8

"Mohon maaf, Bapak Ibu Haji saya mau ijin pulang."

Ji Dul Ripin dan istrinya berdiri, Fatmah segera mengambil beberapa bingkisan lalu diberikan ke tangan Nurul.

"Ini untuk ibu dan Bu likmu."

"Terima kasih, Pak Bu, mohon maaf jika saya lancang, mungkin lebih baik rencana perjodohan kami tidak dilanjutkan, saya melihat Mas Dul benar-benar tidak menginginkan saya, saya yakin ini yang terbaik bagi saya dan Mas Dul, saya melihat keterpaksaan di wajah Mas Dul, saya kan ingin suami saya nantinya juga menyayangi saya sebagai istrinya."

"Bukan begitu Rul, ayo duduk dulu kita bicara baik-baik, maaf jika anak kami kasar padamu, akan kami beri tahu nanti."

"Sekali lagi maaf Bapak Ibu, tidak usah, saya mohon pamit dan ijin pulang, maaf jika saya dinilai tidak sopan, tapi agar saya dan Mas Dul sama-sama nyaman, saya pikir perjodohan ini tidak dilanjutkan, saya pamit assalamualaikum."

"Wa alaikum salaaaam."

Mereka menatap punggung Nurul yang menjauh dan menuju motornya. Beberapa kerabat Nurul pun sudah pulang lebih dulu juga mengendarai motor.

Ji Dul Ripin menahan marah, ia panggil Dul dengan suara keras hingga beberapa kerabat yang masih ada di rumah itu terkejut bukan main. Dul bergegas menemui bapaknya, wajahnya benar-benar bingung mengapa bapaknya tiba-tiba marah.

"Ada apa Pak?"

"Kau puas sekarang? Nurul baru saja memenuhi keinginanmu, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjodohan itu, dia merasa jika kau terpaksa, kau tak pernah berusaha ramah padanya, jadi sekarang silakan kau mau nikah sama siapa saja aku tak peduli, kau tak usah minta restuku, kau laki-laki jadi tak perlu wali nikah, kau bebas sekarang silakan."

Ji Dul Ripin berbalik dan masuk ke kamarnya. Membiarkan istrinya dan Dul yang sama-sama terdiam.

"Kau bebas sekarang Dul, silakan jika kau ingin mengejar wanita yang kau inginkan, hanya ini jadi beban bagi kami, karena kami harus minta maaf pada keluarga Nurul, tak sopan rasanya jika kami yang meminta lalu kami memutuskan tanpa ada kabar."

Fatmah menyusul suaminya ke kamar, ia harus menenangkan suaminya yang punya penyakit hipertensi dan jantung.

"Pak, nggak usah terlalu dipikir, ingat penyakit Bapak."

Ji Dul Ripin hanya duduk sambil menunduk di pinggir ranjangnya.

"Aku ingin membantu keluarga temanku, Dik, kamu tahu sendiri kan, bapaknya Nurul itu hanya meninggalkan dua perahu yang jika disewakan juga tak begitu banyak dapat uang, lalu sawahnya hanya segitu, jika Nurul nikah sama Dul kan ibunya Nurul biar ikut mereka, jadi tidak ruwet lagi mikir biaya hidup."

"Yah gimana lagi Pak, biar si Dul mikir setelah bapak marahi, kita lihat saja gimana reaksi dia setelah kita sampaikan jika Nurul sudah memutuskan secara sepihak, kita lihat siapa pilihan dia."

"Aku tidak mau ngurus lagi, terserah dia, aneh-aneh saja, yang dicintai kok malah istri orang."

.
.
.

"Apa aku jadi salah kalau menolak wanita yang diajukan oleh bapak dan ibu?"

Mat Sani menoleh saat tiba-tiba saja Dul masuk ke kamarnya. Dul berdiri di mulut pintu yang terbuka lebar.

"Kan aku sudah bilang Kak, seandainya sejak awal kakak nolak nggak akan runyam kayak gini, masalahnya kakak diam saja dan mau diajak ke rumah kak Nurul, kalau kakak langsung nolak aku yakin ibu dan bapak mengerti."

"Aku hanya takut membuat bapak dan ibu kecewa waktu itu."

"Tapi sekarang malah tambah runyam, aku yakin orang tua kita bingung mau ngomong apa sama keluarga kak Nurul, orang tua kita yang punya mau awalnya eh mereka juga yang menggagalkan, kan pasti malu."

Dul diam saja, ia sadar dirinya salah, tapi rasanya tak bisa juga dipaksakan.

"Biar aku yang akan menghadapi sendiri keluarga Nurul, aku yang berbuat ya aku yang akan menanggung resikonya."

"Kapan kakak akan ke sana?"

"Entahlah."

.
.
.

"Kaaak, Kak Nuruuul."

Mat Sani melihat Nurul di sebuah bangunan yang cukup besar, sebuah bimbel yang ada di jalan KH Agus Salim, tak jauh dari bakso kondang 99. Mat Sani segera mengarahkan motornya ke arah Nurul saat wanita periang itu melambaikan tangan pada calon adik ipar gagalnya itu.

"Oh di sini Kak Nurul ngajarnya?"

"Iya bener, dari mana? Atau mau ke mana ini?" Nurul bertanya sambil tetap duduk di atas motornya hanya mesinnya sudah ia matikan.

"Dari toko rumah warna, biasa Zahrah, pingin beli tas tapi nggak mau jalan sendiri ya sudah aku yang milihkan modelnya hanya dia yang bentukan warnanya, eh ini Kak Nurul mau ke mana?"

"Mau pulang, baru selesai ngajar."

"Wah pulang ke Pasongsongan? Malam-malam kayak gini? Jam 20.00 lewat loh ini."

"Nggak mau pulang ke rumah Maryam di jalan Pendekar, besok kan mau nikah lagi sama suaminya."

"Oh kalo gitu kita makan Kak yuk, di depan sana, di bakso 99, aku nggak mau loh Kakak nolak."

"Ok deh, aku ini bukan tipe pemalu kok, iya aja, ditraktir itu sesuatu banget."

Mat Sani terkekeh dan keduanya menuju bakto kondang 99 salah satu warung bakso terkenal di Sumenep. Setelah memarkir motor keduanya mencari tempat duduk dan menemukan di pojok. Setelah memesan keduanya terlibat pembicaraan serius.

"Atas nama keluargaku maaf ya Kak ...."

Nurul mengernyitkan keningnya lalu mengangguk pelan.

"Nggak papa, kali aja belum jodoh, siapa tahu setelah sama-sama jauh dan merenung, kakakmu bisa tertarik sama aku, aku tetap berharap dia yang jadi imamku, tapi aku kan harus berpikir realistis saat dia seperti enggan padaku, tapi jika akhirnya memang bukan dia jodohku semoga Allah memberi laki-laki yang bisa menuntun aku ke jalan yang lebih baik dan semoga orang itu tetap kakak kamu."

Akhirnya Mat Sani yang awalnya mendengarkan dengan serius tertawa lagi karena ujung-ujungnya Nurul tetap berharap kakaknya yang jadi suaminya. Dan pembicaraan mereka sempat terhenti saat dua mangkuk bakso dan dua es jeruk sudah datang sesuai pesanan mereka.

"Ayo Kak Nurul ini tambah lontong sama kerupuk juga."

"Santaaai nggak usah disuruh aku pasti ambil, aku bukan wanita sok basa-basi malu-malu apalagi pas lapar gini ya libas aja hahahha."

Mat Sani lagi-lagi tertawa dan sempat berpikir pada kakaknya apa sulitnya berusaha dekat dengan Nurul, wanita humoris yang menyenangkan.

"Oh iya tadi Kak Nurul kan bilang besok mau ke akad nikah Maryam, apa itu wanita yang disukai Kak Dul?"

"Iya, dan Alhamdulillah akhirnya mereka rujuk, aku tahu kok sebenarnya jika mereka saling cinta hanya yaaaa Maryam yang awalnya masih sulit memaafkan Azzam."

"Hmmmm, gitu loh Kak Dul masih mengharap Maryam."

"Iya, dia malah kayaknya nggak percaya waktu aku bilang mereka akan rujuk, ini buktinya besok mereka benar-benar rujuk."

Mereka sesekali melanjutkan obrolan sambil menikmati nikmatnya bakso kondang 99 hingga sebuah panggilan berdering di ponsel Mat Sani.

"Ya Kak? Ada apa nelepon?" Mat Sani sambil mendesis kepedasan.

"Loh kamu ditunggu Zahrah, kok lama beli tasnya? Ini malah merengek minta aku nyusul kamu." Suara Dul terdengar kesal.

"Nggak usah Kak, ini aku ntar lagi pulang."

"Makan apa kamu kayak kepedesan?" Dul terdengar penasaran.

"Makan bakso."

"Ya Allah kok enak kamu makan sendirian gak ngajak-ngajak."

"Berdua ini."

"Oh ya? Sama siapa?"

"Kak Nurul."

💗💗💗

5 November 2021 (12.18)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top