Firma dan menarik tangannya. Bersamaan dengan itu sebuah troli melaju cepat diikuti seorang anak kecil yang berlari mengejarnya. "Hati-hati makanya."
"Ciee," goda Firma sambil tertawa. Aku hanya membuang muka dan berjalan menjauhi Firma. Tidak lama kemudian aku berbalik dan kembali mendekati Firma. "Kenapa balik lagi?"
"Takut nyasar," jawabku pelan.
Firma tertawa mendengar hal itu. "Ya ampun, segitu takutnya kau nyasar?"
Aku hanya mencibir pelan.
"Oh iya," ujar Firma lagi.
"Apa?"
"Kau, 'kan kakek-kakek lima puluh tahun, wajar kalau sering nyasar," celoteh Firma sambil tertawa.
Huasem bener tuh bocah ngomongnya, ujarku dalam hati.
"Ya sudah, kita beli tas dulu untuk kau." Aku hanya mengangguk pelan dan mengikutinya.
Cukup lama kami berkeliling dari outlet ke outlet hingga akhirnya, aku membeli satu tas ransel polos berwarna hitam kecoklatan-coklatan. Setelah mendapatkan tas, kami segera bergerak untuk membeli beberapa peralatan mandi.
"Sikat gigi, sabun, shampo, pasta gigi, terus apa lagi?" tanya Firma.
Aku hanya menghela napas tidak percaya. "Lagian yang kaya gini di Ciamis juga ada."
"Udah ah, bawel kau! Cepet apa lagi?" Aku terdiam sejenak memikirkan beberapa peralatannya yang mungkin saja diperlukan.
"Deodorant?"
"Hmm ... dimana ya, ah ini! Dapat! Ada lagi?"
"Apa ya ...."
"Ah! Tisu bayi!" celoteh Firma seraya mengambil satu kantung tisu bayi dan meletakannya di troli.
"Kenapa tisu? Kan gak bakal kepake juga?"
"Yey! Tisu itu penting buat cewek!" bela Firma. Aku hanya menggulirkan kepalaku ke sisi lain. "Apa lagi ya?"
"Soft ...."
"Apa!" tanya Firma seraya menusukan pandangannya di wajahku. Dengan cepat aku menggelengkan kepala dan membuang muka. Menyadari apa yang akan kukatakan, Firma melangkah mendekatiku dan berdiri didepanku dengan tatapan dingin. "Kau bilang apa tadi, hah?" tanya Firma seraya mengancungkan jari telunjuknya.
"Sof ... sof ...." Aku mencoba berpikir alasan apa yang bagus untuk menghindar dari pukulan Firma.
"Sof-sof sof apa!" bentak Firma. Aku menelan ludahku dan mencoba mengontrol nafasku.
"So far sih udah," jawabku pelan seraya melihat ke arah Firma. Kulihat ia hanya mengembungkan pipinya dan mendaratkan kepalan tangan kanannya tepat ke perutku.
"Sekali lagi, awas kau!" ancam Firma seraya mendorong troli ke arah kasir, sedangkan aku mengikutinya sambil mengusap perutku. Beruntung suasana malam saat itu cukup senggang. Tidak sampai lima menit aku kami sudah siap untuk beranjak pulang.
"Yaudah yuk kita pu ...."
"Tunggu!" potong Firma, "kau cuma punya tiga setel pakaian kan?"
Aku mengangguk pelan.
"Kalau begitu kita beli beberapa pakaian dulu buat kau nanti di sana."
"Tapi Fir ...."
"Sudahlah ayo cepat!" ajak Firma yang segera berjalan ke tempat pakaian. Aku hanya bisa menghela napas dan segera mengikutinya.
"Ukuran bajumu apa Dik?" tanya Firma sambil memilih beberapa baju.
"Triple-X L." Firma terkejut dan melihatku secara seksama. Melihat wajahnya yang serius aku tertawa pelan. "XL-XL," jawabku pelan. Firma kembali melihat beberapa pakaian untuk pria, sesekali ia mengangkat salah satu baju polo ke atas dan meletakannya kembali. "Hoy Fir, biar aku aja yang milih sendiri?"
"Idih, emang kau pikir aku lagi milih baju buat kau?" tanya Firma pelan. Asem, bener juga, kenapa gue ke PD-an, gumamku dalam hati dan segera memilih beberapa baju untukku sendiri.
Aku berjalan mengitari setiap sudut pakaian yang ada di etalase. Lalu, langkahku terhenti di salah satu etalase yang mengantungkan sebuah kemeja. Aku memilih beberapa kemeja yang ada di sana dan mengambil kemeja lengan pendek berwarna merah tua. Hmm, bagus gak ya?
"Bagusan warna hitam," celoteh Firma yang rupanya sedari tadi memperhatikanku. Lalu, Firma mendekati salah satu etalase dan memilih kemeja lainnya. "Nih, yang ini cocok banget buat kau!" Kudekati Firma dan coba berkaca dengan kemeja yang dipilih Firma.
"Iya, sih, lebih keliatan minimalis."
"Aku, sih, bukan liat dari minimalisnya ...." ujar Firma berdiri di depanku yang tengah berkaca. "... tapi dari sini." Firma menunjuk tepat ke arah dadaku.
"Hatiku maksudmu?"
Firma hanya tersenyum pelan. "Harganya," imbuh Firma pelan lalu tertawa kecil. Aku segera membandingkan dengan harga kemeja yang aku pilih. Asem, murahan yang dipilih si Firma. Ekor mataku melihat Firma tengah tertawa pelan. Sejenak ada perasaan senang dan bahagia mengingat semalam ia pernah menangis di bahuku karena aib aib yang hingga saat ini aku tidak mengetahuinya.
"Jadi yang mana Dik?" tanya Firma yang membuyarkan lamunanku. Aku sejenak menimbang dua kemeja yang ada dj tanganku, dan kupilih kemeja berwarna hitam. "Lho? Kalau kau mau yang ...."
"Gak papa kok, murah juga yang penting aku suka," jawabku seraya tersenyum pelan. Kulihat Firma hanya menggeleng pelan seraya ikut tersenyum.
"Baiklah, pilih lagi. Kita baru dapat satu baju." Aku mengangguk pelan dan segera mencari lagi. Cukup lama kami berkekeling hingga akhirnya aku memutuskan mengambil tiga setel baju dan celana panjang, ditambah tiga kaos yang memang sedang ada promo beli dua gratis satu.
"Udah selesai ya?" tanyaku seraya memasukan belanjaanku ke dalam tasku. "Oh, iya makasih, ya."
"Sama-sama," jawab Firma pelan. Sesaat sebelum kami hendak turun, Firma menarik lengan bajuku.
"Kenapa?"
"Dik, kita kesana, yuk!" ajak Firma menunjuk salah satu ruangan yang ada di lantai yang sama. Aku memandang Firma yang begitu memelas kepadaku.
"Baiklah," ujarku pelan sambil tersenyum mengikuti keinginan Firma. Ya paling beli buat nanti, gumamku dalam hati. Namun, semua tidak sesuai apa yang aku pikirkan.
Aku meremehkan kemampuan imajinasi seorang wanita.
***
"Fir," bisikku kepada Firma yang masih diam tanpa melirik ke arahku. "Oy Fir."
"Hmm?"
"Ngapain kita disini?" ujarku pelan yang masih berusaha mempertahankan poseku. "Dan kenapa kita malah jadi foto studio?" protesku. Entah sejak kapan ini bermula. Ceritanya Firma yang bertanya-tanya tentang kamera polaroid, lalu terdapat plot twist di mana kini kami berdua menggunakan pakaian serba merah—Aku dengan kemeja merah, dasi dan dalaman jas berwarna hitam tengah berdiri di belakang Firma. Sedangkan Firma menggunakan gaun juga kerudung berwarna merah, ditambah cardigans berwarna hitam tengah duduk di depanku.
"Habisnya, aku selama liburan hanya berbaring di RSNI. Masuk nanti aku setidaknya harus presentasi soal liburanku. Dan aku ingin mendokumentasikan liburanku," jawab Firma dengan sedikit jengkel, "teman-temanku sedang pergi berlibur, sedangkan aku terjatuh sakit. Untung aku bertemu dengan kau, setidaknya pergi dengan kau ke Ciamis seperti berpetualang."
Aku hanya tertawa pelan.
"Oh iya, omong-omong kau bertanya seperti itu?"
"Ahh tidak, aku hanya ...."
"Hmm."
"Anu, aku ...."
"HMM." Aku menggaruk-garuk kepalaku karena bingung harus berkata apa. "Apakah kau tidak ingin berfoto denganku?" Aku memandang Firma yang masih duduk mempertahankan posisinya. Kucoba untuk melihat sorot matanya, tapi sepuluh detik berlalu ia tidak menoleh ke arahku.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanyaku.
"Tidak, aku hanya ... hanya ... lupakan," jawab Firma sedikit gugup. Aku terdiam mendengar perkataan Firma. Bodoh, ujarku dalam hati.
"Kau tau, ini pertama kalinya aku ke studio," ujarku pelan.
"Eh? Serius?"
"Benar. Selama sembiln belas tahun aku belum pernah ke studio untuk berfoto seperti yang kita lakukan ini. Memang pernah aku bersama keluargaku dulu, tapi tidak dengan seorang wanita cantik yang baru kukenal," jelasku sambil tersenyum. Kulihat Firma yang sedari tadi mempertahankan posisinya menengok ke arahku. Terlihat sekilas pipinya berubah menjai sedikit kemerah-merahan.
"Baiklah kita akan mengambil gambar lagi, bersiap-siap dalam ...."
"Tersenyumlah Fir, kamu lebih cantik bila tersenyum," ujarku pelan lagi.
"... Satu."
Kilatan cahaya sekejap mata menerapa kami berdua. Secara bersamaan kami berdua saling menoleh satu sama lain. Cukup lama mata kami saling bertemu.
"Udah, 'kan?" tanyaku pelan seraya tersenyum.
"Iya, udah," jawab Firma sambil tertawa pelan. "Mau liat fotonya?"
Aku mengangguk pelan.
"Kak, liat foto yang terakhir dong!" pinta Firma. Si Fotografer itu hanya mengangguk dan memperlihatkan foto terahirnya.
"Gimana, Dik?"
"Sempurna."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top